Kamis, 24 Januari 2013

Happy Birthday, Muhammad ^_^


Dear Muhammad. Kau pasti sangat tahu ini tanggal berapa. 12 Rabiul Awal. Ya, ini adalah hari kelahiranmu, sayang. 

Oh ya, apakah kau tahu aku ini siapa? Perkenalkan, aku Ima. Manusia yg hidup berabad-abad masa setelah kau wafat. Ya, aku hanyalah seseorang yg tidak pantas dikenal. Tidak seperti engkau yg begitu agung. Tidak seperti engkau yg begitu terpuji. Tidak seperti engkau yg begitu istimewa. Tidak seperti engkau, wahai Kekasih Tuhan.

Kita terpisah begitu jauh, dalam ruang dan waktu yg terbatas. Jauuuh sekali. Aku tidak tahu sekarang kau ada di mana. Apakah kau sedang bahagia dengan senyum abadimu? Apakah kau begitu damai dalam dekapan Tuhan? 

Jika itu yg engkau rasakan, fyuuh, sungguh, itu sesuatu yg membuatku iri. Kau tahu apa yg terjadi di dunia ini sekarang? Tampaknya aku tidak perlu lagi menanyakan ini padamu. Aku yakin, kau pasti melihat dengan sepenuh hati, bahwa manusia-manusia itu masih menyebut namamu. Ya, setidaknya itu yg aku amati dalam gerakan ibadah mereka, dalam sholat mereka. Apakah kau mendengar, manusia-manusia itu menyebutmu dalam syahadat? “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”

Ucapan yg begitu cantik kan? Kau tahu, Tuhan yg menghendaki demikian. Dia ingin engkau ada dalam setiap ibadah mereka, dalam setiap doa mereka. Agar manusia-manusia itu merasakan kedamaian. Agar manusia-manusia itu tidak hanya menganggap ibadah sebagai ritual untuk menyembah Tuhan. Oh, ya satu lagi. Dia tidak ingin manusia menganggap Tuhan sebagai Dzat yg tidak terjamah. 

Ah, kau pasti sudah pernah merasakan sendiri kan bagaimana rasanya dipeluk Tuhan? Jika ucapan syahadat tidak pernah ada, pasti hingga saat ini manusia akan terus mengira bahwa kedudukan Tuhan terlalu tinggi. Tuhan hanya ada di atas langit dan manusia ada di bumi. Tapii…. Kau yang menghilangkan semua batas itu. Kau mampu meyakinkan dunia bahwa Tuhan mampu berinteraksi dengan manusia. Kau mampu meyakinkan dunia bahwa kasih Tuhan tak terbatas. Kau mampu meyakinkan dunia bahwa Tuhan tidak mengenal perbedaan dalam setiap jiwa. 

Aku memang tidak pernah bertemu denganmu secara langsung. Aku hanya tahu tentangmu dari mereka, yg mengajarkanku tentang Islam. Aku hanya tahu kau dari buku-buku yang aku baca. Dan aku hanya tahu kau dari kitab suci yg (harus) aku baca sebagai penganut Islam. 

Aku tidak tahu, kenapa dulu aku memilih Islam sebagai agamaku. Aku hanya mengikuti apa yg dilakukan oleh lingkungan di sekitarku. Dan aku tidak perlu bertanya lagi apa alasannya, karena aku memang tidak butuh untuk mencari alasan. Aku hanya merasa…..saat itu Tuhan yg mendekapku dalam jiwa masa kecilku. Dia yg mendekapku untuk belajar Islam. Ya, aku beruntung karena Tuhan menuntunku dalam Islam, dan aku bangga atas itu. 

Dan lalu aku pun menyadari, bahwa Tuhan memiliki cara yg berbeda-beda untuk memeluk manusia. Aku melihat teman-temanku “dipeluk” Tuhan dengan cara yang lain, yang juga demikian indah. Teman-temanku dipeluk Tuhan untuk menyebut namaNya dengan cara berbeda. Tidak ada yg salah dengan itu. Mungkin teman-temanku tidak memiliki kesempatan untuk menyebut namamu dalam ibadah mereka, sebagaimana aku. Tapi aku tahu, mereka juga memiliki orang-orang suci, sebagaimana engkau. Hei, apakah kau sudah pernah bertemu dengan orang-orang suci lainnya yg mereka agungkan? Bagaimana kesan-kesanmu terhadap mereka? Hmm, aku dapat merasakan kedamaian itu, Muhammad. Aku yakin, kau pasti juga berteman baik dengan mereka yg tidak sepaham denganmu kan? Kau yg selalu mengajarkan kepada umatmu untuk menghargai yang lain, dalam keyakinan apapun, dalam pendapat apapun, dalam prinsip hidup apapun. 

Kau telah berusaha sangat keras, Muhammad. Kau berjuang seumur hidupmu demi kesatuan umatmu. Demi cinta kasih yang tidak terbatas. Hmm, kalau aku hidup di zamanmu, aku tidak yakin apakah aku mampu bertahan. Aku tidak yakin apakah aku berani untuk melangkah di sampingmu. Aku tidak yakin apakah aku sanggup menerima semua hujatan yang ditujukan padamu. Aku tidak yakin apakah aku sanggup menerima semua luka yang dilemparkan oleh orang-orang yg membencimu. Ya, mungkin saat itu aku akan memilih untuk bunuh diri saja. 

Muhammad, aku tahu apa yg kau perjuangkan begituuu beraat. Aku tahu pasti sudah tak terhitung air mata, keringat, dan sakit yg kau rasakan. Kau sebenarnya berhak untuk marah, kau berhak untuk menyerang balik siapa pun yg menyerangmu. Tapi ternyata tidaak… Ternyata tidak….. Sebuah keputusan yg mencengangkan. Kau memilih untuk pergi, meninggalkan semua benci, dan menyendiri. Untuk mengenal Tuhan secara penuh, untuk berdialog dengannya tanpa jarak. Ya, di Gua Hira, tempat dimana cintamu terhadap Tuhan bersemi dengan begitu indah. 

