Minggu, 16 April 2017

Buat Mas Heartbreaker...



Sebut saja namanya Mas Tuyul... Yak, nama itu sangat tepat buat dia. Pada tahu kan tuyul itu siapa? Makhluk halus yg konon punya “tugas suci” untuk mencuri uang2 masyarakat yang tidak berdosa. Nah, demikian pula Mas Tuyul, Mas Tuyul telah berhasil menjalankan tugasnya untuk mencuri hatiku yang tidak berdosa ini, huhuhu.... 

Katanya jatuh cinta itu berjuta rasanya. Bangun tidur keinget dia, makan keinget dia, jalan keinget dia, kalo gak tahu kabar dia sedetik pun rasanya ada yg hampa. Yak itu pula “penyakit” yang aku alami.
Kejadiannya berawal sekitar 6 tahun lalu. Saat itu aku hanyalah gadis polos yang mencoba mencari peruntungan nasib dgn belajar lagi biar bisa jadi psikolog. Waktu itu aku cuma tidak tahu aku ini di dunia ini mesti ngapain sih habis jadi sarjana? Aku tidak mau dgn kondisi galau begini trus memaksakan diri untuk bekerja.

Lalu tersebutlah sebuah kisah..... Pada suatu sore, aku yg sedang diburu waktu untuk mencari klien, menyempatkan diri ke koperasi untuk membeli peralatan yg diperlukan dalam praktikum. Saat sedang berjalan menuju kasir, sepintas aku melihat dari arah belakang seorang mas2 yg wajahnya tidak begitu asing tampak sedang memperhatikanku diam2. “Oh, mas yg itu? Njuk ngopo? Mas yg sekarang udah jadi karyawan itu ya? Ya sudah sih cuek aja, toh aku gak kenal2 amat.” Begitu kataku dalam hati. 

Aktivitas praktikum pun berjalan dengan baik, hingga sore harinya aku pulang ke kos. Ternyata ada yg tidak baik2 saja dgn hatiku. “Kok aku jadi penasaran mas itu kayak gimana ya? Coba ah stalking di FB.” Aku pun membuka akunnya, kepo ke sana ke mari. “Hmm... boleh juga. Ada mirip2nya juga dgnku. Sok2 filosofis-sufistik gitu, agak2 pemberontak, tapi dari luar sok jaim kayak kulkas (Ya tapi lebih jaim masnya berkali-kali lipat sih dibanding aku). 

Besoknya aku menjalani aktivitas sbg mahasiswa yg baik di kampus, hingga kemudian aku berjumpa lagi dengannya di kantin. Deg! Kenapa ini, kok tiba2 jantungku berdegup kencang saat kujumpa dia. Terasa ada angin sepoi2 dan bunga2 berjatuhan di sekelilingku (yg ini jelas dramatisasi). Waktu terasa berhenti sesaat. Ow..ow.. jangan2 aku telah jatuh cinta? Olala.. segitu simple-kah alasan untuk jatuh cinta? 

Dan... sejak saat itu hari2ku menjadi berwarna. Aku jadi sering mikirin dia lagi ngapain. Aku sering banget kepo sosmednya. Sesekali kita berjumpa di kampus.. Saat bertemu aku hanya bisa senyum2 sendiri, pengen natap wajahnya tapi gak berani. Deg2an, antara pengen kabur atau datengin dan nyapa dia. 

Masa kuliah yg bikin muntah2 pun jadi agak teralihkan deritanya saat inget masnya. Semacam ada kekuatan yg bikin aku semangat untuk ngerjain tugas (meskipun ya tetep aja IPK gak bisa cumlaude, emang otaknya udah mentok gini). Hingga pada suatu ketika masnya pergi ke kota lain untuk menjalani pelatihan, semacam persiapan sebelum dia ke luar negeri. Saat itu aku lagi disibukkan dengan kerja praktik. Meskipun badan ini sibuk di lapangan berburu kasus, ternyata hati ini tetep gak bisa ikutan sibuk kerja. Sesekali di saat agak luang, aku masih mikirin dia. “Duh, weekeend nih. Masnya bakal pulang ke kotanya nggak ya? Harapannya sih pas aku bimbingan ke kampus bisa ketemu, atau paling nggak pas aku otw ke kotanya aku bisa ketemu di jalan.” 

