Kamis, 07 September 2017

Berteman dengan Setan



Seorang teman mengajarkanku untuk tidak menolak mentah2 setan dalam diri kita. Hmm... aku percaya setiap hal itu diciptakan Tuhan pasti ada maksudnya. Termasuk setan yg seringkali diangggap musuh oleh manusia2 taat. 

Tulisanku tempo hari adalah tentang patah hati yg berlipat2. Lalu kali ini? Bagaimana cara balas dendam agar bisa merebut suami orang? Atau Bagaimana cara mengucapkan mantra agar kehidupan rumah tangga orang lain tidak bahagia

Tuh kan... setan sekali pikiran saya pemirsa, hahaa...... 

Sebenarnya, siapakah yg dimaksud setan itu? Apakah setan itu sesungguhnya hanyalah kiasan manis untuk sisi diri kita yg dianggap “dapat mencelakakan orang lain”? Jadi, kalo sisi itu hanya berupa pikiran, namun akibatnya hanya bisa dirasakan sendiri tanpa berefek bagi orang lain, apa itu bisa disebut dgn setan? Atau janin setan? Atau piye? Haha.... malah bingung dewe.

Sebagai manusia kompleks, aku seringkali bangun pagi dengan perasaan campur aduk. Awal2 si mas itu menikah, bangun tidur aku biasanya langsung nge tweet. Karena...... sesak sekali rasanya membayangkan : “Kejamnya dunia ini. Mas itu tiap malam bahagia bersanding dgn istrinya. Bisa belai2 istrinya, bisa ngapa2in dan seterusnya yg diinginkan, karena dia dan istrinya udah ‘berlabel’ halal. Sementara aku ini... siapalah aku ini? Hanya remahan wanita perawan agak tua yg kesepian & haus cinta? Oh ya, aku adalah wanita single sholihah yg berusaha untuk taat dgn tidak pacaran & tidak macem2 dgn pria bukan muhrim hingga menuju pernikahan yg diridloiNya.

Wah.... pencitraan sekali saia ya! Bagi khalayak alim, menjadi wanita sholihah adalah sesuatu yg diimpi2kan. Dan seperti yg mereka sarankan : Jika ingin mendapat jodoh yg baik, maka mendekatlah kepada Sang Pemilik Hati, jangan PDKT pd pria2 pencuri hati. Aku pun mencoba mengikuti apa yg disarankan mereka. Lalu sejak patah hati itulah tiba2 aku memperbanyak doa, merajuk pada Tuhan, beristighfar, bershalawat, kalimat2 indah perekat jodoh pun sering aku lantunkan. Shalat2 sunnah pun mulai hadir menyapa Dia, seolah2 ingin kutunjukkan : Tuhan, aku sedang berusaha untuk mendekati jodohku melaluiMu. Mohon permudahlah Tuhan. Karena aku bukanlah wanita yg pandai PDKT, makanya aku minta pada Njenengan. Tolong pilihkan pria yg mampu menjadikan hamba lebih mencintai Njenengan, meskipun hamba tahu kalau hamba ini wanita yg absurd. 

Demikian, hari2 sbg wanita islami pun tampak nyata dalam diriku. Awalnya aku nggak terlalu percaya kalo doa & sholat bisa mengubah hatiku. Habis patah hati itu aku kayak orang bingung. Aku benar2 merasa kehilangan matahari, seseorang yg aku tunggu2 kabarnya setiap hari. Lalu...setelah dia menikah, aku kayak dipaksa untuk menjauh dari seseorang yg berarti. Yasuda..tidak ada cara lain. Gimana2, aku tetap berada pada posisi yg salah kan? Mereka sudah meniqa... legalitas hukum dan agamanya lebih jelas. Sementara aku... siapalah... siapa jg yg mau peduli dgn legalitas perasaanku terhadapnya? Aku toh udah lebih dulu suka sama masnya dibanding istrinya sekarang. Tapi yaa.. tetap aja aku akan dianggap hantu, khan? Iya khan??
Gimana kalo aku dengan sengaja curhat di sosmed bilang : “Seandainya waktu bisa berputar kembali...Ingin rasanya aku melempar bom untuk menghancurkan acara akad nikahmu dulu.. “ 

Ah tidak.. itu terlalu sinetron, gimana kalo gini aja : “Aku tahu sekarang kamu sudah bahagia bersama istrimu mas, tapi ijinkan aku untuk menyelipkan rasa rindu ini melalui angin malam. Biarlah.. doaku yg terbang bersama angin ini ikut memelukmu. Karena aku sadar, ragaku tak ditakdirkan untuk berada di dekatmu.”
*yang ini mah sinetron juga kali Im, ini malah FTV versi relijius -_-

Yah.. apapun lah... Intinya kalo aku curhat di sosmed (padahal blog jg termasuk sosmed terselubung, ampun) terkenal, aku pasti bakalan dibully netizen krn mereka langsung mengeroyokku dgn sebutan : p-e-l-a-k-o-r  (opo tho kui? Kalo gak tahu artinya silakan tanya mbk googlewati). 

Sekarang ini istilah pelakor sama negatifnya dgn istilah koruptor atau teroris. Padahal... Oh No! Mereka tidak tahu kalo merindukan suami orang itu bukanlah perbuatan keji yg hanya bisa dilakukan oleh tante2 cantik penggoda. Wanita sholihah kayak aku ini pun (kepedean tp ya gak papalah biar aku bahagya) pernah juga diuji oleh Tuhan untuk merindukan seseorang yg bukan haknya. Aku sebenarnya sadar bahwa ini ujian sejak awal jatuh cinta sama dia sekitar 6 tahun lalu. Namun, sbg wanita usia dewasa yg ingin segera berumah tangga, aku pun mengabaikan celotehan2 sekitar yg memperingatkanku tentang “sifat aslinya”. Aku semakin tertarik untuk memperbesar fantasi2ku tentang dia...Gambaran bahwa dia adalah pria ideal, pria baik yg akan datang ke rumah untuk melamarku, selalu aku bangun tiap hari. 