Mungkin saat itu orang-orang menganggapmu gila. Mereka menganggapmu tidak waras karena kau menyampaikan keberadaan Tuhan. Tapi kau tetap percaya diri dalam diammu. Kau begitu yakin bahwa Tuhan adalah kekuatan terbesarmu. Dan kau rela, menjauhkan diri dari semua kebahagiaan dunia. 

Kau telah sangat sabar menanti. Mungkin saat itu hatimu sendiri bertanya,”Muhammad, apa yg kau cari dari perenungan ini? Apa yg akan kau peroleh dengan keteguhan untuk bersama Tuhan?” Mungkin saat itu ada bisikan untuk goyah, untuk berhenti dari keterasingan dan bersikap “normal” saja sebagaimana manusia lainnya. 

Tapi ternyata tidak..Ternyata tidak…. Kau memilih untuk terus bersama Tuhan, kau terus memilih untuk tenggelam dalam lautan cintaNya. Dan penantianmu berbuah manis, sayang. Kau masih ingat kan, saat utusan Tuhan benar-benar datang di hadapanmu dan menyampaikan surat cintaNya untukmu? Yuk, mari kita baca bersama,”Iqra bismirabbikalladzi khalaq”…….. “Bacalah dengan (menyebut) nama  TuhanMu yang menciptakan.”

Muhammad, aku turut merasakan, betapa surat dariNya begitu agung. Aku yg tidak hadir menyaksikan langsung kejadian itu saja bergetar. Apalagi engkau, dear…… Apalagi engkau……  Seharusnya kau bangga mendengar surat itu. Seharusnya kau berhak sombong karena penantianmu akhirnya benar-benar terbukti. Seharusnya kau berkata,”Tuh kan. Dasar orang-orang, dibilangin nggak percaya. Tuhan itu bener-bener ada. Nih lho, aku mendengar langsung Dia berbicara. Kalian harus tahu siapa aku, satu-satunya orang yang pernah diajak Tuhan berbicara.”

Tapi ternyata tidak….Ternyata tidak….Kau malah dengan kerendahhatian yg begitu besar berkata,“Aku bukanlah orang yang pandai membaca!.“ Kau bahkan sempat menghindar, tidak percaya bahwa kau adalah orang yang dipilih Tuhan untuk menjalankan misi agung. Kau bahkan sempat mengelak, merasa bodoh, dan merasa tidak percaya diri untuk menjadi wakil Tuhan di dunia. 

Padahal di mataku kau sangat pantas, dear. Sangat pantas untuk mendapat semua keagunganNya. Kau adalah manusia luar biasa….  Sungguh, aku tak pernah mengira bahwa  orang seistimewa dirimu ternyata bisa merasa tidak percaya diri. Ya, sekarang aku paham. Siapakah orang  yg tidak merasa takut dengan perjumpaan sejatinya dengan Tuhan? Kau pun pasti juga demikian ketika itu. Ketika ucapan “Allahu Akbar” bukan sekedar ucapan. Tapi “Allahu Akbar” adalah nyata, karena kau benar-benar menyaksikan sendiri “kebesaran” Tuhan. Bahkan utusan Tuhan itu, yg aku dengar bernama Jibril, harus meyakinkanmu sebanyak tiga kali, agar kau mau mengikutinya membaca surat Tuhan secara lengkap. 

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam (menulis, membaca). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. ~(Al-Alaq (96): 1-5)~

Ya, kau berhasil Muhammad. Kau berhasil mengucapkannya dengan lengkap. Kau berhasil melawan semua rasa takutmu. Kau berhasil membuktikan kepada semesta bahwa kau adalah pembawa pesan Tuhan. Kau berhasil mengatasi ketakutanmu, karena kau peduli dengan umat, karena kau peduli dengan kesejahteraan mereka, karena kau ingin membawa mereka pada kondisi yang lebih baik. Karena kau ingin mendedikasikan hidupmu untuk semesta. Karena kau ingin manusia menemukan cinta hakikinya: Tuhan. 

Dan langkah awal ini kemudian membawamu pada langkah besar lainnya. Sudah tak terhitung, Muhammad, berapa banyak kisah-kisahmu diabadikan, berapa banyak tindakanmu dibicarakan orang, berapa banyak perkataanmu dikutip dalam tulisan. Sudah tak terhitung, Muhammad, berapa orang yang mengagumimu, berapa orang yg menjadikanmu sebagai teladan menuju perbaikan, berapa orang yg menjadikanmu motivator di kala jatuh. 

Karena cintamu begitu tulus, karena kau selalu memberi bagian yg “sama” pada setiap manusia.

Dear Muhammad, lalu siapakah orang yg kemudian tidak mencintaimu, jika kau begitu indah?

Sekali lagi, selamat ulang tahun yaa! Semoga jiwamu akan senantiasa hidup dalam hati manusia, dalam generasi manapun, dalam wilayah manapun. Amien. Allahuma sholli ala sayyidina Muhammad ^^




Rabu, 23 Januari 2013

Tentang Melepas Kemelekatan


Ini ceritanya adalah saya lagi meditasi. Ya, saya & teman-teman lagi meditasi di Dix*e, hehe….. Meditasi yg menyenangkan bukan? Siapa bilang meditasi harus di kuburan, gua, hutan, atau tempat sepi lainnya?

Jadi, kenapa malam ini saya memutuskan meditasi? Banyak alasannya, teman-teman. Salah satunya adalah karena saya merasa ditampar Semesta pagi ini, huhuhuhu, hiks..hiks…hiks….

Yak, saya merasa ditampar, merasa diserang akan sebuah kenyataan. Merasaa, lagi-lagi pengen menghilang dari kenyataan. Hey, bahkan tadi pagi saya sempat terlontar begini,”Tuhan, saya ingin mati aja. Enak kali ya hilang dari dunia ini? Saya tidak sanggup, Tuhan. Huks…huks…” Mungkin emang gini ya yg dirasakan oleh orang-orang depresi, merasa tidak sanggup melihat dunia karena menganggap bahwa itu adalah hal yg menyakitkan. 

