Kamis, 26 Desember 2013

White Christmas



Hmm…. Sebenarnya saya tidak begitu tahu natal itu apa, tapi saya lagi pengen bikin tulisan tentang natal. Saya juga lagi nggak pengen memperdebatkan pendapat orang-orang tentang natal. Trus ngapain dong saya bikin tulisan ini? Iseng aja, biar gak bosen mikirin tesis *dikeplak massa. 

Sebagai orang yang nggak pernah melakukan ibadah di gereja (yang otomatis nggak pernah ngrayain natal bersama keluarga), dulu ketika kecil saya cuma tahu natal itu dengan banyaknya kartun di televisi, trus banyak pohon natal & makanan di rumah tetangga saya yang kristiani, selebihnya saya nggak tahu prosesi natal tu ngapain aja. Tapi waktu itu saya termasuk orang yang menikmati natal, “Horee, banyak kartun. Horee, banyak makanan & coklat. Horee, bisa ngliatin pohon natal yg cantik-cantik.” Itu yg saya pikirkan. Hingga sekarang pun, entah kenapa saya masih ngerasa seneng aja ngliatin ornamen natal. Karena pohon natal harganya cukup mahal, maka tahun ini saya beli ornamennya yg murah aja deh. Padahal sebenernya asyik kali ya, punya pohon natal trus dikasih hiasan macem-macem sesuka gue, ada hiasan-hiasan “tidak lazim” seperti ketupat, tasbih, stupa, dll *syncretism in peace :D

Trus saya jadi mikir, kira-kira kalo saya lagi lebaran apa ya yg dipikirin orang-orang yang beragama lain? Apa mereka juga bisa melihat “keagungan Islam”? Apa mereka juga menikmati saat-saat di mana umat muslim saling bersilaturahmi & bermaaf-maafan? Lebaran kemarin saya mendapat sms ucapan selamat idul fitri dari beberapa temen saya yg non muslim. Isinya macem-macem, ada yg mohon maaf secara “standar”, ada juga yg sedikit kritis dengan ngingetin saya untuk tidak cari imbalan di depan Tuhan & beribadah dgn hati. Apakah itu dapat dikatakan bahwa mereka turut menikmati lebaran? Kok bisa ya? Saya aja saat itu malah galau sms-an dengan teman. “Eh besok lebaran nih. Gimana dong? Aku merasa harus masuk dalam ‘tradisi maaf-maafan’. Bahkan aku harus maaf-maafan sama temen-temen dan keluargaku tanpa harus tahu apa alasannya. Aku tidak yakin apakah ucapan maaf ini benar-benar dari hati atau hanya karena ‘kebanyakan orang melakukannya’. Aku tidak tahu apa yg harus dirayakan. Kalau lagi natal, apakah kamu juga bisa merayakannya? ,“ kurang lebih demikian isi sms saya. 

“Hehe.. aku juga tidak tahu. Aku hanya merasa senang karena ketika natal saudara-saudaraku berkumpul. Aku pernah mengundang Tuhan Yesus untuk datang ke rumahku, tapi sepertinya Dia sedang tidak mau berbicara denganku,” kurang lebih begitu isi sms balasan dari teman saya. 

Yak, begitulah percakapan dua orang abnormal yang mengkritisi agamanya masing-masing. Dua orang “gila” yang suka “mencampuradukkan” ajaran agama tapi tetap berusaha untuk kembali pada agamanya masing-masing. 

Dan yaa ini hari natal. Saya suka bingung dengan orang-orang yg masih berkutat untuk membahas boleh tidaknya mengucapkan selamat natal. Soalnya mau dibahas sampe kapanpun pasti tetep akan terjadi pro kontra. Bagi saya, apalah artinya sebuah ucapan. Toh hanya ucapan kan? Bukankah itu sama saja dengan ucapan hari-hari lainnya, misalnya Selamat Hari Ibu, Selamat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Selamat Hari Pahlawan, dll? Atau karena sudah mengandung “embel-embel agama” maka menjadi dilarang? Bagaimana kalau ucapan natalnya kita ganti dengan, “Selamat menebar kasih sayang dan perdamaian”, apakah kira-kira MUI akan berubah pikiran untuk tidak melarangnya? 

