Kenapa kok mengenali hati aja
pake belajar? Iya ya.... bukannya hati itu bagian yg sangat dekat dgn diri
kita? Kita udah punya hati sejak lahir.
Benar.. bahwa kita semua punya
hati adalah benar, namun seringkali kita mengabaikan keberadaan hati itu. Kalo
belum merasa sakit atau kecewa, kita bahkan lupa kalo hati itu beneran ada. Kalo
lagi nangis bombay deh baru ngerasa : Aduh... Hatiku sakiit....
Ternyata ada baiknya juga Tuhan
ngasih kita ujian dan cobaan, biar kita tahu kalo hati itu nggak cuman ada kalo
pas kita disakiti. Pas bahagia kita juga sebenarnya punya hati, cuma sensasinya
ya biasa aja... Kebanyakan manusia pasti berpikir bahwa bahagia itu ya
seharusnya. Kalo sakit hati ya sebisa mungkin harus dihindari. Sakit hati itu
petaka, mungkin itu pertanda bahwa Tuhan sedang marah pada manusia.
Lalu, benarkah demikian? Ah,
sepertinya itu hanya asumsi manusia (yg nulis ini juga pintar berasumsi). Tuhan
itu nggak pernah marah lho... Tuhan memang suka mencintai makhlukNya dengan
cara yg berbeda-beda. Sekarang kita dibikin tersenyum, 10 menit kemudian
dibikin nangis sama Dia, itu adalah hal yg wajar-wajar saja menurutNya.
Oh gitu ya? Jadi nangis itu
bentuk Dia mencintai kita? Iya... tentu saja. Mungkin kesannya cengeng ya, kalo
kita ketemu orang yg dikit-dikit nangis. Aku pun demikian, hihi.... Baiklah,
aku buka kartu saja ya. Akhir-akhir ini, aku merasa menjadi orang yg mudah
banget baper. Dikecewain orang dikit rasanya hati udah campur aduk. Trus kalo
lagi kangen sama seseorang juga gampang banget nangis, haha...
Awal-awal ngerasain ada perubahan
dalam diriku, aku merasa aneh. Kok rasanya aku sekarang tambah pinter ya “main
drama”. Jadi super sensitif... Ngerasa tiba-tiba berubah menjadi wanita (dulu
masih setengah wanita). Awalnya ngerasa diri ini nggak normal. Dulu kalo udah
bilang “sabar, ikhlas” kayaknya semuanya udah oke-oke aja. Tapi tampaknya masih
ada emosi-emosi yg belum terselesaikan. Trus akupun mencoba untuk mengajak
emosi-emosi dalam diriku berbicara. Emosi sedih, emosi marah, emosi senang,
emosi sebel.... semuanya diajak ngobrol satu per satu.
Ternyata asyik juga mendengarkan
celoteh para emosi. Pas emosi marah lagi muncul, rasanya pengen banting-banting
sesuatu atau lempar botol ke orang yg bikin kesel. Pas emosi sedih muncul,
misalnya pas kangen sama orang tapi nggak kesampaian, rasanya dunia ini kok
sempit banget. Trus akhirnya cuma bisa ngelampiasin rasa sedih ke boneka-boneka
yg setia menemani di kamar. Ngelus-ngelus boneka, peluk-peluk boneka,
ketawa-ketawa sama boneka... (Haha... udah beneran gila nih karena penyakit
malarindu).
Tidak jarang aku pun protes sama
Tuhan, kenapa harus dikasih penyakit galau di usia-usia sekarang ini? Kemudian Tuhan
hanya menjawab santai, “Itu karena sudah waktunya kamu berumahtangga, nduk”.
Hmm.... gitu ya? Sudah yuk, Tuhan. Kita ganti topik saja *ngeles.
Di balik keluh kesah yg aku
rasakan tentang, “kenapa harus aku yg mengalami”, ternyata kegalauan itu ada
hikmahnya juga. Perkenalkan, aku adalah psikolog puskesmas (sepertinya sudah
beberapa kali dibahas di note sebelumnya), yang tentu saja harus dihadapkan
pada orang-orang yg “bermasalah.”
Pengalaman hampir setahun di
puskesmas membuatku belajar hal baru : bahwa sesungguhnya hati itu sangat
lembut. Dan yg memiliki hati lembut bukan cuma wanita lho... Pria pun banyak yg
hatinya jadi sensitif ketika disakiti wanita, huks...
So, kalo berpikiran pria lebih
logis dan wanita lebih emosional, ternyata gak seratus persen bener. Aku yg
sekarang hatinya jauh lebih sensitif jadi bisa memahami apa yang terpendam
dalam lubuk hati wanita maupun pria. Ya, ini semua karena aku sering galau.