Oke, saya berikan kesempatan pada diri untuk menangis. Sebenarnya sangat mudah bagi saya untuk berkata,”Sabar, ini hanya ujian yg sangat kecil. Kamu kan sudah terbiasa bermeditasi, berfilosofi, berkontemplasi…. Bukankah ini sangat mudah. Kamu hanya tinggal berkata, ‘Semuanya adalah fana. Apa yg dikhawatirkan dari rasa sedih & takut? Itu hanya sesuatu yg membuatmu jatuh di dunia. Sudahlah, berdoa saja pada Tuhan. Berlindunglah hanya pada Tuhan, jangan terpaku pada makhluk-makhluk yg mengancam.”

Bisa sih, tapi saat itu saya sedang ingin menunjukkan eksistensi saya sebagai manusia biasa. Sebagai manusia yg juga pernah terluka. Saya memaki diri saya sendiri, memaki orang lain, memaki situasi, & memaki apapun yg bisa dimaki. Dan aaaah, menyenangkan sekali bisa menangis lepas. Oke Ima, keluarkan….keluarkkkan semuanya. Fyuuh, yak tarik napas. Cukup. Waktunya kembali ke kenyataan. 

Kamu masih bisa mengingat Tuhan kan, Ma? Masih bisa berbicara dengan Tuhan? Oke, hadirkan Tuhan dalam dirimu sekarang ya. Lirih, lembut… dan saya pun mendengar Dia berbicara. Saya benar-benar merasa Tuhan ada di kamar saya. Memeluk saya, tidak beranjak pergi dan menyediakan diriNya secara penuh untuk mendengarkan semua keluhan saya. Saya sempat merasa kecil, keciil sekali. Merasa tidak berarti. Merasa saya tidak pantas menjadi apa-apa. Hingga kemudian Dia datang,”Hai Ima…. Jangan pernah merasa kecil. Kamu yakin kan bahwa Aku berada dalam dirimu? Kamu seharusnya juga yakin bahwa apa yg kamu lakukan bukanlah main-main. Kamu bisa berpikir dengan sangat matang, kamu cukup dewasa, kamu cukup bijak untuk mampu menyadari semua ini. Kamu cukup kuat untuk menghadapi kenyataan. Jadi, jangan pernah sepelekan Aku ya, jangan sepelekan Aku yg berada dalam dirimu. Biarkan Aku melakukan proses terhadap apa yg menjadi tanggungjawabKu. Aku sudah merencanakannya dengan sangat matang.”

Saya sangat termotivasi dengan kata-kata itu. Perlahan saya pun merasa “membesar.” Benar sekali Tuhan. Semua rencanamu adalah benar. Saya sempat merasa sangat kecil dan bodoh. Tapi satu hal yg menjadi sumber kekuatan saya, ketika saya berhasil menemukanMu. Sedikit saja saya lengah & tidak mampu mempertahankan kondisi “terjaga,”maka saya benar-benar akan tersesat dan tidak tahu ke mana harus melangkah. 

Dan saya pun merenung, mengatasnamakan itu sebagai meditasi sih. Saya terdiam, mencoba untuk “terbang”, melepaskan diri dari kemelekatan hidup. Saya memang belum ahli. Mungkin para biksu atau pendeta sudah sangat paham dengan hal ini. Tapi bagaimanapun Tuhan adalah milik semua orang. Maka menjadi dekat denganNya dan bisa melepaskan diri adalah hak semua orang juga. 

Melepaskan diri itu bagi saya….. adalah sebuah konsep untuk melepaskan semua atribut sebagai manusia. Saya masih belajar, tapi tadi saya sempat berhasil lho, cuma beberapa menit sih. Rasanya luar biasa damai. Saya tahu suatu saat nanti pun saya akan mati, itu adalah bukti konkrit bahwa kemelekatan adalah fana. Bagaimanapun kemelekatan ini harus dilepaskan. Saya sungguh berharap, ketika mati nanti saya benar-benar dalam kondisi “lepas”.  Saya sudah benar-benar tidak berpikir lagi, setelah ini saya akan ke surga atau neraka, setelah ini saya akan dianggap sebagai orang baik atau tidak. Saya ingin di hati saya hanya ada Tuhan. Hanya memikirkan bagaimana proses penyatuan denganNya akan semakin nyata. Saya tidak ingin terikat dalam belenggu kisah-kisah semasa hidup saya yang memberatkan. 

Hmmm, pasti akan damai sekali ya pertemuan saya denganNya. Sungguh saya ingin mempersembahkan kondisi terbaik saya untukNya nanti. Maka sejak sekarang pun saya ingin belajar untuk bisa melepaskan diri. Melepaskan diri dari orang-orang tersayang, dari semua harapan dan kesuksesan, dari semua luka & kesedihan….. Ya, bukankah kebahagiaan & kesedihan hanya bersifat pinjaman? Tidak permanen dan tidak mampu diawetkan. 

Pandai sekali Tuhan menciptakan kehidupan ini begitu singkat ya? Hingga kemudian manusia pun terpacu untuk memaknainya dengan mendalam. Demikian pula dengan saya. Menyadari bahwa hidup ini begitu singkat membuat saya merasa “wajib” untuk memaknainya. Adapun pemaknaan yg saya lakukan saat ini masih bersifat parsial. Saya merasa mampu menemukan kekuatan dan keberanian ketika menulis. Menyendiri di dalam kamar adalah saat-saat di mana saya merasa mendapat porsi penuh untuk berbicara dengan diri dan Tuhan. Namun dalam kehidupan nyata, saya merasa tidak percaya diri untuk melakukannya. Saya seperti tidak punya muka untuk menjadi filosofis. Saya seperti merasa…”Tuhan, tanggung jawab untuk menyampaikan pemaknaan pada orang lain itu terlalu berat. Bagaimana kalau nanti saya dicecar? Bagaimana kalau mereka menyerangku dengan ribuan pertanyaan? Bagaimana jika saya tidak bisa menemukan insight secara cepat untuk membawa mereka kembali pada pemaknaan yang ‘benar’?” 

Pemaknaan yg “benar”? Heei, tampaknya ada yg salah dengan konsep “benar.” Kebenaran macam apa yg kau takutkan Ima? Kau hanya takut untuk menjadi berbeda kan? Kau hanya takut ketika identitas aslimu sebagai kaum “penentang” diketahui orang lain kan?  Kamu hanya mau bersembunyi dalam zona nyaman kan? Ketika semua orang menganggapmu sebagai orang normatif, kompromis, dan itulah yang membuatmu takut untuk bersuara. Kamu hanya merasa dunia akan baik-baik saja ketika kamu tersenyum pada semua orang dan mereka pun tersenyum padamu kan?

