20 Juli 2013
Pagi ini saya terbangun untuk
sahur dalam keadaan yg “tidak biasa”. Baru pukul setengah 3. Biasanya jam segitu
saya masih molor. Kadang bangun sih, liat jam doang. Nungguin sampe jam 3 lebih
baru bangun beneran.
Tapi kali ini berbeda. Saya
terbangun karena SMS dari seorang teman saya yg baru saya hubungi malam
sebelumnya. Kita habis SMS an mbahas tesis. Dia bilang malam itu nggak bisa
ikutan kumpul tesis karena Senin besok udah mau mudik ke Jakarta. Wew… saya
agak kaget dengan hal itu. Dia seseorang yg biasanya sangat semangat diajak
kumpul tesis. Dia yg jalannya paling cepet diantara kami bertiga, satu kelompok
payung penelitian. Dia yg dari kemaren2 udah terdengar gosipnya mau segera
ujian kompre. Tapi kenapa? Kenapa tiba2 dia menolak untuk kumpul tesis? Bahkan
dia bilang dia mau menunda ujian kompre sampai nanti setelah lebaran. What
happened??
Hmm, ya mungkin dia pengen cepet2
pulang biar segera bisa ketemu keluarganya. Secara, dia dan pacarnya adalah
pasangan fenomenal di kelas kami. Ya, mereka berdua bertemu di kelas, membuat
kisah, dan setelah hubungan mereka semakin serius mereka tiba2 menjadi bergerak
dengan kecepatan tinggi dalam menyelesaikan urusan2 kuliah. Ya, mereka akhirnya
memutuskan untuk menikah akhir tahun ini. Semangat untuk segera meresmikan
hubungan di KUA itu yg membuat teman saya ini sangat termotivasi untuk mengejar
target lulus. Mengejar-ngejar dosen, tentu sudah sering dia lakukan. Membaca
banyak buku, jurnal, ngetik teori, mikirin metode, cari subjek, konsultasi
proposal, adalah agendanya sehari-hari. Lagi2 beda dengan kami bertiga yg
frekuensi ke kampusnya (dgn agenda khusus ngomongin tesis) sangat bisa
dihitung. Beda dgn kami bertiga yg kalau ada waktu luang lebih senang hangout
& ngrumpi (dgn alasan terapi perkembangan kepribadian). Dia adalah orang yg
otak kirinya sangat bagus. Kalo lagi kumpul berempat diskusi sama dosen
pembimbing tesis, dia yg paling cepet nyambung saat ditanya dosen. Ketika kita
bertiga masih mikir, “Mmm…..mmm……”, dia udah cerita jurnal panjang lebar kayak kereta
ekspres.
Begitulah.. Punya temen kayak dia
itu kadang bikin kesel. Kesel karena kita jadi kelihatan banget bodoh &
pemalasnya. Kesel karena kita sering merasa ketinggalan kereta. Tapii… nggak
selamanya bikin kesel sih, asal tau aja di mana celah2nya kita bisa merasa
asyik dengannya. Dia adalah orang yg sangat excited jika ditanya tentang
hal-hal yg berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan juga pernikahan :). Dia sering
jadi “perpustakaan” bagi kami karena praktis kan, nggak perlu susah2 baca buku
(apalagi kalo buku bahasa Inggris), tinggal nanya doang eh udah ada penjelasan
lengkapnya. Jadi kayak liat narator dalam video dokumenter yang njelasin materi
pengetahuan. Tinggal play, watching, & listening. Yak,kelakuan kami ini
tidak patut dicontoh oleh mahasiswa S2 ya temans :D.
Dan pagi ini dia mengirim SMS yg
membuat saya tercengang. “Ima, maaf sepertinya aku nggak akan balik ke Jogja
dalam waktu lama. Aku pun nggak tau apakah akan balik. Bapakku baru saja
meninggal. Maaf ya.” Respon saya ketika membaca SMS itu awalnya adalah “hanya
kaget.” OMG, bapaknya temen saya meninggal
nih. Ehm, baiklah saya harus segera mengirimkan SMS balasan buat dia.
“Innalilllahi wa inna illaihi rojiun. Wah aku turut berduka cita. Sudah, nggak
usah mikirin dulu urusan di Jogja. Sekarang kamu fokus dulu sama keluarga di
Jakarta ya. Semoga Allah melindungimu. “
Habis kirim SMS itu perasaan
rasanya masih flat. Mungkin karena masih agak ngantuk ya? Jadi serasa habis
mimpi, hmm nih beneran ya bapaknya temen saya meninggal? Lalu beberapa menit
kemudian berusaha untuk bangun sepenuhnya, terduduk di atas kasur, dan tiba2,
“Huaaaaa…………… “ Saya pun menangis. “Hiks, kasihan temen saya, bapaknya
meninggal. Bagaimana ini urusannya di kampus? Bagaimana ini urusan
pernikahannya? Huhu… Nggak kebayang kalo saya yang jadi dia. Di tengah
persiapan menuju hari bahagia tiba2 dikejutkan berita duka.”
