Selasa, 05 Agustus 2014

Sorry, I’m in Love with “Berandal”



Saya yakin, para wanita di muka bumi ini tidak ada yang berpikir untuk mendapatkan “jodoh yang salah”. Berbagai kriteria ditetapkan untuk melancarkan misi memiliki “pemimpin dunia akhirat”. 

Sejak kapankah kita (wanita) mulai berpikir tentang jodoh? Kalau menurut kisah saya sih, saya pertama kali ngomongin jodoh itu ketika SD (sekitar kelas 4 atau 5 gitu). Waktu itu dengan lantang saya bilang ke ibu saya kalau cita-cita saya adalah menjadi istri pejabat. Sebuah cita-cita yang diamini dan didukung penuh oleh ibu saya. 

Ladies pasti punya “timing” juga tentang saat pertama ngomongin jodoh kan ya? ^^ 

Dalam pandangan saya ketika SD, jadi istri pejabat itu jaminan bahagia seumur hidup. Aktivitas sehari-hari dihabiskan dengan belanja, jalan-jalan, nyalon, piknik… Masalah ngasuh anak dan dapur kan udah diurusin pembantu yang banyak jumlahnya, hehe…. Tinggal ongkang-ongkang kaki dan menghabiskan waktu dengan santai. Asyik dong, duitnya banyak, biaya kecantikan dan kesenangan duniawi pun terpenuhi. Kala itu belum terpikir bahwa jadi istri pejabat itu akan menderita karena suaminya rawan menjadi tersangka korupsi, penipuan, dan perselingkuhan. 

Memasuki usia remaja, saya mulai pasang sedikit “filter”. Waktu itu saya mendapat “hidayah” untuk memakai jilbab, tepatnya mulai masuk SMA. “Hidayah” yang muncul setelah ketakutan membaca majalah islami yang ngomongin neraka serta risih akibat disindir-sindir kakak saya (yang dulu naksir temennya yang berjilbab, yang sekarang jadi istrinya :p). Saat pertama minta izin sama ibu saya bahwa saya akan berjilbab, ibu cuma bilang gini,”Serius kamu mau berjilbab, Nduk? Nanti kalo nggak ada yang naksir kamu gimana? Kalo susah dapet kerja gimana?” “Ah, rejeki kan udah ada yang ngatur. Kalo ada pria yang nggak suka dengan wanita berjilbab, ya berarti dia bukan jodohku,”jawab saya tanpa pikir panjang. Alhasil ketika SMA itu saya mulai sedikit mengalami transformasi, orientasi duniawi beralih ke orientasi akhirat. 

Selanjutnya memasuki masa kuliah, saya pun mulai membangun jati diri. “Hmm.. gimana ya caranya biar bisa cukup islami tapi juga tetap liberal?” Saya pun sengaja memilih organisasi mahasiswa yang “netral”, yang bisa dimasuki oleh semua lingkungan gitu deh. Meski pada kenyataannya saya cukup sering juga ditarik ke “hal-hal islami” oleh teman-teman saya, hihi….  Masa kuliah saya jalani dengan cukup “aman”, tanpa gejolak percintaan seperti yang dialami kawula muda pada umumnya. Baru pada saat kuliah memasuki tahun-tahun terakhir, saya mulai sedikit galau. Pengalaman hidup sebelumnya membuat saya kebayang sosok apa yang hendaknya menjadi “jodoh idaman” saya. Ya, perpaduan antara kesuksesan duniawi dan akhirat sepertinya sangat pas. “Kira-kira kalau di masa depannya akan jadi pejabat, di masa mudanya dia kayak apa ya? Oh ya, mungkin dia adalah aktivis mahasiswa, semacam anak BEM gitu deh, hehe..”, begitu kata pikiran kacau saya. “Ah, tapi kan dia juga harus ‘beriman’. Hmm…”  Mulailah saya melirik-lirik anak BEM dan anak rohis, wkwkkwkwk….. 