Apa kamu nggak kasihan Ima, ketika kamu terus memaksa “kekuatan” dalam dirimu untuk bersembunyi? Kehilangan haknya untuk menyampaikan apa yg seharusnya ingin dia sampaikan? Apakah tidak cukup waktu untuk menyadari bahwa sesungguhnya kamu ini “istimewa”? Apakah tidak cukup note-note yg kamu tulis selama ini membuatmu “terbangun”? Apakah tidak cukup bisikan-bisikan dalam dirimu ini membuatmu berani bergerak? 

Yah, hari ini saya takut. Hari ini saya takut ketika saya mulai tahu bahwa orang lain telah menyadari keberadaan diri saya “yang lain.” Saya takut dengan diri saya sendiri. Saya takut ketika menyadari bahwa keberanian saya sudah mulai muncul, bahwa keberanian saya untuk menjadi diri sendiri sudah terpancar. 

Mengherankan memang, saya takut dengan keberanian yg saya miliki? Whaat?? Ternyata menyapa keberanian diri saya itu bukan hal yg mudah ya? Menyapa dia untuk sekedar berkata,”Hai  keberanian, selamat datang! Selamat melakukan peranmu untuk menjadi jalan bagiNya dalam membuat orang lain menemukan proses hidup. Hai, keberanian! Teruslah berjalan untuk menjadi saksi, bahwa tangan Tuhan benar-benar bergerak. Hai, keberanian! Kau tidak perlu merisaukan yg kau lakukan ini benar atau salah, pandai atau bodoh, bijak atau ceroboh. Bukankah kau telah belajar untuk melepas kemelekatan? Ya, itu adalah pelajaran yg sudah kau kemas dengan sangat cantik. Dalam pelepasan diri tidak ada lagi judgement, tidak ada lagi justification. Dalam pelepasan hanya ada kebebasan. Dalam pelepasan hanya ada Tuhan. Kau tidak perlu lagi berpikir atau mengkhawatirkan sesuatu.

Lalu, adakah yg salah dengan mengingat Tuhan? Ketika semua orang menghujatmu dan kau masih bisa mengingat Tuhan, bukankah itu hebat? Ketika kau benar-benar menyadari bahwa dalam hujatan mereka pun Tuhan masih sanggup “hidup”, apakah kau akan menjadi lemah dalam menghadapi mereka? 

Kau tahu Ima, tokoh2 yg selama ini kau kagumi: Mahatma Gandhi, Muhammad, Mother Theresa, Buddha, Jalaluddin Rumi, Carl Jung, Victor Frankl, bukanlah orang-orang yg tidak pernah berkonflik. Mereka berpendapat, mereka menulis, itu karena mereka mampu melakukan pemaknaan mendalam atas apa yg mereka hadapi. Kau tahu mengapa hingga kini pendapat-pendapat mereka masih sanggup membuat banyak orang termotivasi meskipun mereka tidak hadir lagi secara fisik di dunia? Itu karena mereka menyadari bahwa pemaknaan hidup adalah harta paling berharga yg bisa mereka wariskan untuk dunia dan generasi selanjutnya. Karena mereka sadar bahwa mereka tidak hanya hidup untuk kebahagiaan mereka sendiri. Karena mereka menyadari bahwa surga adalah milik bersama. Karena mereka menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali Tuhan. 

Lalu apa yang harus dipermasalahkan dengan konflik? Jika konflik adalah sebuah sekolah untuk menjadikan kita semakin bermakna, apakah konflik harus dilihat dari segi benar dan salah? Bagaimana jika benar dan salah itu hanya konsep yang dibuat manusia untuk membuatnya tenang? Ketika dia merasa benar, maka membawa seseorang pada posisi salah adalah kemenangannya. Saya tidak tahu apakah Tuhan sungguh-sungguh memperhatikan kebenaran dan kesalahan sebagai alat untuk membuatnya kinerjanya diakui manusia? Saya tidak tahu apakah manusia menjadi bahagia sepenuhnya ketika menganggap kebenaran adalah senjatanya untuk masuk surga? 

Saya sungguh tidak tahu dan saya sungguh tidak berkeinginan untuk tahu. Mungkin saat ini saya (beserta himpunan makhluk bernama manusia lainnya) masih sering terjebak dalam standar-standar yang kita buat sendiri. Kita masih sering berbangga, ketika kita dianggap satu jalur dengan standar itu. Dan lalu mengabaikan yang lain, mengabaikan bahwa dalam keinginan mereka untuk keluar dari standar tersimpan makna kebebasan yang luar biasa agung. Kita terlalu takut untuk keluar dari standar, sejenak berpikir tanpa “pegangan.” Kita takut tidak akan bisa selamat tanpa standar. Yaa, kita (lebih tepatnya saya) masih sering berpikir seribu kali sebelum memulai kebebasan. 

Kebebasan itu sejatinya adalah milik setiap unsur semesta. Tapi bukankah alam semesta diciptakan dengan penuh keteraturan? Lalu apa yg dimaksud kebebasan? Apakah ada kebebasan dalam keterikatan? Dan semesta pun menjawab, dengan keyakinannya yang tak terhingga: Dalam rahasia malam, dalam rahasia siang, di situlah kebebasan bersemayam. Ketika kau hanya menyadari siang adalah waktu bagi matahari untuk bekerja dan malam adalah waktu bagi bulan untuk berjaga, maka kau hanya hidup dalam duniamu. Kau tahu untuk apa hujan diciptakan? Untuk mengingatkanmu bahwa air bisa bekerja dalam semua kondisi, dalam panasnya siang maupun dalam pekatnya malam. Itulah bukti bahwa semesta benar-benar bebas. 

Sekian note dari saya, semoga kita senantiasa menjadi golongan yang “bangun” dan “membangun”


Salam hormat                                                                                                                                                                              



Ima

Atas nama kegalauan hari ini dan berbagai hal yg telah sudi menginspirasi

Kamis, 10 Januari 2013

Happy Birthday to Us



Hmm, ini hari apa yaa? Ini hari kamis, ihihi…… ehm. Sejatinya ini adalah tanggal yg sama dengan yg tertera di akte kelahiran saya. Kata orang-orang sih kejadian semacam ini lazim disebut dengan ulang tahun. Ngg..jadi ya anggap saja saya ulang tahun.

