Minggu, 28 Desember 2014

Tentang Dia Lagi.....



Hello... kamu lagi... yang ada di sana......
Yang sudah semakin dekat, tapi tetep aja terasa jauh.
Huufth... Aku bingung mau ngomong apa nih?
Kalo aku bilang kangen pasti udah basi. Kalo aku bilang sayang pasti terlalu lebay.

Eh, ya sudah. Kalo gitu aku akan belajar untuk menganalisis diriku sendiri deh. Apa sih yang sebenarnya aku alami selama tiga tahun ini? Jatuh cinta berkepanjangan? Iya barangkali. Rindu terpendam berkepanjangan? Iya barangkali.
Apa dong namanya kalo begitu bangun tidur langsung kepikiran kamu? Apa dong namanya kalo seharian bayanganmu berputar-putar di kepalaku? Apa dong namanya kalo kerongkongan dan dadaku ini tiba-tiba bergetar kalo teringat padamu? Kalo aku tiba-tiba nangis tanpa alasan yang jelas, tentu dirimu yang seharusnya dipersalahkan.
Aku sebenernya pengen bikin novel, tapi takut gak laku. Kok lama-lama kemampuan bertutur kataku udah semakin berkurang ya? Kebanyakan mikirin teori kali ya?
Aku sering terjebak pada situasi yang membuatku menjadi “seolah-olah pintar”. Ngomong apa-apa seharusnya pake teori, seharusnya jelas pake pendekatan apa. Dan hal-hal ini akhirnya membuatku kebanyakan mikir.
Kenapa sih untuk mendekatimu saja aku harus kebanyakan mikir? Kenapa untuk bilang “hai” saat kamu lewat di depanku saja aku harus sekuat hati menjaga sikap agar “seolah-olah stabil”?
Padahal sih, kalo saja tidak ada orang di sekeliling kita, ingin rasanya aku melonjak-lonjak bahagia. Mendekatimu dan bilang, “Hai, maukah kau berdansa denganku?”. *kok berdansa sih Im, ini setingnya di Jogja lho... sepertinya lebih cocok kalo : “Maukah kau menari Serimpi atau Gambyong denganku?”
Krik.... krik..... ah.... tuh kan, aku gak cocok bikin novel. Romantis enggak, humoris juga enggak. Pemikir, iya banget.... Bikin buku filsafat aja kali ya?
Aku adalah tipe orang yang susah move on. Kalo udah berkomitmen dengan suatu hal biasanya bakalan inget terus. Termasuk dalam hal hati. Haduuh.... malu sebenernya kalo note ini dibaca anak cucuku nanti. Masak simbahnya segitu galaunya sih? Atau mungkin mereka akan berpikir, ”Pantes sekarang aku jadi penyair/seniman, lha mbahku pakarnya galau dari jaman dulu kala”. Bentar cu, bentar, jadi kamu pikir galau itu dosa turunan gitu? Kurang ajar!
Begitulah... waktu terus berjalan, dan aku tidak mengalami kemanjuan dalam hal menyalurkan perasaan. Aku cuma bisa memandangi wajahmu yang gak cakep-cakep amat (tapi ngangenin) itu dari balik layar sosmed. 
Oh ya, maaf ya, akhir-akhir ini hidupku selo banget jadi aku punya kesempatan untuk ngepoin kamu dari jaman baheula banget. Dari jaman-jaman awal kamu bikin akun sosmed, hihi... Habisnya aku penasaran sih kamu itu siapa? Nyuri hati kok gak dibalik-balikin? Terus masih dibungkus dengan tampang polos seolah-olah gak terjadi apa-apa lagi. *iyalah Im, di mana-mana juga mana ada maling yang ngaku kalo habis melakukan “tindak kejahatan.”
Kalo diamat-amatin dari dulu, kamu nggak banyak berubah. Kelakukanmu masih kayak gitu, sok narsis, sok cowok (lha emang cowok sih), sok kuat (padahal aslinya rapuh banget dan butuh banyak sandaran hati --> iki analisis psikolog abal-abal), sok alim (padahal aslinya sering konflik dengan norma-norma yang dipilih sendiri). 

Ya, itu kamu. Sekarang kamu pun masih seperti itu. Cuma bedanya, dulu kamu hidup dalam lingkungan yang “itu-itu aja.” Sekarang lingkungan gaulmu sudah semakin luas. Itu mungkin ya yang bikin kamu semakin ingin memakai “topeng” dengan erat. “Kalau gimana-gimana kan nanti ketahuan pihak-pihak tertentu,” mungkin kamu berpikir demikian. Atau mungkin ini hanya pembenaranku saja, ah biarlah.. hidup kan hanya kumpulan asumsi.
Lalu, apa yang bisa aku lakukan sebagai seorang wanita? Menunggumu untuk mengambil tindakan sepertinya adalah hal yang sangat menjemukan. Tapi, celakanya hanya kaulah yang benar-benar aku tunggu...*semacam lirik lagu deh. Jadi... gimana dong? Aku sudah menunggu nih, trus gimana? Ada yang bisa aku lakukan selain menunggu?
Ada Im, berdoa. Menunggu, berdoa, menunggu, berdoa, menunggu, dst......
Menunggu sampai mati....... *pasang bendera putih
Sudah ya, ngomongin kamu nggak akan ada habisnya. Tenang aja, besok-besok kayaknya aku bakal galau lagi. Dan kalau aku galau, sudah jelas siapa yang akan menjadi inspirasiku, kamu.... ya... kam....
Lha tho? Malah ikutan sembunyi di balik sosmed. Dasar pria jaman sekarang -_-

Sabtu, 27 Desember 2014

Apa sih norma dan dosa itu



Aku pikir selama ini dunia akan “aman-aman saja” kalau kita sudah hidup dengan berpegang pada norma. Tapi ternyata definisi norma pun “relatif”. Apa yang kita anggap baik dan mampu menyelamatkan kita, belum tentu baik bagi orang lain. 

Pun demikian dengan sesuatu yang kita anggap sebagai “dosa”. Apa yang kita anggap jelek dan orang lain yang melakukannya sudah pasti akan celaka, ternyata bisa jadi hanya merupakan pikiran sempit kita.

Belajar tentang konsep kebaikan dari orang lain terkadang hanya menjadi sesuatu yang masuk & keluar telinga. 

Akhirnya aku pun berpendapat bahwa : norma dan dosa itu.... hati masing-masing orang yang mampu menjawabnya. 

Memang yang namanya pengalaman spiritual itu harus benar-benar diri sendiri yang merasakan.

Kamis, 18 Desember 2014

Mari ke Surga



Aku pernah berkhayal : bahwa cara terbaik untuk menjadi makhluk yang dicintaiNya adalah dengan “selalu berpikir ke atas”, selalu menghindar dari kesibukan di dunia, mencari area yang hangat dan nyaman untuk mengobrol denganNya saja......

Tapi sepertinya bukan itu tujuan manusia diturunkan ke dunia. Manusia harus berinteraksi dengan makhluk lainnya, harus pernah merasa sakit & tersinggung, harus belajar untuk mengemban tanggung jawab secara nyata. Manusia harus benar-benar “belajar dari bumi”. 

Ya, manusia harus menemukan sendiri bahwa di dunia pun ada tempat yang “bernilai surga & neraka” bagi hatinya.