Saat itu aku memang gila (bahkan hingga saat ini pun kegilaanku masih residual). Kita tidak pernah berinteraksi di dunia nyata. Namun, sekali tatapan dan senyuman yg pernah dilemparkan padaku itu (entah dia sengaja atau tidak) terus membekas dalam hati & pikiranku hingga bertahun2. 

Aku berpikir dia adalah pria yg setia, yg tidak akan mempermainkan wanita, yg akan memperjuangkanku hingga menuju jalan yg diridloiNya. Ternyata... eh aku kepedean. Aku hanya sedikit debu diantara sebotol pasir yg ia simpan dan diberi tulisan : Wanita. 

Hingga akhirnya kiamat kecil itu datang..... Saat2 ketika dia resmi menjadi milik orang lain....

Sejak saat itu aku terus berusaha menguatkan diri untuk tidak kepo tentang dia. “Ingat, Ima. Sekali kamu kepo, maka kesempatanmu untuk bertemu jodoh semakin jauh.” Nasihat itu yg terus aku tanamkan pada diri sendiri. Tentu itu hal yg tidak mudah bagiku. Seketika aku langsung bisa merasakan gimana penderitaan sbg tokoh antagonis di sinetron. Aku merasa memiliki sifat jahat & berharap ketidakbahagiaan dalam kehidupan rumah tangga mereka. “Enak aja kamu ngrasain bahagia. Gak lihat apa yg udah kamu lakuin ke wanita2 sebelum istrimu?”

Ya, mungkin aku memang jahat. Tapi jahat membuatku merasa menjadi manusia. Aku tidak bisa membohongi Tuhan & dunia bahwa aku sudah ikhlas. Ikhlas itu proses panjang, bisa jadi proses seumur hidup. Dan..menjadi jahat adalah cara untuk menguatkan aku. Dengan mengingat kejelekan2 yg pernah dia tunjukkan, aku pun bisa sedikit melupakan dia dan tidak tergerak untuk kepo lagi. Terkadang rasa benci itu begitu kuat... Terkadang sekedar angin lalu. Tergantung kondisi iman kayaknya ya?

Aku pun berusaha pula untuk tidak menganggap hidup terlalu serius. Jika awal2 patah hati aku merasa ceramah2 ustadz tentang jodoh dapat menguatkan aku, selanjutnya aku pun berganti metode. Aku mulai sering nonton vlog2 lucu yg menertawakan penderitaan hidup, khususnya tentang cinta. Aku merasa punya teman, gak cuman aku di dunia ini yg merana karena cinta. Alhasil kuotaku jadi gampang habis karena sering buka youtube -_-

Bertemu dengan pasien2 jiwa juga menjadi penyemangat buat aku. Aku jadi bisa melihat penderitaan sbg bagian dari kewajaran hidup. Gak semua orang hidupnya kayak mbaknya : pinter, lulus cepet, nikah muda, hidup bahagia... Kalo sasaran pandangnya cuma kampus itu, hmm... bisa2 aku gila. Apalah aku ini, dari dulu berniat dekat sama kehidupan kampus, rasa2nya malah kayak ditendang keluar. Hahahaa.....

Lalu tentang kekuatan doa? Sejak awal jatuh cinta hingga patah hati, aku selalu mengajak Tuhan ngobrol sbg teman curhat. Mungkin krn aku introvert, makanya lebih bisa banyak cerita dgn diri sendiri, dan ujung2nya selalu mencari Tuhan buat nemenin nangis.

Kalo aku curhat sama temen, ya itu cukup membantu, tapi kadang juga menimbulkan salah paham. Aku cerita menye2, marah2, malah dia bilang,”Sudahlah... syukuri aja hidup ini.” It made me feel like ‘aarrrghhh’. Tapi kalo cerita sama Tuhan enak. Dia nggak pernah menghakimi. Aku ngomel2, protes2, marah2 kesal, sampe sering mengajak setan untuk berkomplot.... Eh Dia diem aja. Dia tetap tenang...

Sekian bulan aku sholat dan berdoa dalam perasaan yg campur aduk, hingga kemudian aku tergerak untuk memfokuskan ibadah secara khusus dalam rangka menjemput jodoh. Ada doa favorit yg sering aku panjatkan. Doa itu aku peroleh dari kiriman temanku (yg juga lagi galau jodoh). Aku baca siang, malam, hampir tiap hari. Aku mulai mencermati saat2 mustajab untuk berdoa, sbg contoh : pada hari Jumat, setelah adzan, setelah sholat... 

Dan tentu saja template doanya selalu melibatkan kalimat : “Ya Allah, pertemukan hamba dgn jodoh hamba secepatnya.”

Hari demi hari berganti... Setiap hari aku gelisah, kenapa jodohku nggak dateng2 ya? Aku kan udah rajin berdoa. Terkadang, ada perasaan lelah, merasa lelah menjadi orang (yg mengaku) taat. “Oh Tuhan, plis deh. Aku kan udah sholat sejak SD. Aku gak pernah pacaran dari kecil sampe sekarang. Aku berusaha menjaga diri dari pria2 tebar pesona. Tapi mana balasannya? Kenapa teman2ku yg udah pernah gonta-ganti pacar sekarang udah banyak yg menikah?”

Buku karya Asma Nadia & Ajahn Brahm yg aku beli setelah patah hati turut menyelamatkan aku. Aku kemudian menyadari bahwa kekuatan doa tidak bisa dipaksa. Doa itu kekuatan majik yg berjalan dgn caranya sendiri. Dan gak setiap hal yg kita minta akan dibalas saat itu juga sesuai permintaan kita. Bisa jadi doa menjelma menjadi hal2 lain yg seringkali kita remehkan bahkan kita maki. Sbg contoh, nikmat kesehatan dan umur panjang.....Ya oke sih aku belum 100% move on. Tapi menghargai bahwa setelah ditampar patah hati hebat aku tidak bunuh diri sampe sekarang, itu juga sebuah prestasi besar lhoo. 

