Saya yakin, para wanita di muka
bumi ini tidak ada yang berpikir untuk mendapatkan “jodoh yang salah”. Berbagai
kriteria ditetapkan untuk melancarkan misi memiliki “pemimpin dunia akhirat”.
Sejak kapankah kita (wanita) mulai
berpikir tentang jodoh? Kalau menurut kisah saya sih, saya pertama kali
ngomongin jodoh itu ketika SD (sekitar kelas 4 atau 5 gitu). Waktu itu dengan
lantang saya bilang ke ibu saya kalau cita-cita saya adalah menjadi istri
pejabat. Sebuah cita-cita yang diamini dan didukung penuh oleh ibu saya.
Ladies pasti punya “timing” juga
tentang saat pertama ngomongin jodoh kan ya? ^^
Dalam pandangan saya ketika SD,
jadi istri pejabat itu jaminan bahagia seumur hidup. Aktivitas sehari-hari
dihabiskan dengan belanja, jalan-jalan, nyalon, piknik… Masalah ngasuh anak dan
dapur kan udah diurusin pembantu yang banyak jumlahnya, hehe…. Tinggal
ongkang-ongkang kaki dan menghabiskan waktu dengan santai. Asyik dong, duitnya
banyak, biaya kecantikan dan kesenangan duniawi pun terpenuhi. Kala itu belum
terpikir bahwa jadi istri pejabat itu akan menderita karena suaminya rawan
menjadi tersangka korupsi, penipuan, dan perselingkuhan.
Memasuki usia remaja, saya mulai
pasang sedikit “filter”. Waktu itu saya mendapat “hidayah” untuk memakai
jilbab, tepatnya mulai masuk SMA. “Hidayah” yang muncul setelah ketakutan
membaca majalah islami yang ngomongin neraka serta risih akibat disindir-sindir
kakak saya (yang dulu naksir temennya yang berjilbab, yang sekarang jadi
istrinya :p). Saat pertama minta izin sama ibu saya bahwa saya akan berjilbab,
ibu cuma bilang gini,”Serius kamu mau berjilbab, Nduk? Nanti kalo nggak ada
yang naksir kamu gimana? Kalo susah dapet kerja gimana?” “Ah, rejeki kan udah
ada yang ngatur. Kalo ada pria yang nggak suka dengan wanita berjilbab, ya
berarti dia bukan jodohku,”jawab saya tanpa pikir panjang. Alhasil ketika SMA itu
saya mulai sedikit mengalami transformasi, orientasi duniawi beralih ke
orientasi akhirat.
Selanjutnya memasuki masa kuliah,
saya pun mulai membangun jati diri. “Hmm.. gimana ya caranya biar bisa cukup
islami tapi juga tetap liberal?” Saya pun sengaja memilih organisasi mahasiswa
yang “netral”, yang bisa dimasuki oleh semua lingkungan gitu deh. Meski pada
kenyataannya saya cukup sering juga ditarik ke “hal-hal islami” oleh
teman-teman saya, hihi…. Masa kuliah
saya jalani dengan cukup “aman”, tanpa gejolak percintaan seperti yang dialami
kawula muda pada umumnya. Baru pada saat kuliah memasuki tahun-tahun terakhir,
saya mulai sedikit galau. Pengalaman hidup sebelumnya membuat saya kebayang
sosok apa yang hendaknya menjadi “jodoh idaman” saya. Ya, perpaduan antara
kesuksesan duniawi dan akhirat sepertinya sangat pas. “Kira-kira kalau di masa
depannya akan jadi pejabat, di masa mudanya dia kayak apa ya? Oh ya, mungkin
dia adalah aktivis mahasiswa, semacam anak BEM gitu deh, hehe..”, begitu kata
pikiran kacau saya. “Ah, tapi kan dia juga harus ‘beriman’. Hmm…” Mulailah saya melirik-lirik anak BEM dan anak
rohis, wkwkkwkwk…..
