Sabtu, 27 Oktober 2012

Life is When All Colors Blend into The One




Hai… hai… selamat pagi wahai para pemilik hati yg berbahagiaa! Apa kabar kalian semuaa?? Hohoho… saya lagi pengen berbagi energi positif nih pada siapa saja….. Biar saya semakin sehat, kuat, dan juga cantik (jiaah…).  Harapannya sih, siapapun yg melirik tulisan ini (cukup dilirik aja, gak dibaca jg gak papa) bisa mendapat kekuatan untuk terus bergerak menuju kebaikan, terus berlatih dan belajar memperkaya diri dengan berbagai pengalaman, terus percaya pada kekuatan mimpi yang mampu memberi perubahan pada kualitas kepribadian. (Aduuh, harapannya ketinggian kali non, uhuk..emang siapa elo?)

Hmm, nih tulisan harus dimulai dari mana dulu ya? Ehehe…. Baiklah, karena tiba2 saya kepikiran dengan betapa berwarnanya hidup ini, maka saya akan mengawali dengan penjelasan warna. 

“Apaan? Kalo nyebutin warna merah, ijo, kuning, sih saya udah tau, Ma. Kagak usah dijelasin lagi kayak anak TK.” Hmm, iiya deh, saya percaya bahwa semuanya pasti udah mengenal warna dengan sangat baik. Khususnya merah, ijo, kuning, karena biasa bertengger di perempatan jalan. Yg bikin klakson bunyi2 itu kalo kendaraan di depannya gak maju2 :p. 

Iya, kita semua emang udah tahu warna itu kayak apa. Tapi mungkin belum banyak yang menyadari bahwa yang punya warna tuh bukan cuma benda2 di sekitar kita. Lebih dari itu, setiap dari kita juga mengandung warna.  

“Lho kok bisa? Aku kan tiap hari ngaca… Wajahku putih terus tuh. Kan udah pake P*ND* selama 7 hari. Mana ada ceritanya wajahku berwarna-warni?” 

Hehe… jangan dibayangin juga wajah bakalan jadi merah, item, ato cokelat. Hmm, ini sebenernya penjelasan filosofis sih… Jadi untuk meresapi adanya warna itu harus dihayati dengan sungguh-sungguh. 

Mungkin bisa diawalin dengan bercermin. Carilah cermin di sekitar kita. Boleh cermin yg ada di bedak atau cermin di jendela kantor (siap2 dicurigai gila sama pegawai lainnya :D). Akan lebih bagus lagi kalo cerminnya tinggi & panjang, biar kita bisa lihat pantulan diri kita secara lengkap, dari kepala sampe kaki.
Nah lho, menurut kalian siapa yg sebenarnya berada di cermin itu? 

“Oh, sudah pasti diri saya. Udah hapal kali, dari dulu lahir sampe sekarang wajah saya ya cakep begini. “

Ehm, yakin itu diri anda? Yakin? Beneraan? 

Mirror mirror hanging on the wall….. You don’t have to tell me who’s the biggest fool of all…….

Yaah, malah nyanyi lagu jaman ABG deh saya :D

OK deh, mungkin itu memang diri anda. Tapi bisa jg bukan diri anda (ah, piye tho maksude?). Ya maksud saya itu memang tubuh anda, tapi yg ada dalam tubuh itu belum tentu diri anda (aah, tambah mbingungke..piye tho? #dipukul massa). 

Oke deeh, damai dulu damai dulu.. (salaman satu2 dgn pembaca). Maksud saya begini. Ehm, anda mungkin udah tahu bahwa diri anda bernama bla..bla… berprofesi sebagai bla..bla… berpendidikan setingkat S tidak terhingga, berpacaran atau berpasangan dengan bla..bla… . Udah? Cuman itu?

Masih banyak lho peran-peran lainnya. Inilah saatnya untuk mengidentifikasi warna-warna dalam tubuh kita.  Ada warna kuning, warna keceriaan… Coba amati wajah teman2 di sekitar anda ketika bertemu dengan anda. Apakah mereka menunjukkan wajah manis penuh tawa or senyuman? Jika iya, selamat yaa, berarti anda sudah berhasil memancarkan cahaya keceriaan pada orang2. Ibarat matahari, anda telah berhasil membagikan kehangatan energi. 