Maaf ya, tulisan ini dibuat bukan untuk “mengadu” dua agama. Bagaimanapun saya tetaplah muslim. Saya juga tidak mau membenci saudara-saudara saya yg berprinsip “tidak boleh mengucapkan selamat natal”. Ini masalah keyakinan, ya sudah, masalah mereka dengan Tuhan. Asal tidak bikin kerusuhan atau bom saja sih bagi saya nggak masalah mau ngucapin selamat atau tidak. 

Sebenernya membahas masalah ini secara berkepanjangan sama saja dgn membuat pemikiran kita semakin rumit. Bagaimana kalau kita permudah dengan melihat esensinya saja? Menurut saya esensi dari hari besar agama adalah “kesucian”, mengenai pengen dirayakan secara besar-besaran, seperlunya, atau dengan hening saja adalah pilihan masing-masing. Demikian juga dgn natal. Secara bahasa, natal berarti kelahiran. Umat kristiani meyakini ini sebagai hari kelahiran Isa Almasih (Yesus, atau Nabi Isa AS dalam agama Islam). Saya nggak begitu paham kalau ditanya tentang sejarah kelahirannya. Tapi secara naluri manusia menganggap kelahiran seseorang sebagai sesuatu yang patut dirayakan. Dalam agama ada hal yg bersifat “peristiwa sebenarnya” serta “peristiwa pemaknaan” (ini istilah yg saya buat sendiri). Misal “peristiwa sebenarnya” pada saat natal adalah kelahiran Isa Almasih pada tanggal 25 Desember, maka “peristiwa pemaknaan”nya bisa bermacam-macam. “Peristiwa pemaknaan” ini tergantung pada tingkat kesadaran spiritual seseorang. Ada yg memaknai sebagai “kelahiran diri kembali” setelah bertobat dari segala kesalahan. Ada yg memaknai sebagai momen untuk berbagi kasih kepada manusia secara luas. Ada pula yg memaknai sebagai sarana untuk memperjuangkan persamaan derajat dan melawan isu SARA. 

Jadi ya mari kita kembalikan pada diri kita masing-masing sih, mau memaknai natal sebagai apa. Saya yg dulu sedikit bingung dengan “makna idul fitri” akhirnya membuat pemaknaan sendiri. Bukan sebagai “hari minta maaf” sih, melainkan sbg “hari bersih-bersih”, sbg hari untuk banyak ngomong sama Tuhan, sbg hari untuk nggak mudah men-judge diri sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa minta maaf ke orang kalau maafin diri sendiri aja susah? 

Saya harap semoga peringatan hari besar agama tidak hanya dipandang sebagai momen untuk mencari pembenaran atau kesalahan, untuk membedakan antara halal dan haram, baik dan buruk. Saya tidak ingin peringatan agama hanya menyentuh logika manusia, padahal keberadaan Tuhan sendiri di luar batasan logika manusia. Apakah mungkin keimanan hanya ditentukan oleh banyak sedikitnya ilmu agama seseorang? Saya berharap peringatan agama apapun mampu menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran spiritual manusia, mampu menjadi “cahaya” untuk berbagi kebaikan pada banyak orang dan bukan kepentingan kelompok. Perbedaan ajaran agama hanyalah perbedaan “ranah ilmu”, sama seperti perbedaan ilmu sosial dan ilmu eksak. Hanya berbeda sudut pandang, namun tujuan kenapa ilmu itu dibuat adalah sama, yakni untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan manusia kan? 

