Minggu, 21 Juli 2013

Everybody Finds Love in the End



20 Juli 2013

Pagi ini saya terbangun untuk sahur dalam keadaan yg “tidak biasa”.  Baru pukul setengah 3. Biasanya jam segitu saya masih molor. Kadang bangun sih, liat jam doang. Nungguin sampe jam 3 lebih baru bangun beneran. 

Tapi kali ini berbeda. Saya terbangun karena SMS dari seorang teman saya yg baru saya hubungi malam sebelumnya. Kita habis SMS an mbahas tesis. Dia bilang malam itu nggak bisa ikutan kumpul tesis karena Senin besok udah mau mudik ke Jakarta. Wew… saya agak kaget dengan hal itu. Dia seseorang yg biasanya sangat semangat diajak kumpul tesis. Dia yg jalannya paling cepet diantara kami bertiga, satu kelompok payung penelitian. Dia yg dari kemaren2 udah terdengar gosipnya mau segera ujian kompre. Tapi kenapa? Kenapa tiba2 dia menolak untuk kumpul tesis? Bahkan dia bilang dia mau menunda ujian kompre sampai nanti setelah lebaran. What happened??

Hmm, ya mungkin dia pengen cepet2 pulang biar segera bisa ketemu keluarganya. Secara, dia dan pacarnya adalah pasangan fenomenal di kelas kami. Ya, mereka berdua bertemu di kelas, membuat kisah, dan setelah hubungan mereka semakin serius mereka tiba2 menjadi bergerak dengan kecepatan tinggi dalam menyelesaikan urusan2 kuliah. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah akhir tahun ini. Semangat untuk segera meresmikan hubungan di KUA itu yg membuat teman saya ini sangat termotivasi untuk mengejar target lulus. Mengejar-ngejar dosen, tentu sudah sering dia lakukan. Membaca banyak buku, jurnal, ngetik teori, mikirin metode, cari subjek, konsultasi proposal, adalah agendanya sehari-hari. Lagi2 beda dengan kami bertiga yg frekuensi ke kampusnya (dgn agenda khusus ngomongin tesis) sangat bisa dihitung. Beda dgn kami bertiga yg kalau ada waktu luang lebih senang hangout & ngrumpi (dgn alasan terapi perkembangan kepribadian). Dia adalah orang yg otak kirinya sangat bagus. Kalo lagi kumpul berempat diskusi sama dosen pembimbing tesis, dia yg paling cepet nyambung saat ditanya dosen. Ketika kita bertiga masih mikir, “Mmm…..mmm……”, dia udah cerita jurnal panjang lebar kayak kereta ekspres. 

Begitulah.. Punya temen kayak dia itu kadang bikin kesel. Kesel karena kita jadi kelihatan banget bodoh & pemalasnya. Kesel karena kita sering merasa ketinggalan kereta. Tapii… nggak selamanya bikin kesel sih, asal tau aja di mana celah2nya kita bisa merasa asyik dengannya. Dia adalah orang yg sangat excited jika ditanya tentang hal-hal yg berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan juga pernikahan :). Dia sering jadi “perpustakaan” bagi kami karena praktis kan, nggak perlu susah2 baca buku (apalagi kalo buku bahasa Inggris), tinggal nanya doang eh udah ada penjelasan lengkapnya. Jadi kayak liat narator dalam video dokumenter yang njelasin materi pengetahuan. Tinggal play, watching, & listening. Yak,kelakuan kami ini tidak patut dicontoh oleh mahasiswa S2 ya temans :D.

Dan pagi ini dia mengirim SMS yg membuat saya tercengang. “Ima, maaf sepertinya aku nggak akan balik ke Jogja dalam waktu lama. Aku pun nggak tau apakah akan balik. Bapakku baru saja meninggal. Maaf ya.” Respon saya ketika membaca SMS itu awalnya adalah “hanya kaget.”  OMG, bapaknya temen saya meninggal nih. Ehm, baiklah saya harus segera mengirimkan SMS balasan buat dia. “Innalilllahi wa inna illaihi rojiun. Wah aku turut berduka cita. Sudah, nggak usah mikirin dulu urusan di Jogja. Sekarang kamu fokus dulu sama keluarga di Jakarta ya. Semoga Allah melindungimu. “