Yak, itulah sekilas flash back
kisah masa muda saya (berasa tua bener :p). Trus sekarang, di usia saya yang
sudah seperempat abad lebih ini, entah kenapa idealisme saya tentang “jodoh
idaman” mulai memudar. Saya gak terlalu berambisi lagi pengen jadi istri
pejabat. Tentang pria beriman?? Hmm… Belajar psikologi sampe tahap master
ternyata membuat saya semakin bodoh. Saya jadi nggak tahu lagi definisi baik tu
kayak gimana. Lingkungan akademisi membuat saya semakin objektif (atau skeptis
ya?) memaknai kebaikan. Kalau dulu saya mudah terpesona dengan seseorang yang
menyampaikan “nilai-nilai kebaikan,” sekarang saya pun lebih berhati-hati. “Apa
benar dia ngomong begini nih dari hatinya terdalam? Serius bukan karena
defense? Atau pencitraan?”. Yah, di era sosmed begini kebaikan memang bisa
bernilai ambigu. Di satu sisi seseorang publish atau sharing sesuatu bisa
diniati karena pengen berbagi ilmu atau hikmah. Tapi di sisi lain orang lain
bisa nganggepnya pamer atau “white campaign”. *termasuk yang nulis ini juga gak
jelas niatnya apa nulis beginian -_-
Kalau dulu ada orang alim atau
ustadz yang bilang bahwa “Seseorang yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik.
Sedangkan seseorang yang kurang baik akan mendapatkan jodoh yang kurang baik
pula” saya sih langsung meng-iya-kan aja. Dengan pede-nya saya langsung
berpikir bahwa,”Saya harus menjadi wanita baik-baik, untuk mendapatkan pria
baik-baik pula.” Tapi kok kesannya hidup itu pragmatis banget ya? Semudah itukah menjadi wanita baik-baik untuk
mendapatkan pria baik-baik?
Bagaimana kalau di balik ini
semua Tuhan menghendaki kita untuk berpikir dengan cara berbeda? Bagaimana
kalau Tuhan memilih wanita baik-baik untuk bersanding dengan pria yang kurang
baik? Atau sebaliknya pria baik-baik bersanding dengan wanita kurang baik?
Apakah ini berarti bencana? Bagaimana dengan pandangan khalayak ramai? “Tuh kan
keluarganya jadi gak harmonis, tuh kan akhirnya ada KDRT, tuh kan akhirnya
cerai. Makanya kalo pilih jodoh tuh yang bener.” Publik mungkin bisa berkata
demikian, tapi apa mereka bisa menjamin bahwa ketidakharmonisan dalam rumah
tangga itu semata disebabkan “jodoh yang nggak bener”?
Saya yakin tidak ada manusia di
bumi ini yang rela dibilang “tidak baik” oleh orang lain. Pun demikian dengan
orang-orang yang akhirnya mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Saat
memutuskan menikah dulu mereka pun yakin bahwa dirinya sudah menjadi “orang
baik” dan telah menemukan “orang baik” pula. Begitu halnya dengan orang yang
beberapa kali bercerai dan menikah lagi, dengan kaca mata apa kita bisa bilang
bahwa dia kurang baik? Karena mereka suka “bikin masalah” sejak jaman pacaran? No,
orang-orang yang menjalani proses ta’aruf untuk mendapatkan jodoh pun juga ada
yang bercerai.
Oleh karena itu sekarang saya
mulai belajar untuk “meleburkan diri.” Belajar untuk nggak melihat suatu
kebaikan dari hal yang tampak saja. Kebahagiaan dunia dan akhirat, bisa saja
itu konsep yang tidak cocok dengan diri kita. Buat apa kita terpaku untuk
mendapatkan kekuasaan dan kekayaan jika itu cuma bikin hidup jadi gak tenang
dan dikejar-kejar “tanggung jawab”? Buat apa kita cuma terpaku pada label “iman
dan takwa”, jika hal itu bikin kita “terpaksa” berbuat baik di depan orang
lain?