Iiih aneh sebenernya. Ini adalah pertama kalinya saya mem-publish hari ulang tahun saya di muka umum sejak saya bikin facebook dari 4 tahun lalu. Alasan saya sih nggak mau ribet. Biasa kan, orang ultah tuh pasti diselamatin banyak orang, trus ditodong dimintain traktiran. Apalagi kalo di facebook, aw…aw… pasti pada antri nge-wall. Itu kalo artis ato orang terkenal yg ultah sih. Tapi kalo sayaa, ada yg mau ngucapin sih sudah syukur alhamdulillah banget yaa, masih ada yg mau mengakui saya sebagai manusia, huhu.. (#lebay)

Well, kali ini saya ingin ber-eksperimen. Saya ingin merasakan “sensasi” yg berbeda. Siapa tahu ini hari ulang tahun terakhir saya. Pengen memberikan sesuatu yg berkesan buat diri saya sendiri. Bukan biar diselamatin banyak orang, bukaan. Melainkan pengen memberikan diri sendiri sebuah momen, agar dia lebih dapat mensyukuri sesuatu. Ya bersyukur sih emang bisa setiap hari. Tapi kalo ada momennya tetep aja rasanya beda. Itulah sebabnya kenapa nenek moyang kita dulu susah-susah bikin kalender, susah-susah ngamatin matahari, susah-susah masukin pasir ke botol buat dibolak-balik? Itu semua sebagai penunjuk waktu, temans. Coba kalo segala hal yg terjadi di dunia ini gak pernah diamati dan dicatat dalam sebuah penghitungan waktu, maka kehidupan kita akan benar-benar seperti air yg mengalir dengan santai. Nggak ada deadline tugas, nggak ada deadline kerjaan, ngerjain apapun bisa seenak hati. Nah yg susah kalo mau janjian sama orang tuh. Karena gak ada jam, orang pertama mengusulkan ketemuan pas matahari terletak di atas kepala. Eh di tempat orang kedua ternyata lagi mendung, gak kelihatan mataharinya deh. Akhirnya kedua orang itu pun tidak saling bertemu hingga akhir hayat. Padahal pertemuan mereka sebenarnya untuk menyatakan perasaan cinta, hiks..hiks….  Lho kok jadi film tragis begini? 

Terbukti kan bahwa kehadiran momen atau waktu itu begitu penting. Bukan sekedar untuk dirayakan, tetapi untuk memudahkan kerja otak kita. Kalo ada tanggal-tanggal kan enak tuh, kita tinggal menyebut sebuah angka untuk menandai peristiwa tertentu. Coba kalo misalkan ditanya, “Kamu lahirnya pas kapan?” Trus dijawab,”Ooh itu, pas hujan-hujan di suatu sore, zaman-zaman lagu Koes Plus masih terkenal.” Zziing…nggak sistematis banget kan? Gimana coba nulisnya di KTP kalo keterangannya panjang begitu?  

Udah ya ngomongin jamnya. Sekarang kita ngomongin yang lain yuk, ngomongin cowok #ditabokmassa. Hoho, ya udah deh ganti deh, karena ceritanya saya lagi ulang tahun, maka saya mau ngasih kado yg agak elegan lah buat diri saya sendiri. Nih, Ima. Saya bikinin kamu note ya! 

Yeaah, kali ini temanya tentang birthday ^^. Hoi….hoi…. anda semua yg lagi baca note ini. Ni pada nyadar nggak sih kalau anda semua nih sekarang juga lagi ultah? Laah kok bisa? Aah.. Ngaco nih Ima.

Hoi…hoi… dibilangin kok. Kemaren kan udah sempet “mati suri” tuh. Inget nggak? Kemaren malem, pas lagi berbaring di atas kasur. Hoho.. Tuh kan, dunia nggak kelihatan berwarna-warni. Yg tampak hanyalah hitam dan hening. Kalaupun ada yg merasa bertemu cowok cakep dalam kegelapan dan keheningan itu, percayalah, itu semua hanyalah ilusi, hehe….. 

Lalu..lalu….beberapa jam kemudian perlahan mata pun mulai terbuka. Kriyipp…kriyiip…. Huahem, sambil menggeliat. 

Uwaaa……selamaat yaaa! Anda terpilih sebagai manusia yg berhak hidup hari ini. Bukankah itu mengagumkan? ^^ Dari berjuta makhluk yg ada di dunia ini, anda termasuk salah satu yg diberi kesempatan hidup lho. Sementara itu berjuta makhluk lainnya seperti ayam, bebek, kambing, sapi, ikan lele, ikan gurameh, dll udah banyak yg pada mati lho karena kekejaman nafsu lapar manusia. Sementara anda wooo…. Anda masih bisa bersantai dengan enaknya. Nonton tivi, fesbukan, ngopi2, nglamun2, ngetik2, sms-an, bbm-an. Percaya deh, itu adalah hal yg tidak mungkin dilakukan oleh makhluk-makhluk mati yg saya sebutkan tadi (ya iyalah Ma, sejak kapan hewan-hewan itu bisa melakukan aktivitas sebagaimana manusia. Blo’on banget ngasih contohnya). 

Okelah seriusan dikit. Temen-temen udah berapa lama tinggal di dunia ini? Pernah menjumpai peristiwa kematian kan? Kematian saudara, kakek, nenek, om, tante, tetangga, teman, dll. Huumm, gimana rasanya ketika melihat orang yang kita kasihi pergi mendahului kita? Pasti sedihlah…. Kalo boleh protes sama Tuhan, kok Tuhan tega sih menjemput mereka meninggalkan kita ya? Padahal masih banyak lho peristiwa manis yang ingin kita rajut bersama, tapi di saat semuanya belum terwujud dengan sempurna eh kita pun harus rela berpisah dengannya dalam jarak & waktu yg tidak dapat didefinisikan.