Ada warna merah, warna keberanian & ketegasan. Kali ini mari amati wajah teman2 kita sekali lagi (tapi jangan sampe mereka tahu kita menjadikan mereka bahan eksperimen lho ya, hehe). Apakah di antara mereka masih ada yg cengengesan? Apakah mereka masih ada yg bersikap kurang sopan atau kurang ajar? Apakah masih ada yg ngobrol sendiri ketika anda berbicara? Kalo ada pukul aja pake kursi (looh, malah ngajarin anarkis). Ehm, nggak nggak, tuh tadi cuman akting kok.  Hmm, itu adalah sebuah indikasi, temans, bahwa ternyata kita belum bisa menunjukkan wibawa di depan mereka, bahwa ternyata keberanian & ketegasan kita masih bernilai setengah. Jika itu anda alami… (sebenarnya saya  sendiri pernah mengalami, huhuhu…. #cup cup Ima), maka jangan berhenti untuk meratapi nasih, eeh… maksud saya jangan berhenti untuk berusaha. Berusaha memunculkan warna merah dalam diri kita. Meyakinkan diri bahwa setiap orang itu punya kekuatan, bahkan dalam kelemahannya pun sebenarnya manusia itu kuat lho. Yang dibilang nggak kuat itu kalo kita udah nggak bisa berdiri sendiri dan harus diangkat orang lain menuju liang kuburan (eeh…#horor :p). 

Oke deh, kalo warna2 lainnya saya jelasin di sini kayaknya nggak enak ya karena sama dengan mem-buly mata pembaca. Oleh sebab itu saya tambahin satu contoh warna lagi deh, yakni warna biruu. Pas banget dengan baju yang saya pakai sekarang, hehe. Biru itu mengandung unsur kelembutan. Coba deh kalo kita lihat laut tuh rasanya tenaang banget… tetep terasa adem meskipun kadang air laut bergejolak. Hmm, makanya asyik banget kalo relaksasi sambil mbayangin berada di laut (terbukti membuat beberapa ibu2 ketiduran #curhat).  Ehm, trus apa indikatornya kalo kita udah bersikap lembut di hadapan orang lain? Indikatornya bisa dilihat dari raut mukanya… Kan tampak tuh, matanya jadi sayu2 gimana gitu, tapi bukan sayu ngantuk ya, melainkan pertanda bahwa dia memberikan tatapan bersahabat, bukan tatapan mengancam atau menghakimi. Trus dari ekspresi mulut juga. Ketika orang tsb beberapa kali menyunggingkan senyum, disertai anggukan mantap, itu merupakan pertanda bahwa dia merasa nyaman dengan kita. Anggukan mantap menunjukkan bahwa dia sudah merasa menjadi bagian dari kita, merasa pendapat kita ternyata sejalan dengan yang dia pikirkan. Bahasa psikologinya kita bisa menunjukkan empati gitu.

Yak, itu saja teman2. Obrolan saya tentang warna. Ehm, tapi bentar bentar…mau ngasih penutup singkat bentar. Jadi, sadarilah bahwa masing2 dari kita memiliki warna-warna. Bukan cuma 1 warna lho, tapi warna-warna. Itu kan artinya banyak warna, hehe…. Karena banyak warna, maka ketika kita hanya bisa memunculkan 1 atau 2 warna, itu tandanya diri kita belum “lengkap”.  Yaa mungkin ada sih dominasi atas warna tertentu. Misal ada orang yg warna merahnya sangat kuat, itu berarti orang tsb identik dengan ketegasannya, tipe2 pemimpin yg disegani. Tapi bukan berarti dia harus berfokus pada warna merah aja lhoo…. Kan peran manusia itu banyak. Tidak selamanya dia akan menjadi pemimpin lho. Sekali waktu dia juga perlu memunculkan warna biru, untuk memberikan keterbukaan atas ilmu dari orang lain, untuk menunjukkan bahwa dia merangkul ilmu2 itu dengan lembut. 