Begitu juga dgn nikmat berupa “penderitaan.” Seringkali aku memprotes keadaanku yg masih sendiri. “Enaknya punya suami yg bisa nyayang & ngasih perhatian.... enaknya punya anak yg bisa diajak bercanda....Sementara aku.....Duh, umurku sudah berapa, nanti punya anak umur berapa? Duh.. Sedihnya Ya Allah...

Memasuki bulan Dzulhijah, aku merasa ada sesuatu dari diriku yg harus diubah. Maka 10 hari pertama Dzulhijah aku manfaatkan dgn baik. Yg dulu cuma puasa Arafah, kini puasa di awal Dzulhijah lainnya pun aku lakuin. Aku punya keyakinan bahwa hari raya kurban tahun ini aku gak cuma belajar nyembelih atau makan kurban. Aku juga harus belajar mengikhlaskan. Ya, itu yg diajarkan Nabi Ibrahim & Ismail. Sayangnya sejak tgl 6 Dzulhijah aku haid, jadi gak bisa melaksanakan ibadah2. 

Malam Idul Adha aku banyak merenung... Duh, sudah se-setan apakah aku selama ini? Aku masih sering berharap keburukan terjadi pada orang lain, hanya karena keberuntungan tidak berpihak padaku. Malam itu aku bertekad untuk memaafkan orang2 yg pernah menyakitiku, termasuk masnya & mbaknya.... Aku berharap setelah ini aku akan menjadi manusia yg lebih baik (shg segera didekati jodoh).

Keesokan harinya, pagi Idul Adha, saat orang2 kebanyakan pergi sholat Ied, aku hanya mengurung diri di kamar. Aku pun coba menguji nyali, kira2 aku ini udah beneran ikhlas belum ya? Yg aku ingat akhir2 ini mbaknya cukup rajin nulis blog. Awalnya aku pikir mbaknya bakal sering nulis gini : “Oh, betapa bahagianya aku. Aku berhasil menjadi pemenang di antara berjuta wanita yg pernah menjadi korban si mas, hahahaha....” Ternyata dugaanku tidak sepenuhnya benar. Beberapa tulisannya memang ada kata2 bahagia yg bikin aku iri banget sih :(. Sbg contoh, dia pernah cerita bahwa dia bahagia karena menikah dgn pria pilihannya, dia senang ada teman untuk berbagi bersama setiap hari krn dulunya sih cuma bisa ketemu masnya tiap sabtu/minggu. (yg bikin nyesek krn aku aja dulu tuh menahan hawa nafsu banget ya buat ngobrol blablabla sm masnya. Padahal waktu itu pernah dilanda rindu beraat...Sebenernya kalo nekat aku bisa aja langsung tulis surat : Mas, aku tuh falling in love sama kamu, kamu mau gak nikah sama aku? Pokoknya harus mau ya! *sodorin pistol). 

Awalnya aku sangsi, duh aku bakalan bisa gak ya baca tulisannya sampe selese, secara dulu aja aku kepo dikit berita tentang dia dada ini rasanya langsung sesak gak karuan. Ternyata aku cukup “menikmati” penderitaannya. Setan says: “Tuh, Im. Kamu tuh gak seharusnya bersedih hati, ngerasa diri kamu paling menderita krn sendiri & kesepian. Mbaknya aja yg menurut dunia hidupnya beruntung tuh ternyata gak sebahagia yg kamu kira.” Eh bentar..bentar.. itu tadi setannya udah tobat apa gimana kok ngomong gitu? Aku pikir si setan bakalan ngajak aku menertawakan penderitaan si mbak, tp kok dia malah ngajak aku berempati? 

Jadi si mbak cerita bahwa di tulisannya yg terakhir (& super panjang) itu dia mengungkapkan kebahagiaannya krn beberapa waktu lalu dia diberi keajaiban oleh Tuhan. Dia hamil! Oh, wow....ulalaa... (dulu aku sempat ngebayangin skenario drama : pokoknya kalo nanti kita sama2 udah punya anak dewasa, anakku nggak boleh jatuh cinta sama anak dia). Baca tulisan dia “hamil” aja aku langsung terkesima. Oh my God, akankah skenarioku sebentar lagi menjadi kisah nyata? 

Aku baca kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Dan..dan.... jantungku berdegup kencang dgn rasa yg aneh. Entah itu seneng, sedih, atau apa..yg jelas aku merasa naluriku sbg sesama wanita ikut tergerak. Dia berkisah...beberapa waktu setelah dia diketahui hamil, selanjutnya ujian terjadi. Dia beberapa kali mengalami flek yg menyebabkan dia harus bedrest. Hingga puncaknya... dia mengalami flek hebat yg menyebabkan dia harus kehilangan janinnya!! Iya... bayangin, bahkan janinnya ada 2. Ya Allah... kembar! Aku gak bisa bayangin gimana rasanya kalo aku jadi dia, hiks..hiks...

Orang bilang kehilangan anak itu rasanya lebih menyakitkan daripada kehilangan suami. Mungkin memang benar adanya. Kata2 yg dia tulis memang sinetron banget, tapi.. ya aku tahu itu menyedihkan....

Setelah membaca tulisannya aku menjadi merasa bersalah. Aku pun merasa bingung gak menentu... Pengen banget curhat sama orang untuk meluapkan semua emosi yg aku rasakan. Aku WA gangguin orang2. Sayangnya gak ada satupun yg bisa ditelpon untuk jd temen curhat. Iya sih, kan lagi hari Idul Adha, palingan lagi sibuk silaturahim atau potong2 daging. Akhirnya ya aku tulis note ini aja, mencoba waras. 

Dan terbayang kembali bahwa beberapa waktu lalu aku pernah sedemikian jahat. Dalam keadaan marah, sedih, sakit, merasa terdzolimi aku ngomel2 sama Tuhan. Ataukah saat itu ada doaku yg “dikabulkan” oleh Tuhan? Aku bahkan tidak berani menyebut kata2 kasar itu sbg doa. Oh Ya Allah, sungguh sedikit pun aku gak ada niat untuk mencelakai orang lain. Aku hanya terbawa emosi. Dan hamba tahu, Njenengan pasti bijak dalam mengabulkan doa2 hambamu. Njenengan lebih tahu doa mana yg berkualitas untuk dikabulkan atau tidak. 