Setelah peristiwa itu terjadi, kita mungkin akan bertanya-tanya, “Gimana ya rasanya meninggalkan dunia? Apakah mereka yg ada di alam sana baik-baik saja? Trus kapankah tiba giliran saya menyusul mereka? Hmm, kalo harus mati sekarang-sekarang ini saya belum siap, Tuhan. Tapi..tapi..waktu terus berjalan. Hitungan detik….hitungan tahun…..Hmm, bagaimana ini?”

Anda pernah takut mati? Saya juga.. Anda pernah takut semakin tua? Saya juga..  Anda pernah takut meninggalkan mimpi-mimpi yang belum terwujud? Saya juga… Huaaa…. Pokoknya kalo masalah bingung, cemas, dan takut, saya sering banget laah. 

Mmm…tapi my Lovely God selalu bilang gini pada saya ketika saya takut,”Hai, girl. Apa yg kamu takutkan dari kematian? Takut wajahmu menjadi jelek ketika dipocong dan dikubur? Hoho…. Ngapain takut? Emang itu wajah kamu? Emang itu tubuh kamu? Itu tubuh milik Saya, Ima. Kamu kan cuma pinjem, sebagai alat buat menggerakkan diri kamu. Tau nggak, kamu itu sebenernya siapa, Im? Kamu adalah seberkas cahaya yang tercipta dari rasa cinta Saya. Sebelum diturunkan di dunia, kamu adalah cahaya. Saat berada di dunia, kamu adalah cahaya. Dan saat meninggalkan dunia, kamu adalah tetap cahaya. Tidak ada yg berubah dari diri kamu.” 

Oooh, gitu ya God. Berarti dengan kata lain cahaya itu bersifat abadi dong? Sebagaimana diriMu yang senantiasa abadi?

“Yyyyaa…. Betul sekali,Ima. You belong to Me, I belong to you…. Kayak lirik lagu-lagu romantis itu. Pasti dulu kamu pikir dunia dan akhirat itu jaraknya sangat jauh yaa? Siapa yg bilang? Kamu tahu Im, betapa Saya sangat luas dan tidak terbatas. Cinta saya ada di dunia dan akhirat. Saya menguasai setiap jiwa yang “hidup” dan yang “mati”. Percayalah, Saya tidak pernah menjadi pemisah, karena saya adalah penghubung dari setiap rasa cinta. “

Waawwwww…… Langsung meleleh, tersepona dengan perkataan Tuhan. Tidak tahu lagi harus ngomong apaa… “Sumpaah deeehhh…. You rock, God! ^^

Hehe, yang baca note ini, jangan anggap saya gila ya! Perkenalkan hobi unik saya: Ngobrol sendiri dengan Tuhan. Bagi beberapa orang, mungkin ini hobi yang aneh ya? Ngobrol sendiri, dijawab sendiri. Ibadah macam apa tuh? Ibadah itu ya sholat, baca Quran, sedekah… Ibadah kok bikin note? 

Dudududu…. *kabur dari jamaah pengajian. 

Whatever you say lah, teman. Yg penting ini adalah hobi saya, yg bisa bikin saya happy, meski banyak tugas dan urusan yg belum beres, hoho.. Ngobrol dengan Tuhan tu bikin ringan lho. Kayak terbang tinggi, tinggiiiii sekali. Nggak ada lagi beban-beban yg “mencekik”. Apalagi kalo pas berhadapan dengan hal-hal yg “mencekik” pikiran dan hati. Aaaah.. rasanya pengen langsung come to God, come to God. Pengen segera berteduh ke rumahNya, nge-teh, dengerin musik, sambil berbagi cerita lucu denganNya. 

Nah, balik lagi ke kisah tentang kelahiran dan kematian. Ini berkaitan dengan waktu. Rasanya cepeet banget ya waktu berjalan. Eh, tau-tau aja udah umur segini. Kemaren-kemaren saya ngapain aja ya? Udah ngelakuin apa aja ya buat kemajuan hidup saya sekarang? Emang sih saat ini saya belum jadi orang yang baik atau sukses banget. Tapi pasti ada lah kemajuannya dikit-dikit yang patut disyukuri. 

Yuk coba teman-teman kita amati, flash back yuk ke masa kecil. Iih lucu ya pas kita kecil dulu, imut banget. Waktu itu kita (lebih tepatnya saya) masih suka nangisan. Gak ada sebab akibatnya tiba-tiba aja pengen nangis. Biasa, cari perhatian orang lain. Kan enak tuh, kalo nangisan biasanya orang-orang pada nanya,”Hai Dik Ima, kamu pengen apa?” Hihihi…

Amati masa kecil, masa pra remaja, masa remaja, masa dewasa awal, dan seterusnya sampe kondisi sekarang (kira-kira kalo tampang saya ini pantesnya remaja atau dewasa awal ya? :D). Amati masa TK, masa SD, masa SMP, masa SMA, masa kuliah, masa kerja, dll (kalo saya mengamati masa perpanjangan kuliah aja). Hmm, menarik sekali ya mengamati tubuh yang terus berkembang. Mulai dari kecil, meninggi, dan terus meninggi hingga mentok nggak tinggi-tinggi lagi. Ternyata kita memang berkembang teman, tubuh kita berkembang. Lalu bagaimana dengan cara berpikir kita? 

Saya yakin teman-teman pasti sekarang dapat berpikir dengan lebih dewasa dan matang, dibandingkan sepuluh tahun lalu, dibandingkan lagi dua puluh tahun lalu… Cara berpikir orang “tua” dong ya? Nggak boleh kekanak-kanak-an lagi? Eeeh, siapa bilang? Usia boleh bertambah, tapi sebenarnya ketika kita hidup (lagi) pada hari ini, kita memiliki usia baru lho. Hari ini, pada detik ini, ketika teman-teman masih bernafas, itu tandanya masih terlahir kembali. Nah, jadi posisinya “sama” nih antara teman-teman dengan anak usia 5 tahun, dengan remaja 17 tahun, dengan ibu-ibu 70 tahun. Karena pada detik ini, kita sama-sama diberi kesempatan untuk belajar. Yang usianya lebih muda atau lebih tua dari kita mempelajari sesuatu dari kita dan kita pun belajar balik pada mereka. 