Suatu masalah bisa dilihat dari berbagai bidang ilmu. Demikian pula Tuhan bisa dilihat dari berbagai agama. Jika memang Tuhan itu satu, maka seharusnya tidak masalah jika saya ikut “merayakan” natal. Tentunya saya akan merayakan dengan cara saya, tidak pergi ke gereja atau melakukan prosesi natal lainnya. Ya, saya bisa “merayakan” natal dengan sholat (what??). Saya bisa kok mengambil makna “kedamaian bersama Tuhan” dalam sholat saya. Saya bisa berbagi kasih dengan cara saya, tidak harus membandingkan isi Al Quran dengan Injil atau Al Kitab. Saya bisa kok tetap membaca Al Quran, toh di dalam Al Quran sudah banyak ayat yang berisi tentang kasih dan perdamaian kan? 

Mari saling berkaca, sudahkah kita merasakan “keberadaan Tuhan” melebihi “pesan-pesan seremonial”?


Maka nikmatilah natal dengan hati yang putih………



 

Jumat, 20 Desember 2013

Talking to God



Kalo aja ngobrol sama Tuhan itu semudah ngobrol sama temen se-genk, begitu nanya langsung ada jawabnya, pasti nggak akan ada keresahan.

Kalo lagi galau atau bete tinggal nanya, “Hei Bro, gue mesti ngapain?”

Trus langsung ada jawaban, “Oh, ya loe, harus gini gini, bla..bla.. bla.. Dijamin loe bakal bahagia, masuk surga.”

 Kalo aja masuk surga itu kayak nonton konser, pasti enak ya. Bisa pesen tiket, bisa bayar VIP untuk cari posisi paling pewe, bisa teriak2 bergembira, dapet euforia & ketemu artis yg namanya “kebahagiaan.”

Tapi tampaknya Tuhan lebih memilih posisi “jaim”. Bukan karena Dia sombong. Dia cuma pengen manusia belajar memuliakan sesuatu yang “agung”. Dia cuma pengen komunikasiNya dengan manusia berjalan lebih istimewa. Makanya Dia nggak pernah nunjukkin no HP atau pin BBNya, biar manusia merasakan bahwa menemukan & berbicara dgnNya itu tidak mudah.  Makanya Dia nggak pernah ngasih jawaban yang langsung bisa “didengar” oleh manusia, biar manusia tertantang untuk menjadi peka sendiri dengan petunjukNya. 

Begitulah, sesungguhnya Dia tidak berniat untuk menjadi “sok misterius”. Apa yang Dia lakukan semata agar manusia menyadari arti pemuliaan atas Dirinya & ketetapanNya. Kalau terhadap Dia saja tidak memuliakan, bagaimana mungkin manusia akan memuliakan dirinya sendiri & dunia di sekitarnya? 
 



 

Kamis, 19 Desember 2013

Our Lovely Lord



Apapun agama/kepercayaan kamu, sesungguhnya kitab sucinya adalah satu : hati. Have you ever read your own heart?


Belajar agama itu buat apa? Untuk mengajarimu bahwa sesungguhnya pemahaman agama itu bukan milikmu
Belajar “ilmu dunia” itu buat apa? Untuk mengajarimu bahwa sesungguhnya kamu tdk berilmu
Belajar tntang “diri sendiri” itu buat apa? Untuk mengajarimu bahwa sesungguhnya kamu tidak memiliki apapun atas tubuhmu


Beribadah itu bukan biar disayang Tuhan, tapi biar kamunya sayang Tuhan. Kamu ibadah atau nggak, Tuhan tetep sayang kok. Bedanya, kalau kamu ibadah, kamu jadi lebih peka kalau Tuhan sayang sama kamu.


Everyone has their own light. Don’t be judgemental of what you see in others.


Tolerance is more than appreciating something different from you. It’s about being a part of a difference.


Perjalanan spiritual “mencari” Tuhan bukan tntang seberapa jauh jarak yang kau tempuh, seberapa banyak ilmu yang kau pelajari, seberapa banyak amal yang kau lakukan…
Tapi… “mencari” Tuhan adalah tentang keberanian mengakui siapa diri kita yang sebenarnya di hadapanNya.