Ayo kita terus membangun diri kita dengan berbagai susunan warna yg telah diciptakan Tuhan :) . Tuhan aja sifatnya bisa banyak kok, bisa jadi Maha Kuat, Maha Lembut, Maha Tegas, Maha Sabar, Maha Serius, kadang juga Maha Humoris, dan lain-lain (lho..lho.. saya malah seenaknya sendiri bikin sifat Tuhan. Hehe, peace Tuhan ^^). Masak kita mau “memiskinkan” diri sendiri dengan hanya memiliki 1 atau 2 sifat. Hoho.. saya juga masih belajar sih, belajar biar bisa marah, belajar biar bisa nangis di depan umum, belajar biar bisa jadi leader, belajar biar bisa punya kemantapan hati & ke-pede-an tingkat tinggi. Yaa masih terus belajar. Saya bikin note ini tujuannya juga biar memotivasi diri kok, hoho.. Biar kita bisa berkembang bersama. 

“Life is When All Colors Blend into The One”……

Itulah kehidupan, ketika semua warna bercampur menjadi Satu…. Menjadi putih, menjadi tidak ada perbedan, dan menjadi Satu Kekuatan MilikNya . 

Selasa, 16 Oktober 2012

Menemui Tuhan melalui Empati


“Bertemu Tuhan? Ehm, bagaimana caranya? Jauh kalii…. Tuhan kan di surga, saya di dunia. Lagian saya juga takut kalau ketemu Tuhan sekarang. Dosa saya masih banyak tuuh, amal saya juga masih kurang.”

Tuhan ya? Hmm…. Apakah teman2 sudah pernah ketemu Tuhan secara langsung? Kalau dalam kepercayaan agama saya sih dulu sebelum diturunkan ke bumi manusia berdialog sama Tuhan, diminta untuk bersyahadat, yakni mengakui keberadaan Allah sebagai satu2nya Tuhan dan Muhammad sebagai utusanNya. Mungkin saya juga pernah ketemu Tuhan dulu, pernah lihat “wajah”nya Tuhan. 

Tapi setelah saya diturunkan di muka bumi ini, semua ingatan saya sengaja dihilangkan. Saya terlahir jadi bayi yg awalnya gak tahu apa2, hanya tahu caranya nangis. Perlahan, melalui “malaikat” yg bernama ayah dan ibu serta hasil observasi saya terhadap lingkungan sekitar, saya pun jadi tahu gimana cara berjalan, ngomong, memegang sesuatu, bermain, dan lain-lain. Sampe kemudian saya mulai sekolah, saya pun diajari guru tentang membaca, menulis, berhitung, dan kemampuan akademis lainnya. 

Lalu sejak kapan saya mulai mengenal Tuhan (lagi)? Setelah saya sebelumnya pernah “akrab” denganNya di alam lain. Hmm…. Saya tidak tahu kapan tepatnya. Mungkin sejak saya ikut2an sholat di belakang ortu pas umur 3 tahun? Sejak saya belajar ngaji di awal masuk SD? Sejak saya memakai jilbab ketika masuk SMA?  Atau sejak saya bikin KTP dan di situ tertulis bahwa agama saya Islam? Hoho….

Entahlah… saya pun tidak yakin apa saya sekarang sudah benar2 kenal Tuhan. Yang sering saya lakukan adalah “berpura2” berbicara dengan Tuhan. “Berimajinasi” bahwa Tuhan ada di depan saya dan mendengar semua permintaan saya. Mungkin karena saya hanya punya indera yg terbatas, yakni mata yg memiliki “jendela” yg sangat sempit, maka ruang pandang saya pun hanya “itu2 aja.” Saya hanya bisa melihat manusia lain yg bentuknya begitu, hewan yg bentuknya begitu, matahari yg bentuknya begitu, dan benda2 lain yg bentuknya “gitu2 aja”. Sudah hapal karena setiap hari udah ngelihat, hoho… 

Adapun bentuk Tuhan saya tidak pernah tahu meskipun saya belajar di dunia ini sudah beratus-ratus hari. Kenapa Tuhan tetap tidak mau menunjukkan “wajah”nya pada saya ya? Apa “wajah”Nya begitu cakep sehingga terlalu mahal untuk diperlihatkan pada sembarang orang ya?