Begitulah kehidupan…everyday is our birthday. Menyenangkan sekali bukan? Ulang tahun identik dengan kue ultah, lilin, dan orang-orang yang mengucapkan selamat. Ya, tentu saja kita bisa menciptakan suasana itu di mana pun kita berada. Kue ultah? Itu adalah setiap makanan yg masih bisa kita nikmati setiap hari. Lilin? Itu adalah matahari yg masih bersinar mengiringi langkah kita. Orang-orang yg mengucapkan selamat? Mereka adalah setiap orang yang kita temui di jalan, teman-teman yang berinteraksi dengan kita….Yah, pokoknya asal liat orang, anggap saja mereka berniat mengucapkan selamat pada kita, hehe. 

Trus kalo udah mati gimana dong? Apa masih ada yg akan mengucapkan selamat pada kita? Tenang aja, malaikat di alam sana baik-baik kok. Mereka pasti menyambut kita dengan senyuman yang manis, jadi nikmati saja party dari mereka. Kalo masih takut dengan mereka, panggil nama Tuhan 3 kali. Tuhan pasti akan datang memelukmu dengan kasih. #imajinasi liberal saya emang luar biasa bikin ngaco :D

Oke teman, selamat ulang tahun. Selamat menikmati hadiah terbaik yang diberikan Tuhan dalam setiap detik ini yaa! :)


Sincerely,



Ima

10 Januari 2013
  Di suatu detik,
dalam perenungan di sela-sela mengejar mimpi

Jumat, 04 Januari 2013

Behind the Wedding Wishes


Ihirr… Nih tema note saya bagus banget nih. Buat yg lagi galau dengan pasangan hidup =>nunjuk diri sendiri (eeh…). Baiklah. So, what do you think about wedding? Mari kita berbagi pendapat di sini ya, seraya berbagi kegalauan, haha…

Hmm, menikah ya? Ngg, nggak tau sih. Sampe sekarang pun saya masih suka berpikir bahwa “menikah” itu adalah bahasa planet lain. Semacam sesuatu yg masih out of my reach. Mungkin karena belum ada calon yg tepat juga ya? (haduuh, jujur banget sih saya. Jujur banget kalo belum laku maksudnya #plaak).

Saat-saat saya pulang ke rumah adalah saat-saat yang membuat kegalauan saya bertambah. Ibu saya sering menyindir secara halus, “Jadi apa yg kamu lakukan kalau malam mingguan, Ma? Nongkrong di kafe seorang diri?” Atau…. “Ma, dua tahun lagi ya! Pokoknya sebelum Ibu naik haji.”

Dududu….. Saya hanya bisa tersenyum simpul. “Iya mama, amien. Doain ya!”. Paling-paling itu yang bisa saya ucapkan. 

Iya sih, saya agak terganggu dengan sindiran2 itu. Tapi sepertinya saya memang perlu untuk disindir, biar lebih peka dengan perasaan orang tua. 

Back to zaman saya masih SD nih. Dulu kayaknya gampang aja ya ngomongin mau menikah kapan sama temen-temen sebaya. “Aku mau menikah sebelum umur 23,” kata temanku yg waktu itu kelihatan paling cantik & dewasa dibanding temen2ku yang lain. “Aku berapa ya? 25 aja deh, biar sama kayak ibukku,” jawab saya kala itu.

Ya, ibu saya dulu menikah pada umur 25, usia yg sebenarnya udah cukup telat bagi perempuan di zamannya. Saya dan ibu saya sering curhat-curhatan sejak SD. Bahkan ketika SD saya sudah punya pikiran begini,”Enak kali ya Bu jadi pejabat? Eh enggak ding, lebih enakan jadi istrinya pejabat. Kalo gitu cita-citaku nanti jadi istri pejabat ajalah.”

Ibu saya sering bilang, “Ibumu dulu tuh cantik ya. Bahkan sejak SMP sudah dilamar orang. Tapi ibumu waktu itu masih jual mahal. Belum pengen nikah muda. Terus akhirnya ya gonta-ganti pacarlah. Eh, nggak disangka-sangka malah dapet jodohnya bapakmu itu. Padahal dulu banyak pacar yg lebih cakep dari dia lho. Sebenernya ibumu dulu tuh nggak terlalu suka sama bapakmu. Tapi berhubung waktu itu ibumu udah berumur 25 dan yg kelihatannya perhatian dan serius cuma bapakmu ya udah akhirnya sama dia aja.” 

“Ooh, gitu ya Bu?” =>dengan tampang polos anak usia SD yang sering didongengin kisah percintaan.

Zaman SD dulu saya nggak pernah mikir bahwa urusan percintaan dan pernikahan akan menjadi sangat ribet. Dulu sih saya mikirnya simple aja. Kenapa harus menikah? Ya karena semua orang juga melakukannya. Sebagaimana orang yg sekolah, maka menikah pun merupakan keharusan. 

Lalu menginjak zaman SMA dan awal2 kuliah, pikiran saya mulai berubah. Kenapa harus menikah? Karena menikah itu menyempurnakan agama. Wkwkwkkk…ketauan banget temen-temen gaul saya adalah aktivis pengajian. 

Kemudian pada pertengahan dan akhir masa kuliah, setelah saya berinteraksi dengan beberapa aktivis mahasiswa, yakni golongan-golongan yang (merasa) sudah keren banget dengan kata-kata,”Hidup mahasiswa!”, pikiran saya berubah lagi. “Ehm, kayaknya asyik deh kalo bisa nemuin pasangan yang mikirin nasib bangsa. Wah, tipeku banget tuh, calon pejabat” =>impian masa kecil

Selanjutnya di masa-masa akhir kuliah, ketika hari-hari saya sudah semakin geje karena tinggal ngerjain skripsi, pikiran saya pun berubah lagi. Saat itu saya cukup sering berkumpul dengan teman-teman geng saya, tidak jarang sampai menginap bersama. Saat itulah tercetus sebuah pertanyaan menarik,”Menikah itu harus ya? Trus kalo nggak menikah emangnya kenapa? Masalah buat orang lain?” Yak, kita mulai sering membuat pertanyaan-pertanyaan kritis yang “tidak umum.” 