Habis kirim SMS itu perasaan rasanya masih flat. Mungkin karena masih agak ngantuk ya? Jadi serasa habis mimpi, hmm nih beneran ya bapaknya temen saya meninggal? Lalu beberapa menit kemudian berusaha untuk bangun sepenuhnya, terduduk di atas kasur, dan tiba2, “Huaaaaa…………… “ Saya pun menangis. “Hiks, kasihan temen saya, bapaknya meninggal. Bagaimana ini urusannya di kampus? Bagaimana ini urusan pernikahannya? Huhu… Nggak kebayang kalo saya yang jadi dia. Di tengah persiapan menuju hari bahagia tiba2 dikejutkan berita duka.” 

Sebenarnya selama ini saya & dia nggak deket2 banget sih secara emosional. Memang sih pada kenyataannya kita sering mendapat kesempatan untuk ngurusin sesuatu bareng. Tapi saya nggak pernah yg sampe hangout bareng sama dia kayak teman2 di kelas yg lain. Curhat2 bergembira pun juga nggak pernah. Pernah curhat sekali, ketika saya mengalami “tragedi puskesmas” dulu itu, huhu…  Tapi entah kenapa pagi ini saya merasa berhak menangis untuk dia, untuk keluarga, dan kisah hidupnya. 

Dia adalah sosok yg saya kenal sebagai wanita yg kuat. Itu juga yg selama ini diamati oleh teman2 saya. Kuat, bahkan untuk terlihat lemah sedikit saja di hadapan orang lain pun sepertinya hal yg patut dia hindari. Dia pernah cerita dulu bahwa kekuatan dirinya ini memang sudah dia bangun sejak kecil. Pengalaman masa lalunya kemudian mengajarkan dia bahwa untuk menjadi kuat dia tidak boleh menangis, tidak boleh mempersilakan aspek afeksi untuk berinteraksi dengan masalah. Itulah yg sampai sekarang masih melekat dalam dirinya. Itulah yg membuatnya bisa dengan mudah fokus terhadap target. Tidak seperti saya & teman2 lainnya yg sering bilang,”Iya, kita harus mengejar target” namun pada kenyataannya aspek kognisi sangat mudah terganggu ketika aspek afeksi bermasalah (baca: galau), sehingga tugas2 pun sering berjalan seenaknya melewati deadline (damn, feeling hated to write it >.<). 

Kalau dibilang saya orang yg sensitif banget sebenarnya nggak juga. Saya baru bisa nangis dengan ekspresif akhir-akhir ini kok. Itu pun masih dalam tahap transisi, karena aspek kognisi saya juga masih kuat jadinya sering kejar2an sama afeksi. Pernah hampir nangis di depan umum, namun kepala itu rasanya cepet bertindak dan bilang, “Udah Ima, ngapain sih nangis kayak gitu? Penting ya? Biar dikasihani orang gitu? Nggak sopan kali, udah nangisnya ntar aja di kos kalo lagi sendirian.” 

Dalam hal ekspresi afeksi, tampaknya saya dan teman saya itu ada kemiripan. Dan inilah mungkin salah satu alasan kenapa tadi saya nangis. Sebenarnya adalah saya mengkhawatirkan dia. “Apa masih bisa dia terus bertahan dalam ‘kekuatannya’? Apakah bisa berusaha menjadi sosok yg ‘menyembunyikan afeksi’? Oh, saya harap tidak. Tuhan, biarkan dia merasakan emosinya secara bebas. Biarkan dia bersikap ‘as a woman’, ‘as a daughter missed her father much.’ Biarkan dia menjadi manusia seutuhnya dan menikmati kekuatan hati.” 

Haduuh, apakah doa ini terkesan aneh? Jika pada umumnya orang-orang berdoa agar keluarga yg ditinggalkan diberi kekuatan & ketabahan, kenapa saya terkesan berdoa yg sebaliknya ya? Kalau memohon kekuatan sih saya pikir dia sudah sangat kuat ya Tuhan. Makanya saya ingin kekuatannya itu melunak.
Nggak papa lho nangis. Nggak papa lho menjadi lemah. Saya aja nyesel lho baru bisa menikmati sensasinya akhir-akhir ini. Hoo, ternyata gini ya rasanya mudah terharu? Ternyata gini ya rasanya becomes a really human.  

