Sebut saja namanya Mas Tuyul...
Yak, nama itu sangat tepat buat dia. Pada tahu kan tuyul itu siapa? Makhluk
halus yg konon punya “tugas suci” untuk mencuri uang2 masyarakat yang tidak
berdosa. Nah, demikian pula Mas Tuyul, Mas Tuyul telah berhasil menjalankan
tugasnya untuk mencuri hatiku yang tidak berdosa ini, huhuhu....
Katanya jatuh cinta itu berjuta
rasanya. Bangun tidur keinget dia, makan keinget dia, jalan keinget dia, kalo
gak tahu kabar dia sedetik pun rasanya ada yg hampa. Yak itu pula “penyakit”
yang aku alami.
Kejadiannya berawal sekitar 6
tahun lalu. Saat itu aku hanyalah gadis polos yang mencoba mencari peruntungan
nasib dgn belajar lagi biar bisa jadi psikolog. Waktu itu aku cuma tidak tahu
aku ini di dunia ini mesti ngapain sih habis jadi sarjana? Aku tidak mau dgn
kondisi galau begini trus memaksakan diri untuk bekerja.
Lalu tersebutlah sebuah
kisah..... Pada suatu sore, aku yg sedang diburu waktu untuk mencari klien,
menyempatkan diri ke koperasi untuk membeli peralatan yg diperlukan dalam
praktikum. Saat sedang berjalan menuju kasir, sepintas aku melihat dari arah
belakang seorang mas2 yg wajahnya tidak begitu asing tampak sedang
memperhatikanku diam2. “Oh, mas yg itu? Njuk ngopo? Mas yg sekarang udah jadi
karyawan itu ya? Ya sudah sih cuek aja, toh aku gak kenal2 amat.” Begitu kataku
dalam hati.
Aktivitas praktikum pun berjalan
dengan baik, hingga sore harinya aku pulang ke kos. Ternyata ada yg tidak baik2
saja dgn hatiku. “Kok aku jadi penasaran mas itu kayak gimana ya? Coba ah
stalking di FB.” Aku pun membuka akunnya, kepo ke sana ke mari. “Hmm... boleh
juga. Ada mirip2nya juga dgnku. Sok2 filosofis-sufistik gitu, agak2
pemberontak, tapi dari luar sok jaim kayak kulkas (Ya tapi lebih jaim masnya
berkali-kali lipat sih dibanding aku).
Besoknya aku menjalani aktivitas
sbg mahasiswa yg baik di kampus, hingga kemudian aku berjumpa lagi dengannya di
kantin. Deg! Kenapa ini, kok tiba2 jantungku berdegup kencang saat kujumpa dia.
Terasa ada angin sepoi2 dan bunga2 berjatuhan di sekelilingku (yg ini jelas
dramatisasi). Waktu terasa berhenti sesaat. Ow..ow.. jangan2 aku telah jatuh
cinta? Olala.. segitu simple-kah alasan untuk jatuh cinta?
Dan... sejak saat itu hari2ku
menjadi berwarna. Aku jadi sering mikirin dia lagi ngapain. Aku sering banget kepo
sosmednya. Sesekali kita berjumpa di kampus.. Saat bertemu aku hanya bisa
senyum2 sendiri, pengen natap wajahnya tapi gak berani. Deg2an, antara pengen
kabur atau datengin dan nyapa dia.
Masa kuliah yg bikin muntah2 pun
jadi agak teralihkan deritanya saat inget masnya. Semacam ada kekuatan yg bikin
aku semangat untuk ngerjain tugas (meskipun ya tetep aja IPK gak bisa cumlaude,
emang otaknya udah mentok gini). Hingga pada suatu ketika masnya pergi ke kota
lain untuk menjalani pelatihan, semacam persiapan sebelum dia ke luar negeri.
Saat itu aku lagi disibukkan dengan kerja praktik. Meskipun badan ini sibuk di
lapangan berburu kasus, ternyata hati ini tetep gak bisa ikutan sibuk kerja.