Aku berusaha menyadarkan diriku bahwa semua yg terjadi adalah suratanNya. Aku terluka, mbaknya terluka, masnya juga terluka.... Oh Ya Allah...baru kali ini aku merasa kisah cinta di serial India itu adalah nyata. Bahagia ternyata bukanlah sebuah takdir. Gak ada di dunia ini takdir Tuhan yg berbunyi : Ya, kamu aku takdirkan bahagia terus...Kamu menderita terus... Kalo kamu jomblo terus...

Bahwa Tuhan Maha Adil terhadap semua makhlukNya adalah benar. Bisa jadi sebenarnya semua hal di dunia ini bersifat netral. Manusia2 lah yg memberi warna & rasa pada kenetralan itu. Peristiwa masnya berjodoh dgn wanita lain adalah netral. Akunya aja yg merasa menjadi wanita paling menderita di dunia krn hal itu. Peristiwa mbaknya keguguran adalah netral. Aku sedih sedikit, dan mbak serta masnya mungkin sedih banget. 

Sampe detik ini aku tidak menjamin bahwa aku sepenuhnya ikhlas dgn apa yg telah terjadi. Namun, bukan berarti aku nggak punya keinginan untuk menjadi manusia yg lebih baik, yg legowo dgn perjalanan hidup. Aku pun mencoba mengikrarkan diri “bahwa aku memutuskan ikhlas” melalui sebuah status di FB. Ya, entah setan atau malaikat apa yg menggerakkan aku untuk sedikit ember. Bisa2nya aku mengatakan pada netizen bahwa 6 bulan ini aku telah patah hati karena dikecewakan manusia. Aku berjuang seperti bayi yg berusaha ikhlas menata perasaan (jd kan gak cuma mbaknya yg sibuk menata hati, dari seneng krn pengantin baru, hamil, kemudian mengikhlaskan calon anaknya). Meskipun demikian, aku telah memutuskan untuk ikhlas. Merasa sakit mungkin krn masih menganggap cinta harus memiliki. Sejak bertahun2 lalu aku jatuh cinta sama masnya, bayanganku selalu melambung tinggi. Ngelihatin fotonya yg lagi senyum aja aku bisa nangis. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta dgn begitu dalam. Sejak dulu aku pun selalu pede dia adalah jodohku. Makanya begitu berhadapan dgn kenyataan, bisa dipastikan duniaku hancur berkeping2, syalala yeyeye.... (alhamdulillahnya sekarang udah bisa menertawakan nasib).

Mungkin aku yg terlalu berpikir positif tentang masnya. Dulu aku terlalu khusnudzon : “Aku kan sudah tiap hari mendoakan masnya biar bahagia, pastilah sekarang masnya lagi mikirin aku”. “Duh, kok masnya nggak pernah ngajak aku ngobrol sih? Cuma senyum2 dari jauh? Mungkin masnya sedang menjaga diri ya. Nanti kalo udah waktunya, masnya pasti bakal ngajak aku ta’aruf.” Itu adalah keyakinan yg terus aku bangun tiap hari untuk membuatku bahagia.

Dan nyatanya...... Aku akhirnya menyadari bahwa : Di saat aku bersusah2 mengingat dia, eh dia lagi mbribik banyak orang. Di saat aku meluangkan waktu mendoakan dia, dia lagi asyik bercengkrama sambil makan (ini bisa disebut pacaran juga kan ya?) dgn wanita (yg salah satunya menjadi istrinya). 

Ah ya sudahlah.. Back to the main topic. Ini kan ceritanya aku lagi mau ikhlas maafin orang nih. Jadi.. serangkaian “tabiat buruknya” di masa lalu seharusnya bisa aku maafkan. Aku nggak bohong kalo sampe saat ini aku masih mikirin dia, tp ya life must go on kan? Anggap aja ini bentuk ujian dalam menemukan jodoh yg sebenarnya. Kebayang nggak sih, ujian sabarnya aja sebesar ini, inshaAllah nanti ketemu jodohnya ya yg istimewa banget, melebihi mas itu berkali2 lipat, ahhaha....

Dan sesuai komitmenku di atas, aku maafin dia apapun yg terjadi. Ya benar, dia udah pernah melukaiku begitu dalam. Tapi aku hanya akan membenci sifatnya, bukan orangnya. Cukuplah, sifat2nya itu jadi pelajaran ke depan agar aku mampu menemukan pria yg lebih baik, pria pilihan Tuhan (kalo si mbak itu bilang dia menikah dgn pria pilihan hatinya, cukuplah aku berniat menikah dgn pria pilihan Tuhan). Aku pun udah mulai bisa berkata “baik” : mendoakan kebahagiaan si mas & si mbak (ya udah sih bikin anak lagi aja sana, masih muda jg sih nggak usah terlalu sedih. Trus gimana nasib gueh yg hampir kepala 3 ini belum punya suami & anak, hiks). Ini prestasi lho... krn sejak aku baca undangannya 6 bulan lalu, aku susah banget buat bilang “semoga si mas & si mbak bahagia.”

Aku sendiri juga bukan orang yg baik. Kalo aku orang baik, ngapain capek2 nulis kegalauan segini panjang, buka aib sendiri & orang lain? Ya terserah sih apa kata orang. Ini sih aku niat utamanya rawat jalan biar sembuh aja...

Aku sedang belajar untuk menerima kekurangan diriku & orang lain. Untuk belajar juga menerima setan2 dalam diriku. Kalo gak ada setan, mungkin aku nggak akan mengakui kebodohan & kegilaanku, amarahku, dendamku,& semua hal yg sebenarnya murni karakterku sendiri, tapi aku terlalu mudah melabeli sbg “dosa & kesalahan”. 

Memeluk setan dalam diriku membuat aku merasa menjadi aku. Ya, aku perlu berterima kasih pada Tuhan karena doa telah mampu mengubah setan & malaikat berteman baik, hingga kemudian aku bisa merasakan sedikit surga dari hatiku yg tidak putih. 