(Sok) Kuat itu seringkali bikin sombong. “Okeh, saya kuat. Saya pasti bisa menghadapi ini semua dengan baik2 saja. Sudahlah, kan setiap musibah itu adalah rencana Tuhan. Kita punya apa sih di dunia ini? Ikhlaskan saja. Nangis itu pertanda kalo kita belum menerima takdir Tuhan.” Dulu saya mungkin masih sering berpikir seperti itu. 

Tapi ternyata… menjadi wanita yg cengeng itu so cute lho :). Karena sebenarnya “kelemahan” itu yg menunjukkan “kekuatan” wanita. Sebagai wanita, mungkin sering bingung ya mencari cara gimana biar nggak dianggep lemah oleh orang lain, terutama pria. Memakai “topeng baja” biar tampak kuat & nggak pernah nangis, terkadang malah dilihat pria dengan kesan seraam.. So, harus gimana nih? Ya itu tadi, nikmati saja peran sebagai wanita yg lemah. Kan di dunia ini udah ada pria yg kuat. Kalo pria dan wanita sama-sama kuat, mau jadi apa dunia? Perang? Dengan menjadi wanita yg lemah, itu akan menjadi penyeimbang dunia. Itulah kekuatan wanita, bisa  mengendalikan amarah menjadi rasa sayang, itu kekuatan yg luar biasa kan?

Saya yakin ayahnya teman saya yang sekarang sudah beristirahat dengan damai itu juga mengamati perkembangan putrinya dari masa ke masa. Mungkin beliau pernah merasa sedih karena berbuat salah sehingga mengecewakan putrinya, namun saat melihat putrinya tumbuh dewasa, cerdas, & sebentar lagi akan menikah, saya yakin beliau pasti berbahagia. Akhirnya perjuangan beliau untuk membesarkan anaknya tidak sia-sia sehingga ketika beliau meninggalkan dunia ini putrinya sudah dalam kondisi yg “berhak untuk ditinggalkan.” Memang sih kesannya ironis ya, belum sempat melihat putrinya lulus S2, menikah & memberinya cucu, beliau  sudah keburu meninggal. 

Bagaimanapun, yang namanya peristiwa meninggal itu pasti menimbulkan duka bagi orang-orang yang ditinggalkan. Sudah pasti bagi teman saya itu. Kalimat di SMS yg terasa nyesek,” Aku pun nggak tau apakah akan balik.” Ternyata kedukaan itu bukan hanya berarti dia akan break dalam beberapa waktu, tetapi juga break dalam waktu yg tidak dapat ditentukan. It means untuk menentukan akan kembali kuliah atau tidak pun masih terasa sulit. 

Saya nggak tahu apa yang sedang dia pikirkan ketika mengetik SMS itu. Apakah dia bingung menentukan kelanjutan biaya kuliah ataukah dia sudah tidak punya semangat kuliah lagi setelah ayahnya tiada. Entahlaah. Well, akhirnya saya menyadari bahwa saya masih berharap dia dapat terus kuliah, nanggung nih, kurang sedikit lagi. Saya yakin teman2 saya yang lain pun juga berharap demikian. Terlebih dengan besarnya semangat kekeluargaan di antara kami semua. Pasti teman2 tidak akan membiarkan ada tangan yg terlepas dan gagal meraih impian bersama. 

SMS singkat pagi tadi itu cukup mengubah mood saya seharian. Selalu, kematian seseorang membuat saya merinding dan berpikir kembali tentang makna hidup. Apalagi ketika kemarin saya beberapa kali mendengar ayat surat Ar Rahman dilantunkan dengan indah, “Fabiayyi alaa’i rabbikumaa tukaddzibaan”, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”  “Nikmat Tuhan yang mana lagi Ima yg kamu dustakan?”  Huaaa, seketika menjadi nangis lagi pas inget ini. Haduuh, selama ini saya udah cukup bersyukur belum ya? Nikmat dari Tuhan tuh padahal udah banyak bangettss…ngeettszzz….. Nggak terhitung. Bisa dapat kesempatan hidup aja itu udah kehormatan banget lho T_T

Ini adalah kutipan ayat yang menurut saya syahdu banget. Bikin tenang siapapun yg membacanya. CintaNya Tuhan buat manusia kerasa banget lho di sini. Dalam 1 surat aja diulang sebanyak 30 kali. Kalo bukan Tuhan, pujangga mana yg mau susah2 mengulang kalimat yg sama sebanyak 30 kali?