Sesekali di saat agak luang, aku masih mikirin dia. “Duh, weekeend nih. Masnya
bakal pulang ke kotanya nggak ya? Harapannya sih pas aku bimbingan ke kampus
bisa ketemu, atau paling nggak pas aku otw ke kotanya aku bisa ketemu di
jalan.”
Ternyata hingga kerja praktik
berakhir, aku jarang banget ketemu dia. Namun tetap saja bayangannya terasa
dekat banget. Hiks.. miris ya, selama itu aku cuma bisa ngobrol dengan
bayangannya. Bahkan saat aku lagi nekad main ke negara lain pun, aku masih
mikirin dia. Teman2ku asyik foto2 berwisata, aku masih aja mikir, “Duh, masnya
lagi ngapain ya? Coba kalo suatu saat ada kesempatan buat nemenin dia kuliah di
negara ini. Hmmm.”
Begitulah... waktu terus
berjalan. Hingga akhirnya masnya pun pergi ke luar negeri dalam rangka berusaha
memperpanjang gelarnya. Rasanya sebelum dia pergi pengen banget teriak,”Mas...
mas... tunggu. Aku punya sesuatu buat kamu, semoga benda ini bisa membuatmu
ingat aku. Aku akan menunggumu sampai kamu balik dgn gelar yg lebih panjang.”
Nyatanya kata2 ini gak sempat terucap hingga dia beneran pergi. Aku yang saat
itu sudah mulai pusing dgn tesis pun masih memiliki niat untuk mencoba
mengungkapkan perasaan secara tertulis. Aku duduk di depan laptop selama
beberapa jam, mencoba merangkai kata yg singkat namun terkesan elegan. Entah
kenapa dada ini terasa sesak... Aku cuma bisa nangis karena menyadari bahwa aku
tidak cukup berani untuk mengatakan itu. “Ah ya sudahlah, biarlah perasaan ini
dibawa angin saja.”
Hari2 pengerjaan tesis terasa
begitu lama bagiku. Tentu saja, karena dibarengi tanda tanya,”Kapan masnya
balik ya?”. Aku malah jadi sering bengong di depan laptop, mikirin seseorang yg
belum tentu mikirin aku dgn segitunya. Saat tidur, sering aku kebangun tiba2,
nangis2 sendiri. Antara nangis mikirin tesis dan nangis karena kangen.
Hampir aku merasa pesimis dgn
kondisiku, “Apa aku bisa menyelesaikan tesis kalau galau begini?”. Tapi aku
terus berjuang, dgn keyakinan bahwa : “Emangnya masnya biayain aku kuliah?Kalau
aku nangis2 begini apa juga untungnya buat dia ya?”. Akhirnya dgn langkah
terseok2 aku pun berhasil lulus. Waktu itu masih berharap, “Coba kalau masnya
dateng ke wisudaku ya?”. Tapi ternyata yg datang hanyalah bayang2 semunya.
Untung ada bapak dan ibukku yg setia mndampingi sejak wisuda S1. “Oh iya ya,
memang yg seharusnya datang ya ortuku, wong yg biayain kuliah ya mereka. Ya ini
hadiah biar mereka bangga.”
Setelah resmi jadi psikolog, aku
yg saat itu masih mencari jati diri, akhirnya merasa bahagia kembali karena
dapat kesempatan untuk ketemu lagi sama masnya. “Horee, bisa ketemu lagi.”
Meskipun kali ini ketemu karena hubungan kerja yg resmi banget, aku udah
bahagia bisa lihat wajahnya lagi. Tapi... dia seperti biasa, tampang kulkas yg
sok ganteng dan tebar pesona. Entahlah, meskipun beberapa teman dekatku sudah
mengingatkan tentang “jejak kriminal” mas itu, aku masih saja bertahan pada
perasaanku. “Ah, siapa tahu jodoh, siapa tahu ada kesempatan untuk kenal lebih
jauh.”