Minggu, 16 April 2017

Buat Mas Heartbreaker...



Sebut saja namanya Mas Tuyul... Yak, nama itu sangat tepat buat dia. Pada tahu kan tuyul itu siapa? Makhluk halus yg konon punya “tugas suci” untuk mencuri uang2 masyarakat yang tidak berdosa. Nah, demikian pula Mas Tuyul, Mas Tuyul telah berhasil menjalankan tugasnya untuk mencuri hatiku yang tidak berdosa ini, huhuhu.... 

Katanya jatuh cinta itu berjuta rasanya. Bangun tidur keinget dia, makan keinget dia, jalan keinget dia, kalo gak tahu kabar dia sedetik pun rasanya ada yg hampa. Yak itu pula “penyakit” yang aku alami.
Kejadiannya berawal sekitar 6 tahun lalu. Saat itu aku hanyalah gadis polos yang mencoba mencari peruntungan nasib dgn belajar lagi biar bisa jadi psikolog. Waktu itu aku cuma tidak tahu aku ini di dunia ini mesti ngapain sih habis jadi sarjana? Aku tidak mau dgn kondisi galau begini trus memaksakan diri untuk bekerja.

Lalu tersebutlah sebuah kisah..... Pada suatu sore, aku yg sedang diburu waktu untuk mencari klien, menyempatkan diri ke koperasi untuk membeli peralatan yg diperlukan dalam praktikum. Saat sedang berjalan menuju kasir, sepintas aku melihat dari arah belakang seorang mas2 yg wajahnya tidak begitu asing tampak sedang memperhatikanku diam2. “Oh, mas yg itu? Njuk ngopo? Mas yg sekarang udah jadi karyawan itu ya? Ya sudah sih cuek aja, toh aku gak kenal2 amat.” Begitu kataku dalam hati. 

Aktivitas praktikum pun berjalan dengan baik, hingga sore harinya aku pulang ke kos. Ternyata ada yg tidak baik2 saja dgn hatiku. “Kok aku jadi penasaran mas itu kayak gimana ya? Coba ah stalking di FB.” Aku pun membuka akunnya, kepo ke sana ke mari. “Hmm... boleh juga. Ada mirip2nya juga dgnku. Sok2 filosofis-sufistik gitu, agak2 pemberontak, tapi dari luar sok jaim kayak kulkas (Ya tapi lebih jaim masnya berkali-kali lipat sih dibanding aku). 

Besoknya aku menjalani aktivitas sbg mahasiswa yg baik di kampus, hingga kemudian aku berjumpa lagi dengannya di kantin. Deg! Kenapa ini, kok tiba2 jantungku berdegup kencang saat kujumpa dia. Terasa ada angin sepoi2 dan bunga2 berjatuhan di sekelilingku (yg ini jelas dramatisasi). Waktu terasa berhenti sesaat. Ow..ow.. jangan2 aku telah jatuh cinta? Olala.. segitu simple-kah alasan untuk jatuh cinta? 

Dan... sejak saat itu hari2ku menjadi berwarna. Aku jadi sering mikirin dia lagi ngapain. Aku sering banget kepo sosmednya. Sesekali kita berjumpa di kampus.. Saat bertemu aku hanya bisa senyum2 sendiri, pengen natap wajahnya tapi gak berani. Deg2an, antara pengen kabur atau datengin dan nyapa dia. 

Masa kuliah yg bikin muntah2 pun jadi agak teralihkan deritanya saat inget masnya. Semacam ada kekuatan yg bikin aku semangat untuk ngerjain tugas (meskipun ya tetep aja IPK gak bisa cumlaude, emang otaknya udah mentok gini). Hingga pada suatu ketika masnya pergi ke kota lain untuk menjalani pelatihan, semacam persiapan sebelum dia ke luar negeri. Saat itu aku lagi disibukkan dengan kerja praktik. Meskipun badan ini sibuk di lapangan berburu kasus, ternyata hati ini tetep gak bisa ikutan sibuk kerja. Sesekali di saat agak luang, aku masih mikirin dia. “Duh, weekeend nih. Masnya bakal pulang ke kotanya nggak ya? Harapannya sih pas aku bimbingan ke kampus bisa ketemu, atau paling nggak pas aku otw ke kotanya aku bisa ketemu di jalan.” 

Ternyata hingga kerja praktik berakhir, aku jarang banget ketemu dia. Namun tetap saja bayangannya terasa dekat banget. Hiks.. miris ya, selama itu aku cuma bisa ngobrol dengan bayangannya. Bahkan saat aku lagi nekad main ke negara lain pun, aku masih mikirin dia. Teman2ku asyik foto2 berwisata, aku masih aja mikir, “Duh, masnya lagi ngapain ya? Coba kalo suatu saat ada kesempatan buat nemenin dia kuliah di negara ini. Hmmm.”

Begitulah... waktu terus berjalan. Hingga akhirnya masnya pun pergi ke luar negeri dalam rangka berusaha memperpanjang gelarnya. Rasanya sebelum dia pergi pengen banget teriak,”Mas... mas... tunggu. Aku punya sesuatu buat kamu, semoga benda ini bisa membuatmu ingat aku. Aku akan menunggumu sampai kamu balik dgn gelar yg lebih panjang.” Nyatanya kata2 ini gak sempat terucap hingga dia beneran pergi. Aku yang saat itu sudah mulai pusing dgn tesis pun masih memiliki niat untuk mencoba mengungkapkan perasaan secara tertulis. Aku duduk di depan laptop selama beberapa jam, mencoba merangkai kata yg singkat namun terkesan elegan. Entah kenapa dada ini terasa sesak... Aku cuma bisa nangis karena menyadari bahwa aku tidak cukup berani untuk mengatakan itu. “Ah ya sudahlah, biarlah perasaan ini dibawa angin saja.”