Saya setuju bahwa yang paling
tahu kondisi hati kita hanya Tuhan. Jadi, seharusnya yang “pantas” menjadi
jodoh sepanjang masa bagi kita adalah Tuhan. Lalu kita harus “menikah” sama
Tuhan? Harus menghindari semua urusan duniawi dan bersama Tuhan saja?
Seandainya saja bisa demikian ya, begitu mudahnya hidup ini, gak usah mikirin
jodoh sampe pusing. Tapi tampaknya Tuhan tidak mau “dinikahi” begitu saja. Dia
ingin kita merasakan semua sensasi kehidupan ini sebelum kita berhasil
“melebur” denganNya. Kita “wajib” tersakiti dan terbahagiakan (saya sengaja
memilih awalan ter- untuk menegaskan bahwa terkadang sakit dan bahagia itu bukan pilihan, namun memang “sengaja” diciptakan Tuhan melalui kehadiran
orang-orang yang berinteraksi dengan kita) sebelum menyatu denganNya.
Lupakan semua konsep “kebaikan”
dulu ya temans. Saya lebih suka menggunakan kalimat,”Seseorang yang ikhlas akan
berjodoh dengan seseorang yang ikhlas pula.” Menurut saya ini lebih adil,
karena tidak mengandung makna judgemental. Bisa
jadi saya membenci pria berandal, tapi kalau menurut Tuhan yang berandal ini
lebih sesuai untuk hidup bersama saya dibandingkan pria beriman, apakah saya
akan terus “memaksa” Tuhan untuk berjodoh dengan pria beriman? Bisa jadi
pernikahan itu bukan jalan pertemuan bagi orang yang sudah sama-sama baik untuk
merajut kisah yang lebih baik. Bisa jadi pula pernikahan itu bukan jalan bagi
orang yang sama-sama kurang baik untuk memperbaiki kisah mereka yang belum
baik. Bagaimana jika orang yang kurang baik “sengaja” dijodohkan dengan yang
baik agar mereka sama-sama belajar? Yang baik mengajari yang kurang baik
tentang makna etika dan norma yang mengatur kehidupan. Yang kurang baik
mengajari yang baik tentang makna kebebasan dan fleksibilitas. Bukankah yang
demikian ini juga bisa disebut sebagai “completed each other”?
Oke deh, mulai sekarang saya akan
merubah cara berdoa saya. Tidak lagi minta agar dijodohkan dengan pria baik.
Tapi saya akan meminta keikhlasan hati, agar dapat menerima apapun yang
dijodohkan Tuhan untuk saya. Mungkin dia bukan pria yang selalu baik, bukan
pria yang selalu bisa membuat saya tersenyum, tapi dia adalah pria yang cocok
untuk saya….pria yang bisa bikin saya “pulang kembali”. Yang bisa menjadi “rumah”, yang bisa saya
masuki kapanpun di saat saya membutuhkan. Mungkin suatu saat pria itu pernah
“menampar” saya, membuat saya (terpaksa) mengadu padaNya. Tapi tak apalah…
kalau saya selalu disanjung dengan rayuan, mungkin saya akan mudah sombong,
naik ke langit dan lupa menginjak bumi. Tamparan akan membuat saya ingat bahwa
saya adalah manusia biasa. Tamparan akan membuat saya mencari-cari Tuhan lagi
dan membuat percakapan romantis denganNya.
Ya, saya minta dijodohkan dengan
manusia biasa saja, bukan dengan Malaikat atau Nabi. Ya… biarkan kami membuat
kesalahan saja, Tuhan. Biar kami tahu kebesaranMu. Biarkan kami saling
“bertengkar dan memukul” jika setelah itu kami semakin bisa menghargai arti
kebersamaan dan kedekatan.
Sudah Tuhan, demikian doa yang
aneh dari saya ya. Pertemukan saya dengan “berandal” yang bisa membawa saya ke
surgaMu :)