Hadduuhhh…… (sambil senyum2 menahan tawa). Stop Ima, stop… Kamu mau tulisanmu dicekal MUI atau FPI karena dianggap liberal? Dosa kali ngomongin wajah Tuhan. Tuhan ya Tuhan, manusia ya manusia. Tidak bisa sifat2 Tuhan disamakan dgn sifat manusia. Pake bilang Tuhan cakep lagi. Hussh, istighfar sana, bertobat sana!

Nyiit… nyiit… nyiit….. (berjalan mengendap2 menghindari kejaran orang2 yg menganggap saya liberal, haha). Horreee… saya sudah bebas sekarang, di sini sudah gak ada orang yg mngancam saya. Yuuk kita mulai lagi “khayalannya” :D. Bukaan…saya bukan bermaksud mengajak pembaca untuk terjerumus dalam “kesesatan” pikiran saya lho. Saya sesat atau tidak sesat, itu jg bukan urusan anda. Saya cuma bermaksud memberi “hiburan” kok, terserah teman2 menganggap cerita ini layak dibaca atau tidak. 

Yak, baiklah, daripada kita terus bertanya2 wajah Tuhan itu seperti apa. Ada baiknya kita melangkah saja dalam sebuah perenungan. Hmm… Tau nggak siih, Tuhan itu emang cakeepppp bangeeetsss…… asliiiii! Kalah deh semua bintang korea itu, haha… Apa yg membuat “kecakepan” Tuhan berbeda dgn bintang korea itu? Karenaaa…. “kecakepan” Tuhan tidak bisa dilihat secara langsung. Tuh bintang korea kan cuma terlihat cakep kalo mata kita lagi melek. Tapi kelilipan sedikit saja, penglihatan kita udah terganggu. Kita udah nggak terlalu mentingin tuh orang cakep atau kagak karena sibuk ngucek2 mata :p.

Dan inilah keistimewaan “kecakepan” Tuhan. Mau mata kita melek, mau merem, mau buta, tetep aja kecakepan Tuhan itu “terlihat”. Karena yg melihat adalah mata hati kita…. Jarak pandang mata hati itu begitu luas tak terbatas. Tembus pandang…. tidak pernah terhalang tembok, kaca, hingga luasnya langit dan samudera.

Lalu apakah teman2 sudah pernah menikmati “kecakepan” Tuhan? Coba tanyakan pada hati masing2. “Hai hati, apakah kamu sudah tahu kalau Tuhan sangat cakep?” Demikian jawab hati yg udah pernah PDKT sama Tuhan,” Ehm, iiya, Tuhan cakep bangeet.. Sensasinya hampir sama sih kalo kamu lg lihat orang cakep. Kalo kamu ketemu orang cakep, apalagi kamu ada chemistry sama dia, biasanya jantung akan berdebar2 kan? Nah, hati jg gitu lhoo, kalo kamu bertemu dgn kondisi yg mengingatkanmu pd Tuhan, hati pun bereaksi. Hati jg jd deg2an, bergetarr… Tp habis itu mengalirlah rasa nyaman, hangaat… Yah, mirip2 sama orang jatuh cinta lah, haha..”

Oh ya, trima kasih hati, sudah mau berbagi dgn saya, hehe… Jd gitu lho teman2 kata hati kita. Ehm, kata hati saya sih lebih tepatnya, kalo kata hati teman2 bisa aja beda. Nanti teman2 bikin note aja ya, biar saya bisa baca kata hati kalian semua, ohoho…. 

Back to reality…

Jika dikaitkan dgn profesi saya sekarang, saya sih ngerasa kalau saat2 bisa “merasakan” Tuhan itu adalah ketika saya memberi konseling/terapi psikologi. Hmm, ajaib ya? Kalau dipikir2, sebenernya yang saya (dan teman2 mapronis) lakukan hanyalah ngomong. Ngomong ke orang lain bahwa,”Pak… anda sebaiknya, bla..bla..bla….”, “Dik, kamu seharusnya, bla..bla..bla….”, “Mbah, njenengan menika kedah bla…bla..bla….” Cuman begitu lho, tapi saya sih ngerasa efeknya luar biasa. Bukan cuma bagi orang yg saya ajak omong, tp juga bagi saya sndiri. Habis sesi berakhir, saya masih sering lho ngerasa nggak percaya,”Kok bisa yaa saya tadi ngomong bijak begitu? Kok bisa yaa? Kata2 tadi turunnya dari mana sih? Kok mau2nya malaikat mbisikin kata2 begitu ke kuping saya?”