Hari2 pengerjaan tesis terasa begitu lama bagiku. Tentu saja, karena dibarengi tanda tanya,”Kapan masnya balik ya?”. Aku malah jadi sering bengong di depan laptop, mikirin seseorang yg belum tentu mikirin aku dgn segitunya. Saat tidur, sering aku kebangun tiba2, nangis2 sendiri. Antara nangis mikirin tesis dan nangis karena kangen. 

Hampir aku merasa pesimis dgn kondisiku, “Apa aku bisa menyelesaikan tesis kalau galau begini?”. Tapi aku terus berjuang, dgn keyakinan bahwa : “Emangnya masnya biayain aku kuliah?Kalau aku nangis2 begini apa juga untungnya buat dia ya?”. Akhirnya dgn langkah terseok2 aku pun berhasil lulus. Waktu itu masih berharap, “Coba kalau masnya dateng ke wisudaku ya?”. Tapi ternyata yg datang hanyalah bayang2 semunya. Untung ada bapak dan ibukku yg setia mndampingi sejak wisuda S1. “Oh iya ya, memang yg seharusnya datang ya ortuku, wong yg biayain kuliah ya mereka. Ya ini hadiah biar mereka bangga.”

Setelah resmi jadi psikolog, aku yg saat itu masih mencari jati diri, akhirnya merasa bahagia kembali karena dapat kesempatan untuk ketemu lagi sama masnya. “Horee, bisa ketemu lagi.” Meskipun kali ini ketemu karena hubungan kerja yg resmi banget, aku udah bahagia bisa lihat wajahnya lagi. Tapi... dia seperti biasa, tampang kulkas yg sok ganteng dan tebar pesona. Entahlah, meskipun beberapa teman dekatku sudah mengingatkan tentang “jejak kriminal” mas itu, aku masih saja bertahan pada perasaanku. “Ah, siapa tahu jodoh, siapa tahu ada kesempatan untuk kenal lebih jauh.”

Setahun aku berada dalam satu  forum kerjaan sama dia, tak kusangka aku harus terpaksa pergi dari pekerjaan tersebut dgn perasaan terdzolimi. Aku sempat membenci semua orang yg berkaitan dgn pekerjaan itu, menghapus semua kontak mereka termasuk kontak si masnya. Namun, itu hanya mampu bertahan beberapa saat. “Duh, aku tetap aja kepikiran masnya nih. Pengen balik lagi, kepo lagi.” Aku pun minta kontaknya lagi pada temenku. Beneran kayak ABG labil ya aku. 

Dengan berbekal hati yg sudah tersakiti, aku pun mencoba melangkahkan kaki ke kota tetangga. Mencoba mengais rejeki, setelah diusir oleh orang2 dari kota yg sudah memberiku banyak ilmu selama 10 tahun. Belum jauh2 amat secara jarak dengannya membuat aku masih keterusan berharap. Aku masih aja kepo sosmednya... Aku yg gak kekinian karena gak punya IG pun gak kekurangan akal. Hampir tiap hari aku ngrecoki temenku untuk numpang kepoin IG si mas. Sehari belum kepo si mas ibarat belum makan nasi. 

Katanya cinta itu harus diperjuangkan ya? Bagiku, memperjuangkan dia adalah melalui doa yg aku panjatkan tiap hari. Baik saat habis sholat, saat dalam perjalanan, saat hujan deras, saat sendirian di kamar, dll... Sering banget aku ngerasa sesak, pengen ngomong sama dia, tapi kok rasanya kayak ngomong sama tembok. Pengen memulai chat di WA, nulis di wall FB atau mention di twitter, tapi itu hanyalah angan2 semu.. Pernah aku nekat ngucapin selamat ultah sama dia di message FB. Aku sudah mengumpulkan segenap keberanian untuk melakukan hal itu. Tapi apa balasannya? Nihil. Pernah juga aku melakukan tindakan “bodoh”. Pas aku lagi kepo foto WAnya, gak sengaja kepencet Call. Haduuh, langsung aku matiin HP karena malyuu. Saat itu masnya sebenarnya udah inisiatif hubungin aku balik (dia tahu kalo ada mahkluk iseng gak jelas lagi bingung). Tapi... aku cuma bisa balas beberapa saat kemudian dengan ucapan,”Maaf mas, gak sengaja, khilaf.” 

Bagi beberapa orang upaya untuk menghubungi seseorang yg disukai, trus ngobrol adalah hal yg gampang. Tapii... bagi aku.. ini super susaaah bangeet. Total aku hanya 2 kali menghubunginya lewat WA. Ucapan di WA yg terakhir itu berupa permintaan maaf karena salah satu pihak keluargaku iseng menghubungi dia, karena kepo sebenarnya mas itu tuh ada perasaan gak sih sama aku. Duuh, segitunya ya keluargaku ada yg iseng. Daan aku gak bisa menyalahkan siapa pun, di sisi lain itu bentuk perhatian mereka sama aku. 

Doa.. dibilang ini bentuk usaha yg pasif ya sebenarnya enggak juga. Meluangkan waktu untuk inget dia, untuk kemudian merangkai kata, berharap dia mendapatkan yg terbaik, itu semua butuh kekuatan hati. Ada kalanya aku mengucapkan doa dgn ceplas-ceplos semacam ini : “Tuhan, tolong jadikan dia jodohku. Aku udah berusaha bersabar buat nungguin dia. Aku akan berusaha mengabdi pada dia dgn baik”. Ada pula doa yg agak bersifat kerelaan dan “sufisme”: Tuhan, aku hanya berharap kebahagiaan dan keberkahan buat dia. Terserah dia akan berjodoh dgnku atau tidak. Aku ingin melihat dia sukses di masa depan. Jodohkan kami di akhirat saja ya Tuhan.” 

Entah sudah berapa kali aku berdoa.. Bukan karena aku relijius sih. Itu semua lebih karena bentuk pelampiasanku atas rasa kangen dan semua perasaan yg tak mampu terucap. Lagi bersantai pun aku doain dia, kadang malah disertai dgn adegan cium boneka atau peluk guling. Haha... kok miris banget ya aku sbg wanita kesepian. Kadang habis sholat, cium2 tempat sujud, entah itu aku sadar atau enggak ngelakuinnya. Dan juga sudah tak terhitung berapa liter air mata yg berjatuhan selama aku berdoa (Bisa dijual dijadiin minuman : Es Air Mata Cinta Perawan nih yaa.)