Setahun aku berada dalam
satu forum kerjaan sama dia, tak
kusangka aku harus terpaksa pergi dari pekerjaan tersebut dgn perasaan
terdzolimi. Aku sempat membenci semua orang yg berkaitan dgn pekerjaan itu,
menghapus semua kontak mereka termasuk kontak si masnya. Namun, itu hanya mampu
bertahan beberapa saat. “Duh, aku tetap aja kepikiran masnya nih. Pengen balik
lagi, kepo lagi.” Aku pun minta kontaknya lagi pada temenku. Beneran kayak ABG
labil ya aku.
Dengan berbekal hati yg sudah
tersakiti, aku pun mencoba melangkahkan kaki ke kota tetangga. Mencoba mengais
rejeki, setelah diusir oleh orang2 dari kota yg sudah memberiku banyak ilmu
selama 10 tahun. Belum jauh2 amat secara jarak dengannya membuat aku masih
keterusan berharap. Aku masih aja kepo sosmednya... Aku yg gak kekinian karena
gak punya IG pun gak kekurangan akal. Hampir tiap hari aku ngrecoki temenku
untuk numpang kepoin IG si mas. Sehari belum kepo si mas ibarat belum makan
nasi.
Katanya cinta itu harus
diperjuangkan ya? Bagiku, memperjuangkan dia adalah melalui doa yg aku
panjatkan tiap hari. Baik saat habis sholat, saat dalam perjalanan, saat hujan
deras, saat sendirian di kamar, dll... Sering banget aku ngerasa sesak, pengen
ngomong sama dia, tapi kok rasanya kayak ngomong sama tembok. Pengen memulai
chat di WA, nulis di wall FB atau mention di twitter, tapi itu hanyalah angan2
semu.. Pernah aku nekat ngucapin selamat ultah sama dia di message FB. Aku
sudah mengumpulkan segenap keberanian untuk melakukan hal itu. Tapi apa
balasannya? Nihil. Pernah juga aku melakukan tindakan “bodoh”. Pas aku lagi
kepo foto WAnya, gak sengaja kepencet Call. Haduuh, langsung aku matiin HP
karena malyuu. Saat itu masnya sebenarnya udah inisiatif hubungin aku balik
(dia tahu kalo ada mahkluk iseng gak jelas lagi bingung). Tapi... aku cuma bisa
balas beberapa saat kemudian dengan ucapan,”Maaf mas, gak sengaja, khilaf.”
Bagi beberapa orang upaya untuk
menghubungi seseorang yg disukai, trus ngobrol adalah hal yg gampang. Tapii...
bagi aku.. ini super susaaah bangeet. Total aku hanya 2 kali menghubunginya
lewat WA. Ucapan di WA yg terakhir itu berupa permintaan maaf karena salah satu
pihak keluargaku iseng menghubungi dia, karena kepo sebenarnya mas itu tuh ada
perasaan gak sih sama aku. Duuh, segitunya ya keluargaku ada yg iseng. Daan aku
gak bisa menyalahkan siapa pun, di sisi lain itu bentuk perhatian mereka sama
aku.
Doa.. dibilang ini bentuk usaha
yg pasif ya sebenarnya enggak juga. Meluangkan waktu untuk inget dia, untuk
kemudian merangkai kata, berharap dia mendapatkan yg terbaik, itu semua butuh
kekuatan hati. Ada kalanya aku mengucapkan doa dgn ceplas-ceplos semacam ini :
“Tuhan, tolong jadikan dia jodohku. Aku udah berusaha bersabar buat nungguin
dia. Aku akan berusaha mengabdi pada dia dgn baik”. Ada pula doa yg agak
bersifat kerelaan dan “sufisme”: Tuhan, aku hanya berharap kebahagiaan dan
keberkahan buat dia. Terserah dia akan berjodoh dgnku atau tidak. Aku ingin
melihat dia sukses di masa depan. Jodohkan kami di akhirat saja ya Tuhan.”