Ini bukan cuma the power of speech lho teman2… ini the power of faith. Kata2 tidak akan berarti apa2 jika tidak disertai dengan “jiwa”. Kata2 hanya akan masuk dan keluar lewat telinga, tapi tidak menancap dalam hati orang yg mendengarnya jika yg kita berikan hanya bersifat “solusi”. Cuma sekedar “kata2 baik”, tapi kita pun gak pernah nglakuin ato ngrasainnya, cuma tahu kalo hal-hal itu ada semua di buku. Ya, kata2 yg hanya bernilai “ilmiah” di mulut, tapi gak “ilmiah” di hati dan perilaku kita. 

Hmmm… saya bikin tulisan ini bukan berarti saya udah berasa jenius di bidang “faith” lho…  Saya juga masih meraba-raba. Saya bahkan belum yakin apakah keyakinan saya itu meyakinkan? Hoho.. Karena yg terjadi di lapangan adalah saya masih sering merasa nervous pas memulai pertanyaan pd seseorang. Saya masih sering bingung, sering mikir, “Duuh kata2 ini udah tepat belum ya ditanyain sekarang? Udah cocok belum ya dgn masalah yg sbenarnya dia alami”. Masih sering muter2 sendiri tuh kepala. 

Kemantapan hati itu biasanya muncul di tengah2, ketika saya berusaha untuk terus masuuk dan masuukk ke dalam masalah, setelah saya merasa “bercermin”, setelah saya merasa bhwa saya sedang berbicara dgn diri saya sendiri. Meskipun masih jauh dari kesempurnaan, akhirnya saya bisa menemukan beberapa kata yg “pas”, yg membuat orang di depan saya mengangguk2 dan tersenyum. 

Hmm… senang rasanya bisa “satu jiwa” dgn orang yg diajak ngobrol. Saat itu saya pun bisa merasa bahwa Tuhan begitu dekat. Tuhan ada dalam diriku dan diri orang tersebut. Pertemuan itu pun terjadi atas rencana Tuhan. Di tempat dan waktu yang juga direncanakan Tuhan. Dengan permasalahan yg “dibuat” Tuhan….

Maka tidak mustahil ketika kita akhirnya bisa “merasakan” Tuhan, karena Tuhan adalah sumber segala kebaikan, dan empati adalah jalan menuju kebaikan itu… 

Mari kita terus melihat dengan hati yaa, agar “wajah” Tuhan senantiasa terlihat di setiap ciptaanNya yg ada di sekeliling kita ^^



Minggu, 07 Oktober 2012

Dear, psychologist. How many people do you help?


Bismillah, hmm….. sebenernya malam ini saya gak berniat untuk bikin note. Memang sih dari kemaren2 sempet ada pikiran pengen bikin note, tapi keinginan tersebut sengaja tidak saya fasilitasi karena masih banyak tugas yang harus saya selesaikan. Kok rasanya egois ya kalo saya malah meluangkan waktu untuk menulis? 

Dududu… Kalo saja kemaren malam saya tidak “diproses” pas bimbingan di kampus, kalo saja tadi setelah sholat maghrib tangisan saya tidak tumpah, mungkin note ini tidak akan pernah tercipta. Tapi yaa lagi2 semua ini atas izin Sang Editor, saya pun jadi merasa ada “keharusan” untuk menge-share apa yg sudah saya alami. Yak, abaikan sejenak laporan de es be itu dari pikiranmu, Ima, hehe…. 

Ehm, balik lagi ke judul yg saya tulis di atas ya. “Dear, psychologist. How many people do you help?”  Hayoo, siapa bisa jawab? Kira2 sudah berapa orang yg (merasa) pernah kita tolong ya? Disini saya lebih memfokuskan latar belakang saya sebagai (calon) psikolog ya, makanya saya tulis “dear, psychologist”. 