Sampe saya lulus kuliah pun terkadang saya masih sering membawa frame of “tidak menikah ya nggak papa.” Pun ketika saya pulang ke rumah, saya masih sering bertanya-tanya, mencari-cari alasan lagi tentang “hal apa yang membuat menikah menjadi penting.” Saya mencoba mengamati perilaku ibu saya. Saya melihat berbagai kecemasan yang muncul ketika SMS dari kakak dan kakak ipar saya nggak dibales-bales. “Huh, kakakmu ini lho Ma, kalo di-sms jarang bales. Padahal ibu kan kangen dengan cucu-cucu ibu.” Atau peristiwa paling aktual deh, yang baru terjadi seminggu lalu. “Tuh kan, kakakmu ini kalo lagi di Blitar jarang banget pulang ke rumah, lebih sering ke rumah mertuanya. Gimana nih? Padahal kan bentar lagi cucu-cucu ibu udah nggak di Indonesia. Udah akan jarang ketemunya.” 

Hmm, ternyata begitu ya kekhawatiran seorang nenek terhadap cucunya, mengalahkan kekhawatiran terhadap anak sendiri. Apalagi di usia ibu saya yang menjelang lansia, perasaan kesepian tampaknya mulai menguat. Kalo gak segera mendapat SMS balesan dari kakak saya marah, gak dibales kakak ipar saya juga marah, gak dibales dengan saya sendiri juga marah….. Ya pokoknya jadi sensitif lah, ketika ngerasa dikit aja nggak dihargai orang lain. 

“Iya nih Ma, ibu sekarang nggak ada kerjaan di rumah. Kalo kamu punya anak kan enak, ibu bisa mengasuh anakmu. Kalo masmu kan jauh, mana ntar mungkin kerjanya di luar negeri.” 

Oke deh, nih warning nih buat saya biar nggak dapet suami bule. Aww… Ntar kalo saya dibawa lari jauh sama suami, ibu saya akan semakin menderita nih. Yak, dan akhirnya saya menemukan satu poin tentang hal yang membuat menikah menjadi penting: Untuk membahagiakan orang tua. 

Mungkin terdengar klise, yang akan menikah itu kamu lho Ma, bukan orang tua. Iya sih, tapi saya kan bagian tidak terpisahkan dari orang tua. Dengan demikian ketika saya bahagia, maka orang tua pun akan bahagia. Ketika saya galau pun orang tua akan galau. 

“Nduk, dhuwe anak wadon gedhe ki koyo ancik-acik ing pucuke eri” (Nak, punya anak perempuan dewasa itu rasanya seperti berdiri di tepi duri). Begitu kata ibu saya. Rasanya semacam ada beban yang belum terlepas gitu ketika belum melihat anaknya mengakhiri masa lajang. 

Kalo saya pribadi sih mungkin bisa ya berkata,”Oke saya akan lulus kuliah dengan baik, meniti karir dengan sukses, dan setelah itu tidak butuh hidup dengan pendamping lagi.” Being single is fine.

Tapi bagi orang tua sayaa…… Saya tahu itu bukanlah hal yang membuat mereka bahagia. Melihat saya menikah, hidup bahagia bersama pasangan & anak-anak saya merupakan salah satu cita-cita yang ingin mereka capai. 

Ya, dalam hidup ini memang kita tidak hidup sendiri. Meskipun kita bisa dengan berani berkata,”Ya, hidup itu pilihan. Yang bertanggungjawab atas kebahagiaan saya ya saya sendiri.” Tappiii… Kalau saya pribadi sih saya tidak tega. Apakah ketika saya memperjuangkan keinginan saya sendiri kemudian orang-orang di dekat saya harus terluka? Tidaak.. Kalau kita bisa bahagia secara bersama-sama kenapa tidak?

Saya pernah berpikir (bahkan sampe sekarang pun kadang iya), mengasuh rumah tangga itu ribet, belum lagi kalo anak-anaknya rewel. Waaa, neraka itu, nggak bisa jalan-jalan lagi, seneng-seneng bareng temen lagi. Tapi kalo diliat-liat lagi……ya justru “keribetan” itu yang menjadi kenikmatan tersendiri. Kalo nggak, kenapa kakak saya yg lagi susah-susahnya kuliah bela-belain ngajak istri dan 2 anak balitanya yg sering rewel buat nemenin dia? Bukannya itu mempersulit konsentrasi belajar? Tapi ternyata tidak. Kehadiran istri dan anak–anak itu yg justru menjadi penyemangatnya. Maka hipotesis saya dulu bahwa untuk meraih cita-cita tinggi itu harus mengesampingkan urusan cinta akhirnya gugur :D  

Anyway, meskipun dari tadi ibu saya kesannya sangat mengharapkan saya segera ketemu jodoh, beliau tidak sampai melakukan teror untuk mengancam saya kok. Semuanya masih berjalan normal, hehe… “Ya, ibu juga nggak mau sih kamu asal ketemu cowok. Kalo asal sih tuh kenal orang-orang di pinggir jalan juga banyak. Hati-hati lho Ma, kenal cowok di Facebook juga harus hati-hati.” 

Iya mama, terima kasih atas pesan-pesannya. Dengan demikian, saya pun punya pendapat baru,”Oke deh. Saya akan berjuang menemukan cinta, di tengah perjuangan saya menuntut ilmu. Eh mencari cinta juga butuh ilmu kali.. Jadi ya sekalian aja lah, menuntut ilmu tentang cinta sekaligus mencari cinta, hahaa.”

Memang sih, saya dan ibu saya ditakdirkan memiliki kisah hidup yang berbeda. Ibu saya mengalami kisah cinta sejak usia sangat muda, adapun kisahnya beraneka ragam, mulai dari yg pahit sampe manis. Sementara saya….yah bisa dibilang kisah cinta saya sangat minim. Tapi atas izin Tuhan, kita berdua dipertemukan di dunia. Untuk berbagi kisah, sebagai ibu dan anak. Untuk berbagi pengalaman, serta berbagi wedding wishes, harapan yg menentukan kita dalam menjalani kehidupan sebagai wanita. 

Oyee, itu tadi cerita saya. Bagaimana dengan cerita teman-teman? Ditunggu sharingnya yaa! Makasiiih ^^ salam penuh cinta, hehe….