Give applause to God!^^ Nah, udah tuh, saya udah diingatkan lagi untuk banyak2 bersyukur. Eh habis itu ada kegalauan yg lain lagi. Hiks, tiba2 kepikiran someone special yg berada nun jauh di sana. “Hiks, ini gimana ya kalo saya belum sempat menyatakan perasaan padanya trus keburu mati? Huaaa….. Bisa dipastikan saya akan jadi arwah gentayangan. Huaaa…. Tidak Tuhan, saya belum relaa”*insting sbg manusia rajin galau pun muncul lagi.

Gimana ya kalo saya belum sempat membuat kisah dengannya?? Lalu… laluu…? 

“Cinta ya Ma? Cinta? Hohoho… Ngapain lu mikirin cinta Ma? Kagak cukup apa Aku ngucapin ‘Fabiayyi alaa’i rabbikumaa tukaddzibaan’ sebanyak 30 kali? Nggak cukup apa Aku ngasih perhatian yg sebesar itu padamu? Pada perjalanan hidupmu? Pada orang2 yg memberikan cinta padamu? Pada semangat, mimpi, & inspirasi yg melekat dalam dirimu? Pada jiwa, tubuh, & hatimu yg menyatu dalam semesta?”

Huumm… saya nggak tahu harus ngomong apa kalo Tuhan udah ngomong begini? Hiks… Ini adalah kata2 “pujian” untuk saya yg nggak bisa dibantah. Iya Tuhan, cintaMu emang udah terbukti besar. Meski saya masih sering galau merindukan seseorang…..bukankah sesungguhnya saya dan dia nggak pernah terpisah ya? Karena di sini ada Tuhan, dan di sana pun ada Tuhan? Tak peduli kita menjalani hidup di mana, pasti di sekitar kita akan selalu ada cinta-cinta istimewa yg dipersembahkan oleh Tuhan untuk kita. Hmm, justru dengan jauh dgn orang yg kita sayangi, kita akan “dilatih” untuk merasakan cinta yg sebenarnya dari orang-orang di sekitar kita. Kita akan dilatih untuk memiliki unconditional love, bahwa yg namanya cinta dari Tuhan itu ya harus benar-benar tulus, jangan ada tendensi. Jangan cuma karena merasa udah nemuin someone special trus dunia di sekitar kita lainnya jadi nggak penting. 

Lalu teringat perkatan seorang teman,”Kalo menurutku ya Im, jodoh itu adalah orang yg sama kualitasnya dengan kita. Oleh sebab itu, aku berharap menemukan jodoh berupa orang yg perhatian dgn keluarga. Itulah proses “PDKT” yg sedang kulakukan. Makanya, aku sekarang berusaha untuk lebih banyak meluangkan waktu dgn keluarga.” Iya sih, saya pikir ini adalah proses PDKT yg paling mungkin saya lakukan. Mengingat saya termasuk orang yang susah dekat dgn lawan jenis, hoho…. Jadi maksudnya adalah menyamakan “frekuensi” gitu dengan orang yg kita sayangi.

So, ketika menyadari bahwa cinta itu begitu luas, rasanya damai yaa ^^ Di sini ada cinta, di sana ada cinta, cinta bertebaran di mana-mana. Daan….. di kehidupan setelah dunia pun juga ada cinta. Balik lagi ke kisah teman saya tadi. Saya yakin meskipun mereka kini sudah berbeda dunia, rasa cinta itu masih tetap ada. Sang ayah yg merindukan anaknya “di tempat yg indah”, serta sang anak yg merindukan ayahnya di dunia. Dan tahukah kau temans, kematian itu adalah jarak terdekat seseorang dengan cinta sejatinya? Itu menurut saya lho ya. Ini bukan sekedar cinta Romeo Juliet yg sehidup semati, melainkan akan lebih terasa “ujiannya” kalo yg satu hidup & yg 1 mati. Yah, mirip2 ceritanya Habibie-Ainun atau Udje-Pipik lah… Kebayang nggak sih, betapa seolah2 udah nggak ada kesempatan untuk bertatap muka, menyampaikan rindu, & bertegur sapa. Tapi sebenarnya tidak lho… kesempatan untuk saling berbagi rasa melalui doa masih terbuka dgn lebar. And it feels so good if we understand how to express love in holiness :) 