Sebagai orang yg pernah dan sedang belajar psikologi, kita mungkin sering berpikir, “Penting lho menolong orang itu. Penting lho memperhatikan mereka dengan penuh empati. Penting lho memberikan solusi kalo orang itu lagi curhat.” Ya sih, pentiing banget. Apalagi kalo sedang dalam masa praktik kerja seperti saya, menolong orang sehingga bisa terlepas dari masalah itu rasanya menjadi sebuah “kewajiban.” Selanjutnya perasaan itu pun mendorong tumbuhnya citra diri sebagai “hero”. “Yak, Anda adalah orang yang berhak ditolong dan saya adalah orang yang akan menyelesaikan masalah Anda,” begitu kira2 pikiran yang sering terlintas ketika kita berhadapan dengan klien. 

Dan terciptalah hirarki antara psikolog dan klien. “Saya ini psikolog lho. Orang yang mengerti berbagai teori, pendekatan, dan intervensi. Jadi, ketika Anda datang kepada saya, saya pasti bisa memberikan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan Anda.” Lalu dimulailah adegan demi adegan. Bertemu dengan klien, pikiran mulai bekerja. “Hmm, masalah nih. Kira2 kenapa ya bisa begitu? Kok bisa dia merasa sedemikian jengkel? Apa mungkin suaminya begini ya? Apa mungkin anaknya begini ya?” Mulai deh jiwa suka KEPO-nya tersalurkan. Nanya sana nanya sini. Eh..eh… tapi kok setelah dipikir-pikir masalah ibu ini mirip dengan saya ya? Haduuh, jleb..jleb..jleb…. 

Begitulah, kalo dalam bahasa gaul anak-anak psikologi sih kejadian kayak gitu biasa disebut dengan “resonansi”. Awalnya sih mungkin kita sulit mengenali, tapi setelah dirunut-runut biasanya ada “hal yg bersifat sama” antara kita dengan klien. Oke deh, saya sudah bosan ngomongin resonansi, sekarang saya mau ngomongin tentang cermin aja deh, hehe… 

Cermin? Ya, cermin. Yang biasa kita pake untuk meyakinkan diri kalo kita cakep itu lho, hoho… Emangnya apa yang istimewa dari cermin? Istimewa banget laah… Coba bayangin kalo di dunia ini nggak ada cermin? Mungkin bisa aja kita denger dari orang lain kalo kita ini cakep. Tapi kan rasanya gak puas gitu lho kalo belum melihat buktinya sendiri. Dan seperti itulah kehidupan, eeeiih…  mulai “berat” nih ngomongnya :D. 

Kehidupan bagaikan cermin. Itu pelajaran yang saya ambil dari kejadian kemaren. Pagi tadi, setelah saya pulang dari nginep tempat temen, setelah saya mandi, bersiap2, update status (haha sempet2nya update status), kemudian berangkat ke puskesmas, saya pun berangkat dengan perasaan yang lebih “berwarna”. Rasanya saya siap menghadapi semua kemungkinan yg akan terjadi. Rasanya saya siap diomelin mbak psikolog tentang kebodohan yg sering saya lakukan di puskesmas. Rasanya saya siap dicurhatin klien dengan tetap menunjukkan wajah kebingungan saya. 

Pulang dari puskesmas, dalam perjalanan menuju kos, hingga sampe di kos pun saya masih terus berpikir. “Ya, sekarang saya siap dikatakan ‘bodoh’ oleh siapa pun. Sekarang saya siap dianggap psikolog yang ‘tidak tahu apa2’. Saya pengen lepas dari semua kewajiban itu. Saya pengen lepas dari tanggung jawab saya sebagai ‘penolong’.” 

Nggg, emangnya kenapa, Ima? Bukannya jadi “hero” itu bagus ya? Bagus sih, bagus kalo kita bener-bener paham maknanya. Tapi bagi saya sebutan “hero” itu ternyata menjadi beban. Mungkin selama ini saya tidak sadar. “Oh ya, saya pasti bisa menolong semua orang. Saya pasti bisa membahagiakan banyak orang. Saya pasti bisa dianggap baik oleh semua orang.” 

