Hmm…. Sebenarnya saya tidak
begitu tahu natal itu apa, tapi saya lagi pengen bikin tulisan tentang natal. Saya
juga lagi nggak pengen memperdebatkan pendapat orang-orang tentang natal. Trus
ngapain dong saya bikin tulisan ini? Iseng aja, biar gak bosen mikirin tesis
*dikeplak massa.
Sebagai orang yang nggak pernah
melakukan ibadah di gereja (yang otomatis nggak pernah ngrayain natal bersama
keluarga), dulu ketika kecil saya cuma tahu natal itu dengan banyaknya kartun
di televisi, trus banyak pohon natal & makanan di rumah tetangga saya yang
kristiani, selebihnya saya nggak tahu prosesi natal tu ngapain aja. Tapi waktu
itu saya termasuk orang yang menikmati natal, “Horee, banyak kartun. Horee,
banyak makanan & coklat. Horee, bisa ngliatin pohon natal yg
cantik-cantik.” Itu yg saya pikirkan. Hingga sekarang pun, entah kenapa saya
masih ngerasa seneng aja ngliatin ornamen natal. Karena pohon natal harganya
cukup mahal, maka tahun ini saya beli ornamennya yg murah aja deh. Padahal
sebenernya asyik kali ya, punya pohon natal trus dikasih hiasan macem-macem
sesuka gue, ada hiasan-hiasan “tidak lazim” seperti ketupat, tasbih, stupa, dll
*syncretism in peace :D
Trus saya jadi mikir, kira-kira
kalo saya lagi lebaran apa ya yg dipikirin orang-orang yang beragama lain? Apa
mereka juga bisa melihat “keagungan Islam”? Apa mereka juga menikmati saat-saat
di mana umat muslim saling bersilaturahmi & bermaaf-maafan? Lebaran kemarin
saya mendapat sms ucapan selamat idul fitri dari beberapa temen saya yg non muslim.
Isinya macem-macem, ada yg mohon maaf secara “standar”, ada juga yg sedikit
kritis dengan ngingetin saya untuk tidak cari imbalan di depan Tuhan &
beribadah dgn hati. Apakah itu dapat dikatakan bahwa mereka turut menikmati
lebaran? Kok bisa ya? Saya aja saat itu malah galau sms-an dengan teman. “Eh
besok lebaran nih. Gimana dong? Aku merasa harus masuk dalam ‘tradisi
maaf-maafan’. Bahkan aku harus maaf-maafan sama temen-temen dan keluargaku
tanpa harus tahu apa alasannya. Aku tidak yakin apakah ucapan maaf ini
benar-benar dari hati atau hanya karena ‘kebanyakan orang melakukannya’. Aku
tidak tahu apa yg harus dirayakan. Kalau lagi natal, apakah kamu juga bisa
merayakannya? ,“ kurang lebih demikian isi sms saya.
“Hehe.. aku juga tidak tahu. Aku
hanya merasa senang karena ketika natal saudara-saudaraku berkumpul. Aku pernah
mengundang Tuhan Yesus untuk datang ke rumahku, tapi sepertinya Dia sedang
tidak mau berbicara denganku,” kurang lebih begitu isi sms balasan dari teman
saya.
Yak, begitulah percakapan dua
orang abnormal yang mengkritisi agamanya masing-masing. Dua orang “gila” yang
suka “mencampuradukkan” ajaran agama tapi tetap berusaha untuk kembali pada
agamanya masing-masing.
Dan yaa ini hari natal. Saya suka
bingung dengan orang-orang yg masih berkutat untuk membahas boleh tidaknya
mengucapkan selamat natal. Soalnya mau dibahas sampe kapanpun pasti tetep akan
terjadi pro kontra. Bagi saya, apalah artinya sebuah ucapan. Toh hanya ucapan
kan? Bukankah itu sama saja dengan ucapan hari-hari lainnya, misalnya Selamat
Hari Ibu, Selamat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, Selamat Hari Pahlawan, dll?
Atau karena sudah mengandung “embel-embel agama” maka menjadi dilarang?
Bagaimana kalau ucapan natalnya kita ganti dengan, “Selamat menebar kasih
sayang dan perdamaian”, apakah kira-kira MUI akan berubah pikiran untuk tidak
melarangnya?
Maaf ya, tulisan ini dibuat bukan
untuk “mengadu” dua agama. Bagaimanapun saya tetaplah muslim. Saya juga tidak
mau membenci saudara-saudara saya yg berprinsip “tidak boleh mengucapkan
selamat natal”. Ini masalah keyakinan, ya sudah, masalah mereka dengan Tuhan.