Everybody finds love in the end. Cinta yg dibagikan pada manusia lainnya memang begitu indah, namun ketika kita kembali pada pemilik cinta sejati, cinta akan terasa semakin sakral. Tuhan, Dzat yg menguasai semua hati dan semesta akhirnya hadir di hadapan kita saat kita memasuki pintu gerbang alam lain. Tuhan, Dzat yg selama ini menjadi tempat paling setia bagi kita dalam berbagi rasa akhirnya hadir dan membuka “tanganNya”, siap memeluk kita dgn kehangatan sempurna. Ketika kita menyadari betapa indahnya seseorang yg kembali pada cinta sejatinya, bagaimana mungkin kita tidak ikut bahagia? Ya, cinta itu indah, akan tetap indah, karena cinta itu adalah “perasaan”, bukan pertemuan “fisik”. Cinta itu “hati”, bukan “pemikiran logis”. Pertemuan fisik hanya akan menuntut kedekatan, pemikiran logis hanya akan menuntut baik & buruk. Namun cinta dgn perasaan & hati tidak mengenal semua itu. Cinta itu…ya cinta: Unconditional feeling that makes you warm, safe, & free ^^


Minggu, 14 Juli 2013

Dalam Dekapan Tuhan



Kalau saja manusia tahu bagaimana caranya mendekap Tuhan
Tentu mereka tidak perlu repot-repot berdiri dalam antrian jemaat
Menunggu pembagian recehan cinta dan harapan
Hingga satu per satu orang pergi dan Dia pun menjadi sepi

Kalau saja manusia tahu bagaimana caranya mendekap Tuhan
Tentu mereka tidak perlu repot-repot memanggil semua orang
Untuk hadir dalam pertemuan iman
Memakan habis santapan khotbah
Lalu meninggalkanNya sebelum sempat mencuci piring penghias doa

Kalau saja manusia tahu bagaimana caranya mendekap Tuhan
Tentu mereka tidak perlu repot-repot membawa gulungan ayat ke sana ke mari
Merangkul setiap mata agar mau membacanya
Meski mata-mata itu hanya melirik dalam hitungan detik
Dan menyebut namaNya dalam hapalan tak pasti

Kalau saja manusia tahu dekapan Tuhan adalah gratis
Tentu mereka tidak perlu membayar dengan keluhan dan tangis
Tentu mereka tidak perlu mengatur jadwal untuk bertemu denganNya



Sabtu, 06 Juli 2013

Unspoken Feeling



“Cinta itu misteri….
Gak bisa dilihat, gak bisa dibaca
Bisanya cuman dirasain
Terkadang cinta juga bernilai misteri kuadrat
Nggak bisa diungkapin, nggak bisa ditunjukin
Cuman bisa disimpen diem-diem dalam hati, padahal udah kangen 3/4 mati”


Well, saya bukan sastrawan ulung, nggak bisa bicara cinta dengan bagus. Jadi ya, langsung aja ya. Itu yg saya rasakan. Hmm, haduuh gimana ya? Susah banget buat jujur sebenernya. Bahwa saya sedang mengalami hal yg lumrah dialami oleh manusia. Merasa tidak bisa mengungkapkan apa yg seharusnya diungkapkan pada seseorang. 

Dulu saya pikir hal semacam ini “tidak biasa”. Ya udahlah, emangnya kalo perasaan nggak diungkapin siapa yg akan bermasalah? Toh orang yg dimaksud juga kayaknya baik2 aja. Tenang, tenang… segala sesuatu kan udah diatur oleh waktu. Nanti kalo saatnya udah tepat pasti akan ketemu orang yang tepat. Orang yg bisa ngungkapin perasaannya duluan pada saya. Biar saya nggak mempertaruhkan harga diri & kehormatan di depan dia. Malu kali, seorang cewek manis seperti saya harus ngungkapin perasaan duluan #plaaak…..