Yak, itulah sekilas flash back kisah masa muda saya (berasa tua bener :p). Trus sekarang, di usia saya yang sudah seperempat abad lebih ini, entah kenapa idealisme saya tentang “jodoh idaman” mulai memudar. Saya gak terlalu berambisi lagi pengen jadi istri pejabat. Tentang pria beriman?? Hmm… Belajar psikologi sampe tahap master ternyata membuat saya semakin bodoh. Saya jadi nggak tahu lagi definisi baik tu kayak gimana. Lingkungan akademisi membuat saya semakin objektif (atau skeptis ya?) memaknai kebaikan. Kalau dulu saya mudah terpesona dengan seseorang yang menyampaikan “nilai-nilai kebaikan,” sekarang saya pun lebih berhati-hati. “Apa benar dia ngomong begini nih dari hatinya terdalam? Serius bukan karena defense? Atau pencitraan?”. Yah, di era sosmed begini kebaikan memang bisa bernilai ambigu. Di satu sisi seseorang publish atau sharing sesuatu bisa diniati karena pengen berbagi ilmu atau hikmah. Tapi di sisi lain orang lain bisa nganggepnya pamer atau “white campaign”. *termasuk yang nulis ini juga gak jelas niatnya apa nulis beginian -_-

Kalau dulu ada orang alim atau ustadz yang bilang bahwa “Seseorang yang baik akan mendapatkan jodoh yang baik. Sedangkan seseorang yang kurang baik akan mendapatkan jodoh yang kurang baik pula” saya sih langsung meng-iya-kan aja. Dengan pede-nya saya langsung berpikir bahwa,”Saya harus menjadi wanita baik-baik, untuk mendapatkan pria baik-baik pula.” Tapi kok kesannya hidup itu pragmatis banget ya?  Semudah itukah menjadi wanita baik-baik untuk mendapatkan pria baik-baik? 

Bagaimana kalau di balik ini semua Tuhan menghendaki kita untuk berpikir dengan cara berbeda? Bagaimana kalau Tuhan memilih wanita baik-baik untuk bersanding dengan pria yang kurang baik? Atau sebaliknya pria baik-baik bersanding dengan wanita kurang baik? Apakah ini berarti bencana? Bagaimana dengan pandangan khalayak ramai? “Tuh kan keluarganya jadi gak harmonis, tuh kan akhirnya ada KDRT, tuh kan akhirnya cerai. Makanya kalo pilih jodoh tuh yang bener.” Publik mungkin bisa berkata demikian, tapi apa mereka bisa menjamin bahwa ketidakharmonisan dalam rumah tangga itu semata disebabkan “jodoh yang nggak bener”? 

Saya yakin tidak ada manusia di bumi ini yang rela dibilang “tidak baik” oleh orang lain. Pun demikian dengan orang-orang yang akhirnya mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Saat memutuskan menikah dulu mereka pun yakin bahwa dirinya sudah menjadi “orang baik” dan telah menemukan “orang baik” pula. Begitu halnya dengan orang yang beberapa kali bercerai dan menikah lagi, dengan kaca mata apa kita bisa bilang bahwa dia kurang baik? Karena mereka suka “bikin masalah” sejak jaman pacaran? No, orang-orang yang menjalani proses ta’aruf untuk mendapatkan jodoh pun juga ada yang bercerai.

Oleh karena itu sekarang saya mulai belajar untuk “meleburkan diri.” Belajar untuk nggak melihat suatu kebaikan dari hal yang tampak saja. Kebahagiaan dunia dan akhirat, bisa saja itu konsep yang tidak cocok dengan diri kita. Buat apa kita terpaku untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan jika itu cuma bikin hidup jadi gak tenang dan dikejar-kejar “tanggung jawab”? Buat apa kita cuma terpaku pada label “iman dan takwa”, jika hal itu bikin kita “terpaksa” berbuat baik di depan orang lain? 