Entah sudah berapa kali aku
berdoa.. Bukan karena aku relijius sih. Itu semua lebih karena bentuk
pelampiasanku atas rasa kangen dan semua perasaan yg tak mampu terucap. Lagi
bersantai pun aku doain dia, kadang malah disertai dgn adegan cium boneka atau
peluk guling. Haha... kok miris banget ya aku sbg wanita kesepian. Kadang habis
sholat, cium2 tempat sujud, entah itu aku sadar atau enggak ngelakuinnya. Dan
juga sudah tak terhitung berapa liter air mata yg berjatuhan selama aku berdoa
(Bisa dijual dijadiin minuman : Es Air Mata Cinta Perawan nih yaa.)
Oh ya, aku juga sering banget
ngelihatin foto Wa-nya. Aku sering terkena “waham”, berpikir bahwa dia juga
lagi ngelihatin foto WA ku. Kalo dia udah ganti foto gitu, wuiih rasanya
bahagia banget. Pengen bilang, “mas fotonya keren lho..” trus dgn sesegera
mungkin aku juga ingin ganti foto WA yg paling bagus, biar kelihatan kalo kita
kode2an.
Aku memaklumi sifat2nya yg
kekanak2an, sok kayak musisi, sok gaul, sok petualang (apalagi petualang cinta,
hedeeuh), dan sok pintar. Semacam : Kalo udah jatuh cinta, tahi kucing rasa
coklat. “Iya sih, dia nyebelin, punya banyak kekurangan, trus kenapa? Yang
penting kan aku suka sama dia.”
Selama terobsesi cinta sama dia,
aku pernah beberapa kali minta petunjuk sama Tuhan. “Ya Tuhan, jika memang dia
jodohku, tolong perlihatkan dia dalam mimpi.” Dan terbukti, aku pun beberapa
kali ketemu dia dalam mimpi. Aku mimpi dateng ke rumahnya lah.. mimpi nembak
dia pas lagi di Eropah..mimpi ketemu dia di jalan, mimpi dia di sana sini, ah
sudahlah.. udah gak terhitung berapa kali aku mimpiin dia. Pernah juga aku
sholat istikharah, habis itu aku tidur, dan dalam mimpi pun masih lihat dia.
Karena seolah-olah aku merasa mendapat “petunjuk” dari Tuhan, aku pun pede aja
kalo suatu saat dia bakal jadi jodohku.
Hari2 penuh khayalan dan pengharapan
masih terus berjalan, hingga pada suatu hari aku benar2 ditampar kenyataan. Seorang
teman dekatku menanyakan sesuatu via WA. “Kamu udah tahu kabar terbaru tentang
dia?.” “Emang apaan? Dia udah sebar undangan ya?,” tanyaku ketus. “Bukan dia yg
sebar, tapi calonnya.” “Hah, apaaa????” Bener2 kayak disambar petir di pagi yg
cerah. Ingin rasanya diri ini teriak dan menangis, tapi harus bisa menahan diri
sekuat mungkin. “Aku kan lagi di tempat kerja, nanti aja lah nangisnya di kos.”
Aku bekerja dengan dikelilingi anak-anak berkebutuhan khusus setiap harinya.
Gara2 patah hati, aku pun jadi bisa melihat mereka dgn lebih dalam. Sbg langkah
pertolongan pertama, aku berusaha menghubungi teman2 dekatku lewat WA, nyampah2
sekaligus minta dukungan moral, sehingga aku bisa sedikit “waras” di tempat
kerja.
Sesampainya di kos langsung deh.
Huaaa... air mata yg dari tadi tertahan kini sudah tumpah. “Tuhan.. kenapa ini
jawaban atas semua doaku? Bukankah Engkau selama ini sudah memberi petunjuk?