Ternyata hingga kerja praktik berakhir, aku jarang banget ketemu dia. Namun tetap saja bayangannya terasa dekat banget. Hiks.. miris ya, selama itu aku cuma bisa ngobrol dengan bayangannya. Bahkan saat aku lagi nekad main ke negara lain pun, aku masih mikirin dia. Teman2ku asyik foto2 berwisata, aku masih aja mikir, “Duh, masnya lagi ngapain ya? Coba kalo suatu saat ada kesempatan buat nemenin dia kuliah di negara ini. Hmmm.”

Begitulah... waktu terus berjalan. Hingga akhirnya masnya pun pergi ke luar negeri dalam rangka berusaha memperpanjang gelarnya. Rasanya sebelum dia pergi pengen banget teriak,”Mas... mas... tunggu. Aku punya sesuatu buat kamu, semoga benda ini bisa membuatmu ingat aku. Aku akan menunggumu sampai kamu balik dgn gelar yg lebih panjang.” Nyatanya kata2 ini gak sempat terucap hingga dia beneran pergi. Aku yang saat itu sudah mulai pusing dgn tesis pun masih memiliki niat untuk mencoba mengungkapkan perasaan secara tertulis. Aku duduk di depan laptop selama beberapa jam, mencoba merangkai kata yg singkat namun terkesan elegan. Entah kenapa dada ini terasa sesak... Aku cuma bisa nangis karena menyadari bahwa aku tidak cukup berani untuk mengatakan itu. “Ah ya sudahlah, biarlah perasaan ini dibawa angin saja.”

Hari2 pengerjaan tesis terasa begitu lama bagiku. Tentu saja, karena dibarengi tanda tanya,”Kapan masnya balik ya?”. Aku malah jadi sering bengong di depan laptop, mikirin seseorang yg belum tentu mikirin aku dgn segitunya. Saat tidur, sering aku kebangun tiba2, nangis2 sendiri. Antara nangis mikirin tesis dan nangis karena kangen. 

Hampir aku merasa pesimis dgn kondisiku, “Apa aku bisa menyelesaikan tesis kalau galau begini?”. Tapi aku terus berjuang, dgn keyakinan bahwa : “Emangnya masnya biayain aku kuliah?Kalau aku nangis2 begini apa juga untungnya buat dia ya?”. Akhirnya dgn langkah terseok2 aku pun berhasil lulus. Waktu itu masih berharap, “Coba kalau masnya dateng ke wisudaku ya?”. Tapi ternyata yg datang hanyalah bayang2 semunya. Untung ada bapak dan ibukku yg setia mndampingi sejak wisuda S1. “Oh iya ya, memang yg seharusnya datang ya ortuku, wong yg biayain kuliah ya mereka. Ya ini hadiah biar mereka bangga.”

Setelah resmi jadi psikolog, aku yg saat itu masih mencari jati diri, akhirnya merasa bahagia kembali karena dapat kesempatan untuk ketemu lagi sama masnya. “Horee, bisa ketemu lagi.” Meskipun kali ini ketemu karena hubungan kerja yg resmi banget, aku udah bahagia bisa lihat wajahnya lagi. Tapi... dia seperti biasa, tampang kulkas yg sok ganteng dan tebar pesona. Entahlah, meskipun beberapa teman dekatku sudah mengingatkan tentang “jejak kriminal” mas itu, aku masih saja bertahan pada perasaanku. “Ah, siapa tahu jodoh, siapa tahu ada kesempatan untuk kenal lebih jauh.”

Setahun aku berada dalam satu  forum kerjaan sama dia, tak kusangka aku harus terpaksa pergi dari pekerjaan tersebut dgn perasaan terdzolimi. Aku sempat membenci semua orang yg berkaitan dgn pekerjaan itu, menghapus semua kontak mereka termasuk kontak si masnya. Namun, itu hanya mampu bertahan beberapa saat. “Duh, aku tetap aja kepikiran masnya nih. Pengen balik lagi, kepo lagi.” Aku pun minta kontaknya lagi pada temenku. Beneran kayak ABG labil ya aku. 

Dengan berbekal hati yg sudah tersakiti, aku pun mencoba melangkahkan kaki ke kota tetangga. Mencoba mengais rejeki, setelah diusir oleh orang2 dari kota yg sudah memberiku banyak ilmu selama 10 tahun. Belum jauh2 amat secara jarak dengannya membuat aku masih keterusan berharap. Aku masih aja kepo sosmednya... Aku yg gak kekinian karena gak punya IG pun gak kekurangan akal. Hampir tiap hari aku ngrecoki temenku untuk numpang kepoin IG si mas. Sehari belum kepo si mas ibarat belum makan nasi. 