Yang terpenting itu bukan bgaimana kita bisa terbang ke angkasa, mencapai puncak gunung tertinggi, mendapat milyaran uang, atau dikenal orang sedunia. Yang terpenting itu menyadari  apakah kita sudah demikian kenal dekat dengan Tuhan yang ada dalam hati. 

Kita “bebas” menjadikan fisik kita berkilau semacam apapun, tapi iman kita harus lebih berkilau. Iman itu hanya urusan antara kau dengan Tuhan. It’s really personal & sacred!




Sebagaimana agama sebagai “kendaraan” untuk mengenal dan beribadah pada Tuhan, maka profesi/pekerjaan juga merupakan “kendaraan” untuk memberikan manfaat pada orang lain.
Ada banyak jalan yang bisa kita tempuh untuk menuju kebaikan, namun ada kalanya kita memang harus bergerak dengan “kendaran” untuk menunjukkan identitas kita.







  (note: foto ini diambil seorang teman dgn penuh perjuangan di Phuket, Thailand :) )

Sabtu, 14 Desember 2013

Some sayings about love…….



Sometimes love is just a battle between heart and head. The decision to win is totally yours.


Loving is giving, not getting. Like the sun, the love of sun doesn’t burn. It’s warming the others with a right temperature. And the one who gets its love will be alive, but the sun itself isn’t alive. So, the sun is just a “dead thing”, but how can it bring the power to the entire universe? It happens, yes the miracle of love is happening. The sun never gets the love back, but it always has the energy to love. Just like that, the pure love doesn’t need the energy because love itself is an energy.


Cinta itu sebenarnya milik Tuhan. Hanya saja ketika manusia diturunkan ke bumi, Tuhan menitipkan cinta untuk dia “pinjam”, agar dibagikan kepada manusia lainnya, sebagai media untuk berkomunikasi. Jika komunikasi antara manusia hanya lewat kata-kata, maka hal itu hanya sebatas penyampaian informasi. Tapi karena ada cinta di dalam hati manusia, maka manusia bisa memiliki pemahaman yang luas, melebihi jangkauan akal. Begitu pula dalam mengenal agama. Jika hanya sebatas kata, maka sifatnya hanya penyampaian informasi. Namun karena ada cinta, manusia pun menjadi tahu bahwa kasih Tuhan memang tak terbatas.


Cinta sejati tidak pernah terpisah. Ketika yang muncul hanya kekecewaan & kesedihan karena tidak bertemu, maka cinta tersebut masih menyentuh "fisik", masih melihatnya sebagai bagian yg terpisah dari penciptaNya. Ketika sudah mencintai secara jiwa, maka cinta tersebut tidak akan bersifat posesif, tetapi saling melepaskan untuk mengembangkan kualitas diri masing-masing. Apabila kedua jiwa tersebut bertemu, maka fisik hanya sebagai perantara. Oleh karena itu ketika fisik menua atau sudah tidak ada, jiwa tetap terlihat menarik sampai kapanpun.


Cinta adalah energi, sebagaimana kehidupan. Kalau kehabisan cinta, itu sama saja dengan kekurangan oksigen & tidak bisa bernapas.


Kalau kamu sedang sangat membenci seseorang/sesuatu, mungkin kamu lupa untuk melihatnya dengan cinta. Karena sesungguhnya dalam cinta tidak ada perlawanan.


Orang yang mencintai tidak pernah merasa kesepian. Ia bisa melihat cinta pada derasnya hujan, pada sejuknya udara, pada segarnya embun, pada hangatnya mentari, pada degupan jantung, pada senyuman, pada tetesan air mata, pada orang-orang yg mendatangi & meninggalkannya……


Kalau tidak ada cinta tidak mungkin bumi bisa berputar, tidak mungkin Tuhan bisa “bekerja”, tidak mungkin ada semesta yang bertasbih, tidak mungkin ada manusia yang membuat cerita.