Sebenarnya selama ini saya &
dia nggak deket2 banget sih secara emosional. Memang sih pada kenyataannya kita
sering mendapat kesempatan untuk ngurusin sesuatu bareng. Tapi saya nggak
pernah yg sampe hangout bareng sama dia kayak teman2 di kelas yg lain. Curhat2
bergembira pun juga nggak pernah. Pernah curhat sekali, ketika saya mengalami “tragedi
puskesmas” dulu itu, huhu… Tapi entah
kenapa pagi ini saya merasa berhak menangis untuk dia, untuk keluarga, dan
kisah hidupnya.
Dia adalah sosok yg saya kenal
sebagai wanita yg kuat. Itu juga yg selama ini diamati oleh teman2 saya. Kuat,
bahkan untuk terlihat lemah sedikit saja di hadapan orang lain pun sepertinya
hal yg patut dia hindari. Dia pernah cerita dulu bahwa kekuatan dirinya ini
memang sudah dia bangun sejak kecil. Pengalaman masa lalunya kemudian
mengajarkan dia bahwa untuk menjadi kuat dia tidak boleh menangis, tidak boleh
mempersilakan aspek afeksi untuk berinteraksi dengan masalah. Itulah yg sampai
sekarang masih melekat dalam dirinya. Itulah yg membuatnya bisa dengan mudah
fokus terhadap target. Tidak seperti saya & teman2 lainnya yg sering bilang,”Iya,
kita harus mengejar target” namun pada kenyataannya aspek kognisi sangat mudah
terganggu ketika aspek afeksi bermasalah (baca: galau), sehingga tugas2 pun
sering berjalan seenaknya melewati deadline (damn, feeling hated to write it
>.<).
Kalau dibilang saya orang yg
sensitif banget sebenarnya nggak juga. Saya baru bisa nangis dengan ekspresif akhir-akhir
ini kok. Itu pun masih dalam tahap transisi, karena aspek kognisi saya juga
masih kuat jadinya sering kejar2an sama afeksi. Pernah hampir nangis di depan
umum, namun kepala itu rasanya cepet bertindak dan bilang, “Udah Ima, ngapain
sih nangis kayak gitu? Penting ya? Biar dikasihani orang gitu? Nggak sopan
kali, udah nangisnya ntar aja di kos kalo lagi sendirian.”
Dalam hal ekspresi afeksi, tampaknya
saya dan teman saya itu ada kemiripan. Dan inilah mungkin salah satu alasan
kenapa tadi saya nangis. Sebenarnya adalah saya mengkhawatirkan dia. “Apa masih
bisa dia terus bertahan dalam ‘kekuatannya’? Apakah bisa berusaha menjadi sosok
yg ‘menyembunyikan afeksi’? Oh, saya harap tidak. Tuhan, biarkan dia merasakan
emosinya secara bebas. Biarkan dia bersikap ‘as a woman’, ‘as a daughter missed
her father much.’ Biarkan dia menjadi manusia seutuhnya dan menikmati kekuatan
hati.”
Haduuh, apakah doa ini terkesan
aneh? Jika pada umumnya orang-orang berdoa agar keluarga yg ditinggalkan diberi
kekuatan & ketabahan, kenapa saya terkesan berdoa yg sebaliknya ya? Kalau
memohon kekuatan sih saya pikir dia sudah sangat kuat ya Tuhan. Makanya saya
ingin kekuatannya itu melunak.
Nggak papa lho nangis. Nggak papa
lho menjadi lemah. Saya aja nyesel lho baru bisa menikmati sensasinya
akhir-akhir ini. Hoo, ternyata gini ya rasanya mudah terharu? Ternyata gini ya
rasanya becomes a really human.
(Sok) Kuat itu seringkali bikin
sombong. “Okeh, saya kuat. Saya pasti bisa menghadapi ini semua dengan baik2
saja. Sudahlah, kan setiap musibah itu adalah rencana Tuhan. Kita punya apa sih
di dunia ini? Ikhlaskan saja. Nangis itu pertanda kalo kita belum menerima
takdir Tuhan.” Dulu saya mungkin masih sering berpikir seperti itu.