Andaaai saja setelah maghrib tadi tidak terjadi percakapan antara “diri-diri” saya, mungkin saya tidak akan menyadari bahwa setiap manusia adalah “hero”. Sungguh salah jika saya merasa menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas tujuan dan kebahagiaan yang ingin saya capai. Karena keberadaan setiap orang turut menentukan bagaimana saya berproses hingga menjadi seperti sekarang. Ya, selama ini saya terlalu membatasi diri untuk menjadi diri saya. Mungkin emosi yang sering saya kenali cuma dua: baik & baik banget. Jarang banget tuh yang namanya sedih, kecewa, jengkel, apalagi sampe nangis di depan umum. 

Pernah di suatu ketika dulu saya berpikir. Menurut ajaran agama menjadi orang sabar tuh emang baik kan? Berarti sabar bisa membawa kita ke surga? Berarti perasaan sedih, marah, jengkel itu kan nggak penting? Berarti kan hidup itu cukuplah menuju kebahagiaan akhirat..  Dan setelah saya pikir2 lagi, trus apa gunanya Tuhan menciptakan emosi? Trus apa gunanya Tuhan nyiptain kantung air mata? Trus ngapain Tuhan ngajarin kita berdoa untuk mencapai kebahagiaan dunia & akhirat? Ya udahlaah, ini kan dunia. Meskipun dunia & akhirat nggak pernah benar2 terpisah, tetep aja ada hal-hal yg hanya bisa dilakuin di dunia dan ada hal2 yg hanya bisa dilakukan di akhirat. Menurut saya menjadi “manusia biasa” itu nggak dosa kok. Bagaimanapun manusia adalah makhluk spiritual. Sebiasa apapun perilakunya, tetep aja ada nilai spiritualnya. Toh dari tetesan air mata atau suara tertawa seseorang pun kita bisa melihat tanda2 kebesaranNya kan? Siapa yg menggerakkan otot-otot di wajahnya itu kalo bukan Tuhan?

Yuhuu…setelah diamat-amati lebih dalem ternyata kehidupan itu emang luas sekaligus simple lho. Ya seperti cermin itu. Saya jadi nemu filosofi baru. Di sekeliling kita ada cermin yang luas lho. Tau nggak? Cerminnya kadang visible kadang invisible sih, tergantung kondisi hati. Coba perhatikan orang2 yang ada di dekat diri kita sekarang, bisa ayah ibu, bisa temen2 kos, bisa tetangga, bisa penjual makanan, bisa klien yang datang maupun sengaja didatangi,….. Mereka semua adalah cermin lho, temans. Coba amati kenapa orang2 di sekitar kita berperilaku begitu? Karena ya diri kita sedang “pantas” diperlakukan begitu. Kadang bikin seneng, kadang bikin jengkel, tapi itu semuanya memang harus terjadi karena kita sedang diajari untuk melihat “cermin” diri kita secara utuh. 

Berbicara dengan orang lain berarti berbicara dengan cermin. Coba aja tuh kalo ada orang lagi marah-marah terus kita bales pake kata-kata super halus, biasanya orang itu jadi nggak enak kan mau nglanjutin marahnya. Nah, demikianlah hal yang baru saya pelajari. Hmm, baiklah. Mulai sekarang kalo ketemu klien saya akan mengibaratkan berbicara dengan cermin. Saya akan membayangkan lagi ngomong dengan diri saya di depan cermin. Jadi apapun yang diungkapkan klien, itu adalah pantulan dari cermin diri saya. Lalu, masihkah saya perlu berpikir bahwa saya sedang menolong klien tersebut? Hoho.. seharusnya tidak lagi. Saya sedang menolong diri saya. Ketika ada orang “bermasalah” datang, ya berarti diri saya memang “bermasalah”.  Entah dalam hal apa, tapi yang jelas ada bagian dari diri saya yang perlu diselesaikan, atau kalaupun tidak berarti ada bagian dari diri saya yang perlu ditingkatkan kualitasnya untuk lebih baik lagi. 

Indah sekali kehidupan itu ya? Di setiap bagiannya ada cermin. Di setiap bagiannya ada cara untuk memperkaya diri. Di setiap bagiannya ada cara untuk merasa satu bagian dengan makhluk semesta. Di setiap bagiannya ada Tuhan. Di setiap bagian, temans… Ingat itu, di setiap bagian….. Maka, teruslah kita selami keagungan di setiap bagian itu ^^