So, selagi berada dalam masa penantian, saya akan memperbanyak berdoa aja. Biar kayak tokoh2 di sinetron reliji itu. Tinggal duduk-duduk manis ndengerin pengajian, eh ada pria beriman & bertakwa mengajukan proposal untuk ta’aruf. Karena dia adalah pria beriman & bertakwa, dan saya adalah tokoh wanita yg alim & rendah hati, maka sudah bisa diduga bahwa beberapa bulan kemudian kami berdua akan menyebar undangan walimahan. 

Heeiissh… stop…stoop! Hentikan imajinasi anda semua tentang sinetron di atas. Sayang sekali saya bukan tokoh yg alim & rendah hati. Jadi, untuk menjalani kisah cinta seperti itu….. mmm, sorry I think I can’t. 

Iya sih, pria beriman & bertakwa adalah idola semua wanita, apalagi kalo dia cakep, pintar, kaya, dududu….. surga dunia deh. Tapi.. tapi….  Dalam kacamata saya, memilih pasangan karena dia rajin beribadah bukanlah suatu perasaan yg tulus, ya karena sudah ada embel2 “rajin beribadah” itu. 

Thanks buat temen2 nongkrong saya yg sejak beberapa hari ini telah memberikan kursus percintaan secara intensif pada saya. Akhirnya saya pun diajari untuk mengenal perasaan secara sederhana. “Kalau cinta ya cinta aja, kangen ya kangen aja, nggak usah pake persiapan khusus untuk mengatakannya”. Demikian kata seorang teman yg sering men-CBT saya. 

Oh ya, sederhana sekali ya konsep perasaan itu. Berbeda dengan konsep2 yg dulu saya pelajari. “Sbg muslim yg baik, kamu harus menjaga diri & sikap. Jangan sampai terbuai pada perasaan yg membuatmu jauh dari Tuhan. Nah, kalo belum siap menikah dgn seseorang ya kamu harus menahan diri, memperbanyak ibadah, hingga kemudian Tuhan mempertemukanmu dengan pasangan yg baik. “

Hmm, saya sudah cukup lama mengenal konsep semacam ini. Sekedar tahu sih, tapi untuk menerapkannya, belum jaminan hoho.. karena saya pun  masih terus belajar untuk mencari konsep hidup yang tepat bagi saya.
Seiring berjalannya waktu, saya menjadi sadar bahwa cinta dan menikah itu adalah 2 konsep yg berbeda. Pertemuan dengan orang2 membuat saya mengerti bahwa yg namanya cinta itu tidak harus menikah, yg namanya menikah itu tidak harus didasari cinta. Ya, itulah kenyataan yg saya jumpai di lapangan. Islam memang memberikan “batasan2” bagi seseorang dalam menjalin hubungan dgn lawan jenis, tapi bukan berarti seseorang harus tersiksa penuh karena tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara bebas. 

Apa tho yg dimaksud dengan mendekatkan diri pada Tuhan? Apa tho yg dimaksud menjauhkan diri dari Tuhan? Apakah kalo orang menikah itu pasti akan mendekatkan diri pada Tuhan? Apakah kalo orang pacaran itu pasti akan menjauhkan diri dari Tuhan? 

Kata ustadz => Iyalah, menikah kan menyempurnakan separuh dari agama
Kata teman geng saya => Oke, kalo konsepnya adalah menyempurnakan agama, trus bagaimana jika orang yg menjadi pasangan kita itu kemudian menyakiti kita? Menyiksa kita? Bukankah dgn demikian menikah malah membuat dosa besar? Bukannya lebih ringan dosanya kalo pacaran aja ya? Pacaran tu ya paling nggak ngapa2in, ngobrol2 doang.

Ehm, masalah dosa & pahala itu masalah transendental e.. Saya nggak bisa jawab. Karena emang nggak tahu pasti takarannya kayak gimana. (Ya udah, nggak usah mengambil alih hal2 yg menjadi kerjaan Tuhan. Kerjaanmu sbg manusia tuh cuma ngobrol, berdiskusi, & belajar. Kalo dapet petunjuk yg benar ya alhamdulilah, petunjuk yg salah ya alhamdulilah juga, hoho.. Kalo ada yg salah ya berarti emang kita beneran manusia, bukan malaikat). 