Tapi ternyata… menjadi wanita yg
cengeng itu so cute lho :). Karena sebenarnya “kelemahan” itu yg menunjukkan
“kekuatan” wanita. Sebagai wanita, mungkin sering bingung ya mencari cara
gimana biar nggak dianggep lemah oleh orang lain, terutama pria. Memakai
“topeng baja” biar tampak kuat & nggak pernah nangis, terkadang malah
dilihat pria dengan kesan seraam.. So, harus gimana nih? Ya itu tadi, nikmati
saja peran sebagai wanita yg lemah. Kan di dunia ini udah ada pria yg kuat.
Kalo pria dan wanita sama-sama kuat, mau jadi apa dunia? Perang? Dengan menjadi
wanita yg lemah, itu akan menjadi penyeimbang dunia. Itulah kekuatan wanita,
bisa mengendalikan amarah menjadi rasa
sayang, itu kekuatan yg luar biasa kan?
Saya yakin ayahnya teman saya
yang sekarang sudah beristirahat dengan damai itu juga mengamati perkembangan
putrinya dari masa ke masa. Mungkin beliau pernah merasa sedih karena berbuat
salah sehingga mengecewakan putrinya, namun saat melihat putrinya tumbuh
dewasa, cerdas, & sebentar lagi akan menikah, saya yakin beliau pasti
berbahagia. Akhirnya perjuangan beliau untuk membesarkan anaknya tidak sia-sia
sehingga ketika beliau meninggalkan dunia ini putrinya sudah dalam kondisi yg
“berhak untuk ditinggalkan.” Memang sih kesannya ironis ya, belum sempat
melihat putrinya lulus S2, menikah & memberinya cucu, beliau sudah keburu meninggal.
Bagaimanapun, yang namanya
peristiwa meninggal itu pasti menimbulkan duka bagi orang-orang yang
ditinggalkan. Sudah pasti bagi teman saya itu. Kalimat di SMS yg terasa
nyesek,” Aku pun nggak tau apakah akan balik.” Ternyata kedukaan itu bukan
hanya berarti dia akan break dalam beberapa waktu, tetapi juga break dalam
waktu yg tidak dapat ditentukan. It means untuk menentukan akan kembali kuliah
atau tidak pun masih terasa sulit.
Saya nggak tahu apa yang sedang
dia pikirkan ketika mengetik SMS itu. Apakah dia bingung menentukan kelanjutan
biaya kuliah ataukah dia sudah tidak punya semangat kuliah lagi setelah ayahnya
tiada. Entahlaah. Well, akhirnya saya menyadari bahwa saya masih berharap dia
dapat terus kuliah, nanggung nih, kurang sedikit lagi. Saya yakin teman2 saya
yang lain pun juga berharap demikian. Terlebih dengan besarnya semangat
kekeluargaan di antara kami semua. Pasti teman2 tidak akan membiarkan ada
tangan yg terlepas dan gagal meraih impian bersama.
SMS singkat pagi tadi itu cukup
mengubah mood saya seharian. Selalu, kematian seseorang membuat saya merinding
dan berpikir kembali tentang makna hidup. Apalagi ketika kemarin saya beberapa
kali mendengar ayat surat Ar Rahman dilantunkan dengan indah, “Fabiayyi alaa’i
rabbikumaa tukaddzibaan”, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan?” “Nikmat Tuhan yang mana lagi
Ima yg kamu dustakan?” Huaaa, seketika
menjadi nangis lagi pas inget ini. Haduuh, selama ini saya udah cukup bersyukur
belum ya? Nikmat dari Tuhan tuh padahal udah banyak bangettss…ngeettszzz…..
Nggak terhitung. Bisa dapat kesempatan hidup aja itu udah kehormatan banget lho
T_T
Ini adalah kutipan ayat yang
menurut saya syahdu banget. Bikin tenang siapapun yg membacanya. CintaNya Tuhan
buat manusia kerasa banget lho di sini. Dalam 1 surat aja diulang sebanyak 30
kali. Kalo bukan Tuhan, pujangga mana yg mau susah2 mengulang kalimat yg sama
sebanyak 30 kali?
Give applause to God!^^ Nah, udah
tuh, saya udah diingatkan lagi untuk banyak2 bersyukur. Eh habis itu ada
kegalauan yg lain lagi. Hiks, tiba2 kepikiran someone special yg berada nun
jauh di sana. “Hiks, ini gimana ya kalo saya belum sempat menyatakan perasaan
padanya trus keburu mati? Huaaa….. Bisa dipastikan saya akan jadi arwah
gentayangan. Huaaa…. Tidak Tuhan, saya belum relaa”*insting sbg manusia rajin
galau pun muncul lagi.
Gimana ya kalo saya belum sempat
membuat kisah dengannya?? Lalu… laluu…?