Katanya cinta itu harus diperjuangkan ya? Bagiku, memperjuangkan dia adalah melalui doa yg aku panjatkan tiap hari. Baik saat habis sholat, saat dalam perjalanan, saat hujan deras, saat sendirian di kamar, dll... Sering banget aku ngerasa sesak, pengen ngomong sama dia, tapi kok rasanya kayak ngomong sama tembok. Pengen memulai chat di WA, nulis di wall FB atau mention di twitter, tapi itu hanyalah angan2 semu.. Pernah aku nekat ngucapin selamat ultah sama dia di message FB. Aku sudah mengumpulkan segenap keberanian untuk melakukan hal itu. Tapi apa balasannya? Nihil. Pernah juga aku melakukan tindakan “bodoh”. Pas aku lagi kepo foto WAnya, gak sengaja kepencet Call. Haduuh, langsung aku matiin HP karena malyuu. Saat itu masnya sebenarnya udah inisiatif hubungin aku balik (dia tahu kalo ada mahkluk iseng gak jelas lagi bingung). Tapi... aku cuma bisa balas beberapa saat kemudian dengan ucapan,”Maaf mas, gak sengaja, khilaf.” 

Bagi beberapa orang upaya untuk menghubungi seseorang yg disukai, trus ngobrol adalah hal yg gampang. Tapii... bagi aku.. ini super susaaah bangeet. Total aku hanya 2 kali menghubunginya lewat WA. Ucapan di WA yg terakhir itu berupa permintaan maaf karena salah satu pihak keluargaku iseng menghubungi dia, karena kepo sebenarnya mas itu tuh ada perasaan gak sih sama aku. Duuh, segitunya ya keluargaku ada yg iseng. Daan aku gak bisa menyalahkan siapa pun, di sisi lain itu bentuk perhatian mereka sama aku. 

Doa.. dibilang ini bentuk usaha yg pasif ya sebenarnya enggak juga. Meluangkan waktu untuk inget dia, untuk kemudian merangkai kata, berharap dia mendapatkan yg terbaik, itu semua butuh kekuatan hati. Ada kalanya aku mengucapkan doa dgn ceplas-ceplos semacam ini : “Tuhan, tolong jadikan dia jodohku. Aku udah berusaha bersabar buat nungguin dia. Aku akan berusaha mengabdi pada dia dgn baik”. Ada pula doa yg agak bersifat kerelaan dan “sufisme”: Tuhan, aku hanya berharap kebahagiaan dan keberkahan buat dia. Terserah dia akan berjodoh dgnku atau tidak. Aku ingin melihat dia sukses di masa depan. Jodohkan kami di akhirat saja ya Tuhan.” 

Entah sudah berapa kali aku berdoa.. Bukan karena aku relijius sih. Itu semua lebih karena bentuk pelampiasanku atas rasa kangen dan semua perasaan yg tak mampu terucap. Lagi bersantai pun aku doain dia, kadang malah disertai dgn adegan cium boneka atau peluk guling. Haha... kok miris banget ya aku sbg wanita kesepian. Kadang habis sholat, cium2 tempat sujud, entah itu aku sadar atau enggak ngelakuinnya. Dan juga sudah tak terhitung berapa liter air mata yg berjatuhan selama aku berdoa (Bisa dijual dijadiin minuman : Es Air Mata Cinta Perawan nih yaa.)

Oh ya, aku juga sering banget ngelihatin foto Wa-nya. Aku sering terkena “waham”, berpikir bahwa dia juga lagi ngelihatin foto WA ku. Kalo dia udah ganti foto gitu, wuiih rasanya bahagia banget. Pengen bilang, “mas fotonya keren lho..” trus dgn sesegera mungkin aku juga ingin ganti foto WA yg paling bagus, biar kelihatan kalo kita kode2an.

Aku memaklumi sifat2nya yg kekanak2an, sok kayak musisi, sok gaul, sok petualang (apalagi petualang cinta, hedeeuh), dan sok pintar. Semacam : Kalo udah jatuh cinta, tahi kucing rasa coklat. “Iya sih, dia nyebelin, punya banyak kekurangan, trus kenapa? Yang penting kan aku suka sama dia.”