Asal tidak bikin kerusuhan atau bom saja sih bagi saya nggak masalah mau
ngucapin selamat atau tidak.
Sebenernya membahas masalah ini
secara berkepanjangan sama saja dgn membuat pemikiran kita semakin rumit.
Bagaimana kalau kita permudah dengan melihat esensinya saja? Menurut saya
esensi dari hari besar agama adalah “kesucian”, mengenai pengen dirayakan
secara besar-besaran, seperlunya, atau dengan hening saja adalah pilihan
masing-masing. Demikian juga dgn natal. Secara bahasa, natal berarti kelahiran.
Umat kristiani meyakini ini sebagai hari kelahiran Isa Almasih (Yesus, atau
Nabi Isa AS dalam agama Islam). Saya nggak begitu paham kalau ditanya tentang
sejarah kelahirannya. Tapi secara naluri manusia menganggap kelahiran seseorang
sebagai sesuatu yang patut dirayakan. Dalam agama ada hal yg bersifat
“peristiwa sebenarnya” serta “peristiwa pemaknaan” (ini istilah yg saya buat
sendiri). Misal “peristiwa sebenarnya” pada saat natal adalah kelahiran Isa
Almasih pada tanggal 25 Desember, maka “peristiwa pemaknaan”nya bisa
bermacam-macam. “Peristiwa pemaknaan” ini tergantung pada tingkat kesadaran
spiritual seseorang. Ada yg memaknai sebagai “kelahiran diri kembali” setelah
bertobat dari segala kesalahan. Ada yg memaknai sebagai momen untuk berbagi
kasih kepada manusia secara luas. Ada pula yg memaknai sebagai sarana untuk
memperjuangkan persamaan derajat dan melawan isu SARA.
Jadi ya mari kita kembalikan pada
diri kita masing-masing sih, mau memaknai natal sebagai apa. Saya yg dulu
sedikit bingung dengan “makna idul fitri” akhirnya membuat pemaknaan sendiri. Bukan
sebagai “hari minta maaf” sih, melainkan sbg “hari bersih-bersih”, sbg hari
untuk banyak ngomong sama Tuhan, sbg hari untuk nggak mudah men-judge diri
sendiri. Bagaimana mungkin saya bisa minta maaf ke orang kalau maafin diri
sendiri aja susah?
Saya harap semoga peringatan hari
besar agama tidak hanya dipandang sebagai momen untuk mencari pembenaran atau
kesalahan, untuk membedakan antara halal dan haram, baik dan buruk. Saya tidak
ingin peringatan agama hanya menyentuh logika manusia, padahal keberadaan Tuhan
sendiri di luar batasan logika manusia. Apakah mungkin keimanan hanya
ditentukan oleh banyak sedikitnya ilmu agama seseorang? Saya berharap
peringatan agama apapun mampu menjadi sarana untuk meningkatkan kesadaran
spiritual manusia, mampu menjadi “cahaya” untuk berbagi kebaikan pada banyak
orang dan bukan kepentingan kelompok. Perbedaan ajaran agama hanyalah perbedaan
“ranah ilmu”, sama seperti perbedaan ilmu sosial dan ilmu eksak. Hanya berbeda
sudut pandang, namun tujuan kenapa ilmu itu dibuat adalah sama, yakni untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan manusia kan?
Suatu masalah bisa dilihat dari
berbagai bidang ilmu. Demikian pula Tuhan bisa dilihat dari berbagai agama.
Jika memang Tuhan itu satu, maka seharusnya tidak masalah jika saya ikut
“merayakan” natal. Tentunya saya akan merayakan dengan cara saya, tidak pergi
ke gereja atau melakukan prosesi natal lainnya. Ya, saya bisa “merayakan” natal
dengan sholat (what??). Saya bisa kok mengambil makna “kedamaian bersama Tuhan”
dalam sholat saya. Saya bisa berbagi kasih dengan cara saya, tidak harus
membandingkan isi Al Quran dengan Injil atau Al Kitab. Saya bisa kok tetap
membaca Al Quran, toh di dalam Al Quran sudah banyak ayat yang berisi tentang
kasih dan perdamaian kan?
Mari saling berkaca, sudahkah
kita merasakan “keberadaan Tuhan” melebihi “pesan-pesan seremonial”?
Maka nikmatilah natal dengan hati
yang putih………