Oh ya, aku juga sering banget ngelihatin foto Wa-nya. Aku sering terkena “waham”, berpikir bahwa dia juga lagi ngelihatin foto WA ku. Kalo dia udah ganti foto gitu, wuiih rasanya bahagia banget. Pengen bilang, “mas fotonya keren lho..” trus dgn sesegera mungkin aku juga ingin ganti foto WA yg paling bagus, biar kelihatan kalo kita kode2an.

Aku memaklumi sifat2nya yg kekanak2an, sok kayak musisi, sok gaul, sok petualang (apalagi petualang cinta, hedeeuh), dan sok pintar. Semacam : Kalo udah jatuh cinta, tahi kucing rasa coklat. “Iya sih, dia nyebelin, punya banyak kekurangan, trus kenapa? Yang penting kan aku suka sama dia.”

Selama terobsesi cinta sama dia, aku pernah beberapa kali minta petunjuk sama Tuhan. “Ya Tuhan, jika memang dia jodohku, tolong perlihatkan dia dalam mimpi.” Dan terbukti, aku pun beberapa kali ketemu dia dalam mimpi. Aku mimpi dateng ke rumahnya lah.. mimpi nembak dia pas lagi di Eropah..mimpi ketemu dia di jalan, mimpi dia di sana sini, ah sudahlah.. udah gak terhitung berapa kali aku mimpiin dia. Pernah juga aku sholat istikharah, habis itu aku tidur, dan dalam mimpi pun masih lihat dia. Karena seolah-olah aku merasa mendapat “petunjuk” dari Tuhan, aku pun pede aja kalo suatu saat dia bakal jadi jodohku. 

Hari2 penuh khayalan dan pengharapan masih terus berjalan, hingga pada suatu hari aku benar2 ditampar kenyataan. Seorang teman dekatku menanyakan sesuatu via WA. “Kamu udah tahu kabar terbaru tentang dia?.” “Emang apaan? Dia udah sebar undangan ya?,” tanyaku ketus. “Bukan dia yg sebar, tapi calonnya.” “Hah, apaaa????” Bener2 kayak disambar petir di pagi yg cerah. Ingin rasanya diri ini teriak dan menangis, tapi harus bisa menahan diri sekuat mungkin. “Aku kan lagi di tempat kerja, nanti aja lah nangisnya di kos.” Aku bekerja dengan dikelilingi anak-anak berkebutuhan khusus setiap harinya. Gara2 patah hati, aku pun jadi bisa melihat mereka dgn lebih dalam. Sbg langkah pertolongan pertama, aku berusaha menghubungi teman2 dekatku lewat WA, nyampah2 sekaligus minta dukungan moral, sehingga aku bisa sedikit “waras” di tempat kerja. 

Sesampainya di kos langsung deh. Huaaa... air mata yg dari tadi tertahan kini sudah tumpah. “Tuhan.. kenapa ini jawaban atas semua doaku? Bukankah Engkau selama ini sudah memberi petunjuk? Apa ada yg salah dgn petunjukMu? Apa ada yg salah dgn takdirMu?”

Semua sumpah serapah pun hadir. Perasaan tidak terima dgn takdir, merasa diri ini sudah banyak berkorban tapi tidak mendapat hasil apa2, merasa sebal karena telah dibohongi oleh laki2 bertopeng buaya, dll. Bingung, kecewa, marah, sedih, semuanya jadi satu. Dan seperti biasa, ketika agak stres berat, asam lambungku naik. Aku gak bisa makan banyak meski laper, cuma bisa masuk beberapa sendok. Malemnya, saat waktu tidur tiba, mataku masih betah melek meskipun sebenarnya ngantuk. Kedip2 sambil mbayangin bahwa peristiwa ini hanyalah mimpi. Nggak tahu mesti ngapain lagi selain nangis. “Biasanya malam gini aku mikirin kamu, pertama bangun yg kuingat cuma kamu. Sekarang aku mesti nginget siapa lagi,hiks..hiks..”

Masa2 menjelang dia menikah adalah saat2 yg berat bagiku. Tiap habis sholat maupun saat sendirian di kamar, aku selalu nangis kenceng. Aku bahkan pernah berdoa agak “jahat.” “Ya Tuhan, apa Kau yakin kalau mereka akan berjodoh? Yg bener? Apa mbak itu udah tahu jelek2nya masnya? Apa dia bakal betah ndampingin masnya? Kenapa nggak sama aku aja ya Allah. Aku kan udah bersabar banget nunggunya, udah terbukti setianya. Gagalkan saja ya Allah, gagalkan saja akadnya. Semoga keajaiban bisa terjadi sebelum akad. Ya Tuhan.. tapi bagaimanapun mas itu bener2 jahat. Dia ngasih perhatian kayak gitu ke para wanita? Dipikirnya wanita itu gak punya hati apa? Huuks...hukks... Tuhan, aku menyesal kenapa pernah menjadi korbannya. Kalo gitu ngapain aku doain dia tiap hari ya, kalo balesannya kayak gini. Dia beneran jahaat, nggak bisa ngerasain ketulusan hati wanita. Ya udah deh, kalo mereka mau berjodoh juga nggak papa. Biar aja nanti masnya ngerasain karma. Pokoknya aku gak terima.”

Namun, di sudut hati yg lain, ada diriku yg seolah2 sedang ngobrol dgn Tuhan. “Ima, Aku kan udah ngabulin doamu. Dulu kamu berusaha belajar ketulusan. Kamu belajar untuk tidak berfokus pada balasan orang yg kamu cintai. Kamu lebih takut dia sengsara dan menderita kan? Bagimu, tidak masalah dia bisa tersenyum bersama orang lain. Itu yg membuat kamu lebih tenang. Paling tidak, dia sudah bahagia dan tidak kesepian. Bukankah kamu pernah bilang pengen seperti matahari yg tulus mencintai bumi, seperti halnya seorang ibu yg melihat anak laki2nya tumbuh dewasa dan berusaha melepasnya dgn penuh kerelaan kan?.” Aku merasa Tuhan sedang berusaha menenangkan aku. Entahlah Tuhan, aku merasa malaikat dan setan sedang bertarung di dalam diriku, berusaha menunjukkan siapa dirinya melalui aku. 