Apa ada yg salah dgn petunjukMu? Apa ada yg salah dgn takdirMu?”
Semua sumpah serapah pun hadir.
Perasaan tidak terima dgn takdir, merasa diri ini sudah banyak berkorban tapi
tidak mendapat hasil apa2, merasa sebal karena telah dibohongi oleh laki2
bertopeng buaya, dll. Bingung, kecewa, marah, sedih, semuanya jadi satu. Dan
seperti biasa, ketika agak stres berat, asam lambungku naik. Aku gak bisa makan
banyak meski laper, cuma bisa masuk beberapa sendok. Malemnya, saat waktu tidur
tiba, mataku masih betah melek meskipun sebenarnya ngantuk. Kedip2 sambil
mbayangin bahwa peristiwa ini hanyalah mimpi. Nggak tahu mesti ngapain lagi
selain nangis. “Biasanya malam gini aku mikirin kamu, pertama bangun yg kuingat
cuma kamu. Sekarang aku mesti nginget siapa lagi,hiks..hiks..”
Masa2 menjelang dia menikah
adalah saat2 yg berat bagiku. Tiap habis sholat maupun saat sendirian di kamar,
aku selalu nangis kenceng. Aku bahkan pernah berdoa agak “jahat.” “Ya Tuhan,
apa Kau yakin kalau mereka akan berjodoh? Yg bener? Apa mbak itu udah tahu
jelek2nya masnya? Apa dia bakal betah ndampingin masnya? Kenapa nggak sama aku
aja ya Allah. Aku kan udah bersabar banget nunggunya, udah terbukti setianya.
Gagalkan saja ya Allah, gagalkan saja akadnya. Semoga keajaiban bisa terjadi
sebelum akad. Ya Tuhan.. tapi bagaimanapun mas itu bener2 jahat. Dia ngasih
perhatian kayak gitu ke para wanita? Dipikirnya wanita itu gak punya hati apa?
Huuks...hukks... Tuhan, aku menyesal kenapa pernah menjadi korbannya. Kalo gitu
ngapain aku doain dia tiap hari ya, kalo balesannya kayak gini. Dia beneran
jahaat, nggak bisa ngerasain ketulusan hati wanita. Ya udah deh, kalo mereka
mau berjodoh juga nggak papa. Biar aja nanti masnya ngerasain karma. Pokoknya
aku gak terima.”
Namun, di sudut hati yg lain, ada
diriku yg seolah2 sedang ngobrol dgn Tuhan. “Ima, Aku kan udah ngabulin doamu.
Dulu kamu berusaha belajar ketulusan. Kamu belajar untuk tidak berfokus pada
balasan orang yg kamu cintai. Kamu lebih takut dia sengsara dan menderita kan?
Bagimu, tidak masalah dia bisa tersenyum bersama orang lain. Itu yg membuat
kamu lebih tenang. Paling tidak, dia sudah bahagia dan tidak kesepian. Bukankah
kamu pernah bilang pengen seperti matahari yg tulus mencintai bumi, seperti
halnya seorang ibu yg melihat anak laki2nya tumbuh dewasa dan berusaha
melepasnya dgn penuh kerelaan kan?.” Aku merasa Tuhan sedang berusaha
menenangkan aku. Entahlah Tuhan, aku merasa malaikat dan setan sedang bertarung
di dalam diriku, berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui aku.
Apa benar hidup akan selalu
begini? Apa benar cinta itu butuh perjuangan? Tapi perjuangan yg seperti apa?
Ah... aku terus mencari...mencari... dan mencari.... Sepertinya jawaban itu
masih terus bersembunyi.
Ya sudahlah..Mas Tuyul. Tidak
usah kita bahas lagi siapa yg benar dan salah. Aku cuma pengen bilang sesuatu
kok. Ini murni curahan hatiku saja.