Coba kalo aku gak pernah galau, hidupku fine-fine aja, mungkin aku akan
menyepelekan apa yg dirasakan orang. “Mbak, kenapa ya penyakit perut dan sesak
nafasku ini gak sembuh-sembuh?” “So what, emang apa urusan gue? Salah sendiri
sensitif amat, apa-apa dipikir terlalu dalam.” Jangan-jangan aku langsung
berkata demikian, kalo gak pernah galau dan resah gelisah.
Beruntung, aku adalah salah satu
bagian dari mereka yg menderita. Jadinya aku tahu bener gimana rasanya
dicuekin, gimana rasanya dikecewain, sementara orang yg nyakitin gak ada rasa
bersalahnya sama sekali.
Kelihatannya tugas psikolog itu
simple. Cuma ndengerin orang yg bermasalah curhat. Mereka cerita ngalor ngidul,
nangis-nangis, ngomel-ngomel, sampe sejam lebih... Gampang banget kan kerjaan
psikolog. Cuma ndengerin dengan setia, sambil sesekali angguk-anggukin kepala,
pertanda kita ngerasain apa yg mereka rasain. But.... aku sendiri gak pernah
nyangka, kalo kerjaan yg “simple” itu mengandung makna yg besar. Bayangin aja,
gimana bisa orang yg masuk ke ruang psikologi dengan keluhan di tubuh yg
bermacam-macam, setelah cerita panjang lebar trus tiba-tiba bisa sembuh
sendiri? Trus tiba-tiba dia bilang, “Mbak.. ini badan saya udah lumayan enteng.
Padahal tadi sebelum ke sini rasanya lemes, gemetar, keringatan.”
Wow... ajaib ya... Begitulah
Tuhan bekerja. Sering aku sebagai manusia ini nggak pernah paham gimana cara
Dia bekerja. Dia dengan sesuka hati membuat psikolog minim jam terbang ini
galau, bertahun-tahun dia galau, berhari-hari dia sering ngomong dengan dirinya
sendiri dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Kemudian pagi harinya
Dia mempertemukan dia dengan orang-orang “sakit dan bermasalah”. Kemudian Dia
membuat frekuensi antara mereka sama, sehingga orang yang “sakit” tersebut
semacam melihat cermin pada diri si psikolog. Selanjutnya cermin tersebut cuma
diem mendengarkannya curhat dan tidak disangka-sangka cermin itu mengandung
pantulan yg hangat menyembuhkan. Jadi siapa yg sebenarnya menyembuhkan? Tentu
saja bukan psikolog. Tentu saja cermin yg dibuat sendiri oleh orang “sakit” itu.
Psikolog hanyalah media, sedangkan kekuatan untuk sembuh munculnya dari energi
yang tercipta dari rasa sedih, kesal, kecewa, marah, yang terlampiaskan keluar
menjadi energi yg terbebaskan.
Jadi sesungguhnya tiap orang yg “sakit” itu bisa
sembuh sendiri? Tentu sajaa.... Kalo gitu buat apa dateng ke psikolog ya, kan
bisa sembuh sendiri.. Eiits, di sinilah kodrat manusia sebagai makhluk sosial
berjalan. Sebagaimana seorang dokter yg gak bisa nyuntik tangannya sendiri,
atau dokter yg nggak bisa nyabut giginya sendiri, maka begitulah manusia “sakit”
menyadari keterbatasannya.
Manusia “sakit” dapat insight
untuk datang ke tempat orang yg dia anggap bisa membuatnya “sembuh”. Itu karena
dia sadar bahwa dirinya tidak bisa sembuh sendiri. Setelah ketemu psikolog,
psikolog hanya memberi sedikit stimulus. Sedikit stimulus itu selanjutnya
memberinya kekuatan untuk berani terbuka. Berani menceritakan hal-hal mulai
dari yg “baik di muka umum” hingga “aib yg sebaiknya disimpan sendiri”.
Pertanyaan berikutnya : Bagaimana caranya sedikit stimulus bisa memberi efek yg
besar bagi si sakit.” Tentu saja jawabannya simple : Psikolog itu hanya perlu
belajar mengenali hati. Mengenali hati, sesuatu ilmu yg bisa dipelajari oleh
siapa pun kan? Setiap orang bisa minimal sama atau melebihi peran psikolog jika
sudah mengenali hatinya sendiri. Demikian pula sebaliknya, setiap psikolog bisa
minimal sama atau melebihi sakitnya orang “sakit” jika tidak mengenali hatinya
sendiri.