Boleh aja sih kalo mau berpendapat menikah untuk menyempurnakan agama, punya anak untuk menghadirkan “tentara Tuhan” di muka bumi ini, dengan demikian misi-misi untuk berdakwah (menyebarkan kebaikan/pesan2 agama) di seluruh penjuru dunia dapat terwujud. 

Memang sih setiap manusia mempunyai pendapat masing2 untuk “menyelamatkan bumi”. Ada yg ngerasa semakin mantap dengan menikah, ada yg mantap dgn menjadi pemimpin, ada yg mantap dgn meraih karir/ mimpi setinggi mungkin, ada pula yg mantap dgn mengatur pergerakan alam dalam arti sebenarnya (mengatur hujan, panas, dingin, pergerakan angin, wiii serem amat kayak kerjaan malaikat betulan :p).

Beberapa waktu lalu seorang teman dekat saya yg merupakan dosen muda di sebuah universitas katolik menyampaikan kegalauannya. Lalu tercetuslah sebuah pernyataan seperti ini,”Pada suatu hari Kaprodi-ku bertanya,’Mbak, apa yg membuatmu ingin menjadi dosen? Bukankah gaji sbg dosen itu kecil?’ ”. Dan temanku ini cukup cerdas, dia malah balik bertanya, “Itu sama saja dgn saya bertanya pd Bapak,’Apa yg membuat Bapak ingin menjadi Romo? Bukankah banyak juga pria di luar sana yg menikah?’ “ Ulala… ini adalah pertanyaan yg membuat Bapak itu akhirnya terharu. Seperti itulah, temans. Tampaknya itu 2 hal yg berbeda ya: membicarakan pekerjaan & keputusan menjadi Romo. Tapi diantara keduanya ada kesamaan yg melandasi, yakni: Cinta. Teman saya memilih pekerjaan sbg dosen karena dia mencintai pekerjaan itu, bukan masalah gaji atau jabatan yg akan dia peroleh. Demikian juga dgn si Bapak. Dia memilih untuk menjalani hidup sbg Romo tentunya dgn konsekuensi yg tidak mudah. Menjalani hidup sendiri tanpa keluarga, melayani umat, karena dia mendapat kedamaian untuk mencintai Tuhan dgn cara itu. 

Begitulah cinta, temans. Cinta bukan masalah norma, agama, budaya, identitas diri, jabatan, kekayaan, layak/tidak layak, keimanan, cantik/tidak cantik, langsing/tidak langsing, pandai/tidak pandai,………………….

Cinta ya cinta. Perasaan yg alami & spontan. Menurut pengamatan saya (insya Allah kalo yg saya rasakan ini cinta ya? :p), cinta itu sesuatu yg nggak ada alasannya. Bayangkan, pada suatu pagi saya bangun tidur dan tiba-tiba kepikiran wajah seseorang yg saya kenal pun enggak. Ngobrol pun nggak pernah. Tentu saja kejadian itu membuat saya terheran-heran, “Hoi, siapa orang itu? Kenapa tiba2 muncul di kepalaku ya?” Itu adalah hal yang… serius, nggak ada alasannya. Something that’s really really illogical for mee…….!! Perlu waktu panjang bagi saya untuk mengakui diri bahwa itu cinta (setelah dikonfrontasi habis2an juga oleh teman2 saya). Perlu waktu bagi saya untuk menghargai diri, tidak merasa bodoh & tidak merasa tidak pantas untuk jatuh cinta. 

Cinta ya cinta, katakan saja. Tidak usah terlalu mengkhawatirkan apa yg akan terjadi di masa depan. Tidak perlu menunggu “pantas” dulu untuk mengatakan. Tidak perlu menunggu “sempurna” dulu untuk mengatakan. Jika kau terus berusaha untuk membuat dirimu “menjadi pantas” untuk bersama dgn orang yg kau sukai, kau perlu berhati2. Jangan2 kau telah “mengotori” kemurnian unconditional love. Kau hanya ingin diterima olehnya ketika kau merasa telah cukup kaya, pandai, memiliki banyak “atribut” untuk dibanggakan. Padahal, belum tentu itu yg diinginkan oleh dia. Cinta itu ya seharusnya…. “Just the way you’re.” Bagaimanapun, kesiapan yg benar2 siap itu tidak akan pernah ada. Kesempurnaan yg benar2 sempurna itu tidak akan pernah ada. Mengatakan cinta ya dngan alasan yg simpel saja: untuk menikmati cinta pada hari ini, untuk menunjukkan bahwa perasaan ini benar2 polos, tidak ada pertimbangan yang membatasi kebebasannya untuk berekspresi. 