Aku tidak mempertanyakan ilmu yg
kamu miliki, karena sudah terbukti keliling2 dunia membuatmu merasa punya
banyak pengalaman. Aku juga tidak mempertanyakan imanmu, karena kamu berada di
keluarga yg tampaknya relijius, punya banyak kitab, bahkan kamu sudah beberapa
kali ke Tanah Suci. Aku juga tidak mempertanyakan parasmu, karena dengan sekali
lirik, kamu berhasil membuat wanita2 bertekuk lutut padamu.
Aku hanya mempertanyakan :
Bagaimana akhlakmu, mengapa ilmu dan iman yg kamu miliki tidak mencerminkan
kelakuanmu? Kamu bilang wanita makhluk yg seharusnya dihargai. Kamu bilang
nggak mau pacaran karena itu haram. Lalu mengapa sikapmu seolah2 seperti orang
yg tidak dibekali ilmu dan iman? Apakah lirikan, pandangan mata yg seolah malu2
sambil tersenyum itu kamu bilang menjaga diri? Berapa banyak wanita yg menjadi
korban “menjaga diri”mu itu? Berapa banyak wanita yg kamu ajak ngobrol dengan
perasaan lalu kamu tingggalkan dgn alasan “maaf saya hanya mencari istri, bukan
pacar”? Orang awam pun tahu, bahwa untuk mencari pendamping hidup sesuai etika,
kamu gak perlu tebar pesona ke mana2. Apakah dengan memberi perhatian pada
banyak wanita, lalu membiarkan mereka menggantungkan harapan, itu semacam
sebuah prestasi bagimu?
Ya, aku memang bukan wanita yg
benar2 baik atau shalihah. Tapi aku sebagaimana wanita lainnya yg punya hati yg
lembut, tentu merasa sakit dgn sikapmu yg “abu2” itu. Seharusnya aku bersyukur
kamu tidak menjadi jodohku. Seharusnya aku bersyukur karena terlepas dari penderitaan
masa depan. Mungkin aku tidak akan sekuat jodohmu sekarang, jika di masa depan
kamu masih saja belum bertobat.
Tapi.. kenapa setelah hampir
sebulan kamu melukai hatiku aku masih saja membicarakanmu ya? Apa ini tandanya
aku masih menyimpan perasaan padamu? Sepertinya batas antara cinta dan benci
memang tipis. Kamu tahu, di saat aku nangis marah2 sama kamu, di saat itu pula
aku bisa dengan mudah membayangkan senyum kebahagiaanmu. Terkadang, aku cuma
pengen bilang kangen pada angin (karena akan seperti tokoh wanita penggoda
dalam sinetron jika aku nekat bilang ke suami orang).
Apa aku sekarang ini sudah
terlihat sebagai wanita bodoh karena hampir 6 tahun menunggumu? Ya..masih gak
ada apa2nya dibanding Hachiko yg nungguin majikannya pulang sampai mati sih
(aku sih dari dulu udah “mati” karena merindukanmu, eaa). Apa aku terlihat
seperti wanita gila karena menulis note curhat sepanjang ini? Terserah apa
katamu. Aku juga tidak berharap kamu atau siapapun mau membaca tulisan ini.
Namun, jika suatu saat kamu tanpa sengaja membacanya, aku harap kamu mau
introspeksi. Bukan untuk minta maaf padaku. Tapi minta maaflah kepada Tuhan
karena kamu telah menyakiti makhlukNya.
Dan bagaimana nasibku sekarang?
Hahaa.... tentu saja aku masih mencoba untuk terus hidup. Ya alhamdulillahnya
dulu saat aku galau merindukanmu aku tetap berjuang menyelesaikan tesis. Saat
orang2 di sekitarmu “mengusir”ku, aku tetap berjuang mencari pekerjaan lagi.