Selama terobsesi cinta sama dia, aku pernah beberapa kali minta petunjuk sama Tuhan. “Ya Tuhan, jika memang dia jodohku, tolong perlihatkan dia dalam mimpi.” Dan terbukti, aku pun beberapa kali ketemu dia dalam mimpi. Aku mimpi dateng ke rumahnya lah.. mimpi nembak dia pas lagi di Eropah..mimpi ketemu dia di jalan, mimpi dia di sana sini, ah sudahlah.. udah gak terhitung berapa kali aku mimpiin dia. Pernah juga aku sholat istikharah, habis itu aku tidur, dan dalam mimpi pun masih lihat dia. Karena seolah-olah aku merasa mendapat “petunjuk” dari Tuhan, aku pun pede aja kalo suatu saat dia bakal jadi jodohku. 

Hari2 penuh khayalan dan pengharapan masih terus berjalan, hingga pada suatu hari aku benar2 ditampar kenyataan. Seorang teman dekatku menanyakan sesuatu via WA. “Kamu udah tahu kabar terbaru tentang dia?.” “Emang apaan? Dia udah sebar undangan ya?,” tanyaku ketus. “Bukan dia yg sebar, tapi calonnya.” “Hah, apaaa????” Bener2 kayak disambar petir di pagi yg cerah. Ingin rasanya diri ini teriak dan menangis, tapi harus bisa menahan diri sekuat mungkin. “Aku kan lagi di tempat kerja, nanti aja lah nangisnya di kos.” Aku bekerja dengan dikelilingi anak-anak berkebutuhan khusus setiap harinya. Gara2 patah hati, aku pun jadi bisa melihat mereka dgn lebih dalam. Sbg langkah pertolongan pertama, aku berusaha menghubungi teman2 dekatku lewat WA, nyampah2 sekaligus minta dukungan moral, sehingga aku bisa sedikit “waras” di tempat kerja. 

Sesampainya di kos langsung deh. Huaaa... air mata yg dari tadi tertahan kini sudah tumpah. “Tuhan.. kenapa ini jawaban atas semua doaku? Bukankah Engkau selama ini sudah memberi petunjuk? Apa ada yg salah dgn petunjukMu? Apa ada yg salah dgn takdirMu?”

Semua sumpah serapah pun hadir. Perasaan tidak terima dgn takdir, merasa diri ini sudah banyak berkorban tapi tidak mendapat hasil apa2, merasa sebal karena telah dibohongi oleh laki2 bertopeng buaya, dll. Bingung, kecewa, marah, sedih, semuanya jadi satu. Dan seperti biasa, ketika agak stres berat, asam lambungku naik. Aku gak bisa makan banyak meski laper, cuma bisa masuk beberapa sendok. Malemnya, saat waktu tidur tiba, mataku masih betah melek meskipun sebenarnya ngantuk. Kedip2 sambil mbayangin bahwa peristiwa ini hanyalah mimpi. Nggak tahu mesti ngapain lagi selain nangis. “Biasanya malam gini aku mikirin kamu, pertama bangun yg kuingat cuma kamu. Sekarang aku mesti nginget siapa lagi,hiks..hiks..”

Masa2 menjelang dia menikah adalah saat2 yg berat bagiku. Tiap habis sholat maupun saat sendirian di kamar, aku selalu nangis kenceng. Aku bahkan pernah berdoa agak “jahat.” “Ya Tuhan, apa Kau yakin kalau mereka akan berjodoh? Yg bener? Apa mbak itu udah tahu jelek2nya masnya? Apa dia bakal betah ndampingin masnya? Kenapa nggak sama aku aja ya Allah. Aku kan udah bersabar banget nunggunya, udah terbukti setianya. Gagalkan saja ya Allah, gagalkan saja akadnya. Semoga keajaiban bisa terjadi sebelum akad. Ya Tuhan.. tapi bagaimanapun mas itu bener2 jahat. Dia ngasih perhatian kayak gitu ke para wanita? Dipikirnya wanita itu gak punya hati apa? Huuks...hukks... Tuhan, aku menyesal kenapa pernah menjadi korbannya. Kalo gitu ngapain aku doain dia tiap hari ya, kalo balesannya kayak gini. Dia beneran jahaat, nggak bisa ngerasain ketulusan hati wanita. Ya udah deh, kalo mereka mau berjodoh juga nggak papa. Biar aja nanti masnya ngerasain karma. Pokoknya aku gak terima.”