Nah, tapi masak kayak gitu cara ngungkapin cinta yg bener? Langsung diungkapin gitu? Itu kan tidak Islami? Dalam sebuah kisah yg sudah lama saya tahu, kemudian diingetin lagi oleh temen saya beberapa waktu lalu setelah saya baca blognya, tertulislah sebuah perasaaan antara Fatimah (putri Nabi Muhammad SAW) & Ali. Dikisahkan bahwa keduanya telah sama2 menyimpan perasaan suka sejak lama, namun keduanya memilih untuk menyimpannya rapat2, bahkan setan pun tidak tahu. Hingga kesabaran mereka berbuah manis, pada suatu ketika Muhammad SAW meminta Ali untuk melamar putrinya. Tentu saja kesempatan ini tidak disia2kan oleh Ali dan Fatimah pun langsung menerima lamaran itu karena memang hanya Ali yg selama ini mengisi hatinya. 

Weew… kalo dibandingin cerita yg beginian sih saya angkat tangan. Maaf, iman saya belum nyampe kayak Mbak Fatimah & Mas Ali. Iya sih, itu berat untuk tidak mengungkapkan perasaan sementara perasaan tuh rasanya udah di ubun2 kepala, bentar lagi meletus. Sepuluh jempol untuk mereka!! Tapi ehm, jangan salah dulu deh. Kalo saya pikir (lebih tepatnya saya berimajinasi sih), kayaknya mereka dulu juga nggak bener2 mengunci perasaan deh. Kan jaman dulu emang nggak ada HP, BB, WA, FB, ato twitter kayak sekarang. Nah, saya yakin mereka dulu juga saling “memonitor” kondisi hati masing2. “Jaman dulu itu nggak banyak distraksinya, nggak serame sekarang. Orang2 jadinya lebih peka, intusi mereka lebih tajem. Jadi, nggak heran kalo orang jaman dulu tuh ‘sakti2’ “, ini obrolan dgn teman saya kemaren, hehe… So, bisa aja sih sebenarnya Mbak Fatimah & Mas Ali tuh rajin bertanya kabar, mengirim pesan2, tapi melalui “stasiun hati.” Keren kan? Ato, bahasa yg agak “scientific” mereka tuh bertelepati. Tetep aja kan mereka itu saling mengungkapkan perasaan? 

Kalo kemudian ada yg bilang, “cukup yg tahu perasaanmu hanya Tuhan, tidak usah diumbar ke orang2” yaa nggak papa juga sih. Dalam banyak hal saya sering melakukan hal ini. Ketika saya nggak tahu lagi gimana caranya menyampaikan rasa kangen saya (tentunya karena nggak punya keberanian juga), akhirnya dgn setengah hopeless saya bilang deh sama Tuhan. Apakah Tuhan telah menyampaikan perasaan saya pd orang yg dimaksud? Entahlaah… Yg jelas, saya percaya Tuhan pasti telah menjalankan tugasnya dgn sangat baik. Untuk membuat saya jadi tenang atau tambah galau ya?  Entahlaah… yang jelas itu baik aja menurut Tuhan.  “Udahlah Im, kamu ini tinggal berusaha & menunggu hasilnya aja apa sih susahnya?” “Ya itu dia Tuhan, susahnya.. berusaha itu yg sussaah, huhuhu…..” *menangis dalam pelukan Tuhan. 

Begitulah temans, mungkin saya termasuk orang yg berada dalam “pertengahan iman”. Maksudnya, untuk bersikap seperti Fatimah & Ali itu susah bener, tapi kalo mau ngomong langsung ke orangnya kok ya susah juga? Yah, semoga dengan saya membuat note ini dapat mengurangi kegalauan saya. Entah apa yg akan terjadi di masa depan. Saya sungguh tidak tahu. Tapi 1 hal yg saya yakini : Cinta diciptakan tidak untuk membuat perasaan menjadi sakit, so ketika masih terasa sakit berarti memang ada “urusan2 yg harus diselesaikan.”  

Thanx to my dearest friends for the best inspiration ^^