Kini aku sedang mensyukuri hari2ku yg bisa rawat jalan gratis di kantor. Saat gak
bisa tidur dan gak bisa makan, aku tetap berusaha pergi ke kantor, lalu aku
bertemu dengan pasien2 yg memiliki masalah yg mirip denganku (bedanya mereka
lebih banyak ngomel2 dan bicara ngelantur). Meskipun masyarakat lain menganggap
mereka “tidak waras”, bagiku mereka adalah guru terbaik yg mengajarkanku untuk
tidak “lari dari kenyataan”, untuk terus meyakinkan diri bahwa akan sangat lucu
jika ada psikolog yg sampai dirawat oleh teman2nya sendiri di kantor.
Lalu kemana perginya doa2
terindah yg pernah aku ucapkan untukmu dulu? Apakah aku akan melanjutkan doa2ku
lagi untukmu? Tentu saja tidak. Kamu toh sudah punya bidadari yg setia
mendoakanmu (mungkin sih, aku kan juga gak tahu keseharian mbak itu, hehe).
Apakah aku lebih baik bilang ke Semesta : Hei, aku mencabut semua doa2ku yg
dulu karena sungguh dia bukan pria yg layak untuk kudoakan? Ah, ngapain. Yang
sudah biarlah sudah... Tetap berpikir positif saja pada Semesta. Bukankah doa
itu energi netral? Jika terbukti tidak bekerja pada orang yg didoakan, maka
Semesta akan tetap menyimpannya untuk orang yg tepat kan?
Tentang istikharah yg “salah
alamat”? Hmm... ini akan menjadi bahan introspeksiku. Mungkin dulu aku terlalu
maksa ya..jadi pas berdoa hatiku gak netral, semacam nyuruh Tuhan untuk :
“Sudahlah, sama dia aja Tuhan. Tetapkan hatiku untuk milih dia aja.” Sungguh,
ucapan doa yg egois. Jadinya, Tuhan pun ngasih petunjuknya “asal2an”.
Menyesal pernah mencintaimu
dengan sangat dalam? Ngg... antara iya dan tidak sih. Iya, karena aku merasa
waktu yg terbuang udah cukup banyak. Enam tahun lho aku cuma mikirin satu
orang. Sementara kamu, sehari aja bisa tebar pesona ke beberapa orang sekaligus
(ya maaf, aku sudah membuktikannya sendiri saat ikut workshop bareng kamu :p).
Tidak, karena sesungguhnya aku belajar sesuatu yg “agung”. Tentang makna
kesetiaan, cinta tanpa syarat, kesabaran, dan keikhlasan. Mungkin ini tidak
akan pernah aku pelajari jika tidak ketemu sama kamu. Jadi, aku berterima kasih
sama Tuhan atas pelajaran yg gak ada teorinya ini. Sekali lagi, aku berterima
kasih pada Tuhan, bukan sama kamu, karena kamu hanyalah perantara cerita Tuhan
di dunia ini.
Tentu bekal yg sangat berharga
ini, berupa hati yg separuh hancur, akan menjadi modal istimewa untuk menemukan
pasangan yg lebih baik di kemudian hari. Ya, aku sudah berjalan jauh untuk
menemukan jodoh. Ketika bertemu dengan jalan buntu, berarti kini saatnya aku
untuk berbelok arah, mencari jalan lain yang lebih jelas petunjuknya untuk
mencapai tujuan. Jika saat ini aku berjalan dari kota A menuju kota D, episode
patah hati ini telah membawaku berjalan hingga kota C. Aku hanya perlu
melanjutkan beberapa langkah lagi karena jodoh sudah semakin dekat.
“Maka tersenyumlah, Ima...
pangeran tampanmu sudah menunggu uluran tanganmu di depan sana. Ayo sambutlah
dengan senyuman yang terindah. Lupakan semua sakit hatimu pelan2 yaa... “
Buat mas heartbreaker, demikian
tulisan ini aku buat. Semoga mampu menjadikan aku semakin ahli dalam urusan
percintaan yg sebenarnya tidak butuh keahlian ini.