Namun, di sudut hati yg lain, ada diriku yg seolah2 sedang ngobrol dgn Tuhan. “Ima, Aku kan udah ngabulin doamu. Dulu kamu berusaha belajar ketulusan. Kamu belajar untuk tidak berfokus pada balasan orang yg kamu cintai. Kamu lebih takut dia sengsara dan menderita kan? Bagimu, tidak masalah dia bisa tersenyum bersama orang lain. Itu yg membuat kamu lebih tenang. Paling tidak, dia sudah bahagia dan tidak kesepian. Bukankah kamu pernah bilang pengen seperti matahari yg tulus mencintai bumi, seperti halnya seorang ibu yg melihat anak laki2nya tumbuh dewasa dan berusaha melepasnya dgn penuh kerelaan kan?.” Aku merasa Tuhan sedang berusaha menenangkan aku. Entahlah Tuhan, aku merasa malaikat dan setan sedang bertarung di dalam diriku, berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui aku. 

Apa benar hidup akan selalu begini? Apa benar cinta itu butuh perjuangan? Tapi perjuangan yg seperti apa? Ah... aku terus mencari...mencari... dan mencari.... Sepertinya jawaban itu masih terus bersembunyi.
Ya sudahlah..Mas Tuyul. Tidak usah kita bahas lagi siapa yg benar dan salah. Aku cuma pengen bilang sesuatu kok. Ini murni curahan hatiku saja. 

Aku tidak mempertanyakan ilmu yg kamu miliki, karena sudah terbukti keliling2 dunia membuatmu merasa punya banyak pengalaman. Aku juga tidak mempertanyakan imanmu, karena kamu berada di keluarga yg tampaknya relijius, punya banyak kitab, bahkan kamu sudah beberapa kali ke Tanah Suci. Aku juga tidak mempertanyakan parasmu, karena dengan sekali lirik, kamu berhasil membuat wanita2 bertekuk lutut padamu. 

Aku hanya mempertanyakan : Bagaimana akhlakmu, mengapa ilmu dan iman yg kamu miliki tidak mencerminkan kelakuanmu? Kamu bilang wanita makhluk yg seharusnya dihargai. Kamu bilang nggak mau pacaran karena itu haram. Lalu mengapa sikapmu seolah2 seperti orang yg tidak dibekali ilmu dan iman? Apakah lirikan, pandangan mata yg seolah malu2 sambil tersenyum itu kamu bilang menjaga diri? Berapa banyak wanita yg menjadi korban “menjaga diri”mu itu? Berapa banyak wanita yg kamu ajak ngobrol dengan perasaan lalu kamu tingggalkan dgn alasan “maaf saya hanya mencari istri, bukan pacar”? Orang awam pun tahu, bahwa untuk mencari pendamping hidup sesuai etika, kamu gak perlu tebar pesona ke mana2. Apakah dengan memberi perhatian pada banyak wanita, lalu membiarkan mereka menggantungkan harapan, itu semacam sebuah prestasi bagimu?

Ya, aku memang bukan wanita yg benar2 baik atau shalihah. Tapi aku sebagaimana wanita lainnya yg punya hati yg lembut, tentu merasa sakit dgn sikapmu yg “abu2” itu. Seharusnya aku bersyukur kamu tidak menjadi jodohku. Seharusnya aku bersyukur karena terlepas dari penderitaan masa depan. Mungkin aku tidak akan sekuat jodohmu sekarang, jika di masa depan kamu masih saja belum bertobat.

Tapi.. kenapa setelah hampir sebulan kamu melukai hatiku aku masih saja membicarakanmu ya? Apa ini tandanya aku masih menyimpan perasaan padamu? Sepertinya batas antara cinta dan benci memang tipis. Kamu tahu, di saat aku nangis marah2 sama kamu, di saat itu pula aku bisa dengan mudah membayangkan senyum kebahagiaanmu. Terkadang, aku cuma pengen bilang kangen pada angin (karena akan seperti tokoh wanita penggoda dalam sinetron jika aku nekat bilang ke suami orang). 

Apa aku sekarang ini sudah terlihat sebagai wanita bodoh karena hampir 6 tahun menunggumu? Ya..masih gak ada apa2nya dibanding Hachiko yg nungguin majikannya pulang sampai mati sih (aku sih dari dulu udah “mati” karena merindukanmu, eaa). Apa aku terlihat seperti wanita gila karena menulis note curhat sepanjang ini? Terserah apa katamu. Aku juga tidak berharap kamu atau siapapun mau membaca tulisan ini. Namun, jika suatu saat kamu tanpa sengaja membacanya, aku harap kamu mau introspeksi. Bukan untuk minta maaf padaku. Tapi minta maaflah kepada Tuhan karena kamu telah menyakiti makhlukNya. 