Saya setuju bahwa yang paling tahu kondisi hati kita hanya Tuhan. Jadi, seharusnya yang “pantas” menjadi jodoh sepanjang masa bagi kita adalah Tuhan. Lalu kita harus “menikah” sama Tuhan? Harus menghindari semua urusan duniawi dan bersama Tuhan saja? Seandainya saja bisa demikian ya, begitu mudahnya hidup ini, gak usah mikirin jodoh sampe pusing. Tapi tampaknya Tuhan tidak mau “dinikahi” begitu saja. Dia ingin kita merasakan semua sensasi kehidupan ini sebelum kita berhasil “melebur” denganNya. Kita “wajib” tersakiti dan terbahagiakan (saya sengaja memilih awalan ter- untuk menegaskan bahwa terkadang sakit dan bahagia itu bukan pilihan, namun memang “sengaja” diciptakan Tuhan melalui kehadiran orang-orang yang berinteraksi dengan kita) sebelum menyatu denganNya.

Lupakan semua konsep “kebaikan” dulu ya temans. Saya lebih suka menggunakan kalimat,”Seseorang yang ikhlas akan berjodoh dengan seseorang yang ikhlas pula.” Menurut saya ini lebih adil, karena tidak mengandung makna judgemental. Bisa jadi saya membenci pria berandal, tapi kalau menurut Tuhan yang berandal ini lebih sesuai untuk hidup bersama saya dibandingkan pria beriman, apakah saya akan terus “memaksa” Tuhan untuk berjodoh dengan pria beriman? Bisa jadi pernikahan itu bukan jalan pertemuan bagi orang yang sudah sama-sama baik untuk merajut kisah yang lebih baik. Bisa jadi pula pernikahan itu bukan jalan bagi orang yang sama-sama kurang baik untuk memperbaiki kisah mereka yang belum baik. Bagaimana jika orang yang kurang baik “sengaja” dijodohkan dengan yang baik agar mereka sama-sama belajar? Yang baik mengajari yang kurang baik tentang makna etika dan norma yang mengatur kehidupan. Yang kurang baik mengajari yang baik tentang makna kebebasan dan fleksibilitas. Bukankah yang demikian ini juga bisa disebut sebagai “completed each other”? 

Oke deh, mulai sekarang saya akan merubah cara berdoa saya. Tidak lagi minta agar dijodohkan dengan pria baik. Tapi saya akan meminta keikhlasan hati, agar dapat menerima apapun yang dijodohkan Tuhan untuk saya. Mungkin dia bukan pria yang selalu baik, bukan pria yang selalu bisa membuat saya tersenyum, tapi dia adalah pria yang cocok untuk saya….pria yang bisa bikin saya “pulang kembali”.  Yang bisa menjadi “rumah”, yang bisa saya masuki kapanpun di saat saya membutuhkan. Mungkin suatu saat pria itu pernah “menampar” saya, membuat saya (terpaksa) mengadu padaNya. Tapi tak apalah… kalau saya selalu disanjung dengan rayuan, mungkin saya akan mudah sombong, naik ke langit dan lupa menginjak bumi. Tamparan akan membuat saya ingat bahwa saya adalah manusia biasa. Tamparan akan membuat saya mencari-cari Tuhan lagi dan membuat percakapan romantis denganNya. 

Ya, saya minta dijodohkan dengan manusia biasa saja, bukan dengan Malaikat atau Nabi. Ya… biarkan kami membuat kesalahan saja, Tuhan. Biar kami tahu kebesaranMu. Biarkan kami saling “bertengkar dan memukul” jika setelah itu kami semakin bisa menghargai arti kebersamaan dan kedekatan. 

Sudah Tuhan, demikian doa yang aneh dari saya ya. Pertemukan saya dengan “berandal” yang bisa membawa saya ke surgaMu :)