“Cinta ya Ma? Cinta? Hohoho…
Ngapain lu mikirin cinta Ma? Kagak cukup apa Aku ngucapin ‘Fabiayyi alaa’i
rabbikumaa tukaddzibaan’ sebanyak 30 kali? Nggak cukup apa Aku ngasih perhatian
yg sebesar itu padamu? Pada perjalanan hidupmu? Pada orang2 yg memberikan cinta
padamu? Pada semangat, mimpi, & inspirasi yg melekat dalam dirimu? Pada
jiwa, tubuh, & hatimu yg menyatu dalam semesta?”
Huumm… saya nggak tahu harus
ngomong apa kalo Tuhan udah ngomong begini? Hiks… Ini adalah kata2 “pujian”
untuk saya yg nggak bisa dibantah. Iya Tuhan, cintaMu emang udah terbukti
besar. Meski saya masih sering galau merindukan seseorang…..bukankah
sesungguhnya saya dan dia nggak pernah terpisah ya? Karena di sini ada Tuhan,
dan di sana pun ada Tuhan? Tak peduli kita menjalani hidup di mana, pasti di
sekitar kita akan selalu ada cinta-cinta istimewa yg dipersembahkan oleh Tuhan
untuk kita. Hmm, justru dengan jauh dgn orang yg kita sayangi, kita akan “dilatih”
untuk merasakan cinta yg sebenarnya dari orang-orang di sekitar kita. Kita akan
dilatih untuk memiliki unconditional love, bahwa yg namanya cinta dari Tuhan itu
ya harus benar-benar tulus, jangan ada tendensi. Jangan cuma karena merasa udah
nemuin someone special trus dunia di sekitar kita lainnya jadi nggak penting.
Lalu teringat perkatan seorang
teman,”Kalo menurutku ya Im, jodoh itu adalah orang yg sama kualitasnya dengan
kita. Oleh sebab itu, aku berharap menemukan jodoh berupa orang yg perhatian
dgn keluarga. Itulah proses “PDKT” yg sedang kulakukan. Makanya, aku sekarang
berusaha untuk lebih banyak meluangkan waktu dgn keluarga.” Iya sih, saya pikir
ini adalah proses PDKT yg paling mungkin saya lakukan. Mengingat saya termasuk
orang yang susah dekat dgn lawan jenis, hoho…. Jadi maksudnya adalah menyamakan
“frekuensi” gitu dengan orang yg kita sayangi.
So, ketika menyadari bahwa cinta
itu begitu luas, rasanya damai yaa ^^ Di sini ada cinta, di sana ada cinta,
cinta bertebaran di mana-mana. Daan….. di kehidupan setelah dunia pun juga ada
cinta. Balik lagi ke kisah teman saya tadi. Saya yakin meskipun mereka kini
sudah berbeda dunia, rasa cinta itu masih tetap ada. Sang ayah yg merindukan
anaknya “di tempat yg indah”, serta sang anak yg merindukan ayahnya di dunia. Dan
tahukah kau temans, kematian itu adalah jarak terdekat seseorang dengan cinta
sejatinya? Itu menurut saya lho ya. Ini bukan sekedar cinta Romeo Juliet yg
sehidup semati, melainkan akan lebih terasa “ujiannya” kalo yg satu hidup &
yg 1 mati. Yah, mirip2 ceritanya Habibie-Ainun atau Udje-Pipik lah… Kebayang
nggak sih, betapa seolah2 udah nggak ada kesempatan untuk bertatap muka, menyampaikan
rindu, & bertegur sapa. Tapi sebenarnya tidak lho… kesempatan untuk saling
berbagi rasa melalui doa masih terbuka dgn lebar. And it feels so good if we
understand how to express love in holiness :)
Everybody finds love in the end. Cinta
yg dibagikan pada manusia lainnya memang begitu indah, namun ketika kita
kembali pada pemilik cinta sejati, cinta akan terasa semakin sakral. Tuhan,
Dzat yg menguasai semua hati dan semesta akhirnya hadir di hadapan kita saat
kita memasuki pintu gerbang alam lain. Tuhan, Dzat yg selama ini menjadi tempat
paling setia bagi kita dalam berbagi rasa akhirnya hadir dan membuka “tanganNya”,
siap memeluk kita dgn kehangatan sempurna. Ketika kita menyadari betapa
indahnya seseorang yg kembali pada cinta sejatinya, bagaimana mungkin kita
tidak ikut bahagia? Ya, cinta itu indah, akan tetap indah, karena cinta itu
adalah “perasaan”, bukan pertemuan “fisik”. Cinta itu “hati”, bukan “pemikiran
logis”. Pertemuan fisik hanya akan menuntut kedekatan, pemikiran logis hanya
akan menuntut baik & buruk. Namun cinta dgn perasaan & hati tidak
mengenal semua itu. Cinta itu…ya cinta: Unconditional feeling that makes you
warm, safe, & free ^^