Dan bagaimana nasibku sekarang? Hahaa.... tentu saja aku masih mencoba untuk terus hidup. Ya alhamdulillahnya dulu saat aku galau merindukanmu aku tetap berjuang menyelesaikan tesis. Saat orang2 di sekitarmu “mengusir”ku, aku tetap berjuang mencari pekerjaan lagi. Kini aku sedang mensyukuri hari2ku yg bisa rawat jalan gratis di kantor. Saat gak bisa tidur dan gak bisa makan, aku tetap berusaha pergi ke kantor, lalu aku bertemu dengan pasien2 yg memiliki masalah yg mirip denganku (bedanya mereka lebih banyak ngomel2 dan bicara ngelantur). Meskipun masyarakat lain menganggap mereka “tidak waras”, bagiku mereka adalah guru terbaik yg mengajarkanku untuk tidak “lari dari kenyataan”, untuk terus meyakinkan diri bahwa akan sangat lucu jika ada psikolog yg sampai dirawat oleh teman2nya sendiri di kantor. 

Lalu kemana perginya doa2 terindah yg pernah aku ucapkan untukmu dulu? Apakah aku akan melanjutkan doa2ku lagi untukmu? Tentu saja tidak. Kamu toh sudah punya bidadari yg setia mendoakanmu (mungkin sih, aku kan juga gak tahu keseharian mbak itu, hehe). Apakah aku lebih baik bilang ke Semesta : Hei, aku mencabut semua doa2ku yg dulu karena sungguh dia bukan pria yg layak untuk kudoakan? Ah, ngapain. Yang sudah biarlah sudah... Tetap berpikir positif saja pada Semesta. Bukankah doa itu energi netral? Jika terbukti tidak bekerja pada orang yg didoakan, maka Semesta akan tetap menyimpannya untuk orang yg tepat kan? 

Tentang istikharah yg “salah alamat”? Hmm... ini akan menjadi bahan introspeksiku. Mungkin dulu aku terlalu maksa ya..jadi pas berdoa hatiku gak netral, semacam nyuruh Tuhan untuk : “Sudahlah, sama dia aja Tuhan. Tetapkan hatiku untuk milih dia aja.” Sungguh, ucapan doa yg egois. Jadinya, Tuhan pun ngasih petunjuknya “asal2an”. 

Menyesal pernah mencintaimu dengan sangat dalam? Ngg... antara iya dan tidak sih. Iya, karena aku merasa waktu yg terbuang udah cukup banyak. Enam tahun lho aku cuma mikirin satu orang. Sementara kamu, sehari aja bisa tebar pesona ke beberapa orang sekaligus (ya maaf, aku sudah membuktikannya sendiri saat ikut workshop bareng kamu :p). Tidak, karena sesungguhnya aku belajar sesuatu yg “agung”. Tentang makna kesetiaan, cinta tanpa syarat, kesabaran, dan keikhlasan. Mungkin ini tidak akan pernah aku pelajari jika tidak ketemu sama kamu. Jadi, aku berterima kasih sama Tuhan atas pelajaran yg gak ada teorinya ini. Sekali lagi, aku berterima kasih pada Tuhan, bukan sama kamu, karena kamu hanyalah perantara cerita Tuhan di dunia ini. 

Tentu bekal yg sangat berharga ini, berupa hati yg separuh hancur, akan menjadi modal istimewa untuk menemukan pasangan yg lebih baik di kemudian hari. Ya, aku sudah berjalan jauh untuk menemukan jodoh. Ketika bertemu dengan jalan buntu, berarti kini saatnya aku untuk berbelok arah, mencari jalan lain yang lebih jelas petunjuknya untuk mencapai tujuan. Jika saat ini aku berjalan dari kota A menuju kota D, episode patah hati ini telah membawaku berjalan hingga kota C. Aku hanya perlu melanjutkan beberapa langkah lagi karena jodoh sudah semakin dekat. 

“Maka tersenyumlah, Ima... pangeran tampanmu sudah menunggu uluran tanganmu di depan sana. Ayo sambutlah dengan senyuman yang terindah. Lupakan semua sakit hatimu pelan2 yaa... “

Buat mas heartbreaker, demikian tulisan ini aku buat. Semoga mampu menjadikan aku semakin ahli dalam urusan percintaan yg sebenarnya tidak butuh keahlian ini.