Apa benar hidup akan selalu begini? Apa benar cinta itu butuh perjuangan? Tapi perjuangan yg seperti apa? Ah... aku terus mencari...mencari... dan mencari.... Sepertinya jawaban itu masih terus bersembunyi.
Ya sudahlah..Mas Tuyul. Tidak usah kita bahas lagi siapa yg benar dan salah. Aku cuma pengen bilang sesuatu kok. Ini murni curahan hatiku saja. 

Aku tidak mempertanyakan ilmu yg kamu miliki, karena sudah terbukti keliling2 dunia membuatmu merasa punya banyak pengalaman. Aku juga tidak mempertanyakan imanmu, karena kamu berada di keluarga yg tampaknya relijius, punya banyak kitab, bahkan kamu sudah beberapa kali ke Tanah Suci. Aku juga tidak mempertanyakan parasmu, karena dengan sekali lirik, kamu berhasil membuat wanita2 bertekuk lutut padamu. 

Aku hanya mempertanyakan : Bagaimana akhlakmu, mengapa ilmu dan iman yg kamu miliki tidak mencerminkan kelakuanmu? Kamu bilang wanita makhluk yg seharusnya dihargai. Kamu bilang nggak mau pacaran karena itu haram. Lalu mengapa sikapmu seolah2 seperti orang yg tidak dibekali ilmu dan iman? Apakah lirikan, pandangan mata yg seolah malu2 sambil tersenyum itu kamu bilang menjaga diri? Berapa banyak wanita yg menjadi korban “menjaga diri”mu itu? Berapa banyak wanita yg kamu ajak ngobrol dengan perasaan lalu kamu tingggalkan dgn alasan “maaf saya hanya mencari istri, bukan pacar”? Orang awam pun tahu, bahwa untuk mencari pendamping hidup sesuai etika, kamu gak perlu tebar pesona ke mana2. Apakah dengan memberi perhatian pada banyak wanita, lalu membiarkan mereka menggantungkan harapan, itu semacam sebuah prestasi bagimu?

Ya, aku memang bukan wanita yg benar2 baik atau shalihah. Tapi aku sebagaimana wanita lainnya yg punya hati yg lembut, tentu merasa sakit dgn sikapmu yg “abu2” itu. Seharusnya aku bersyukur kamu tidak menjadi jodohku. Seharusnya aku bersyukur karena terlepas dari penderitaan masa depan. Mungkin aku tidak akan sekuat jodohmu sekarang, jika di masa depan kamu masih saja belum bertobat.

Tapi.. kenapa setelah hampir sebulan kamu melukai hatiku aku masih saja membicarakanmu ya? Apa ini tandanya aku masih menyimpan perasaan padamu? Sepertinya batas antara cinta dan benci memang tipis. Kamu tahu, di saat aku nangis marah2 sama kamu, di saat itu pula aku bisa dengan mudah membayangkan senyum kebahagiaanmu. Terkadang, aku cuma pengen bilang kangen pada angin (karena akan seperti tokoh wanita penggoda dalam sinetron jika aku nekat bilang ke suami orang). 

Apa aku sekarang ini sudah terlihat sebagai wanita bodoh karena hampir 6 tahun menunggumu? Ya..masih gak ada apa2nya dibanding Hachiko yg nungguin majikannya pulang sampai mati sih (aku sih dari dulu udah “mati” karena merindukanmu, eaa). Apa aku terlihat seperti wanita gila karena menulis note curhat sepanjang ini? Terserah apa katamu. Aku juga tidak berharap kamu atau siapapun mau membaca tulisan ini. Namun, jika suatu saat kamu tanpa sengaja membacanya, aku harap kamu mau introspeksi. Bukan untuk minta maaf padaku. Tapi minta maaflah kepada Tuhan karena kamu telah menyakiti makhlukNya. 

Dan bagaimana nasibku sekarang? Hahaa.... tentu saja aku masih mencoba untuk terus hidup. Ya alhamdulillahnya dulu saat aku galau merindukanmu aku tetap berjuang menyelesaikan tesis. Saat orang2 di sekitarmu “mengusir”ku, aku tetap berjuang mencari pekerjaan lagi. Kini aku sedang mensyukuri hari2ku yg bisa rawat jalan gratis di kantor. Saat gak bisa tidur dan gak bisa makan, aku tetap berusaha pergi ke kantor, lalu aku bertemu dengan pasien2 yg memiliki masalah yg mirip denganku (bedanya mereka lebih banyak ngomel2 dan bicara ngelantur). Meskipun masyarakat lain menganggap mereka “tidak waras”, bagiku mereka adalah guru terbaik yg mengajarkanku untuk tidak “lari dari kenyataan”, untuk terus meyakinkan diri bahwa akan sangat lucu jika ada psikolog yg sampai dirawat oleh teman2nya sendiri di kantor. 

Lalu kemana perginya doa2 terindah yg pernah aku ucapkan untukmu dulu? Apakah aku akan melanjutkan doa2ku lagi untukmu? Tentu saja tidak. Kamu toh sudah punya bidadari yg setia mendoakanmu (mungkin sih, aku kan juga gak tahu keseharian mbak itu, hehe). Apakah aku lebih baik bilang ke Semesta : Hei, aku mencabut semua doa2ku yg dulu karena sungguh dia bukan pria yg layak untuk kudoakan? Ah, ngapain. Yang sudah biarlah sudah... Tetap berpikir positif saja pada Semesta. Bukankah doa itu energi netral? Jika terbukti tidak bekerja pada orang yg didoakan, maka Semesta akan tetap menyimpannya untuk orang yg tepat kan? 

Tentang istikharah yg “salah alamat”? Hmm... ini akan menjadi bahan introspeksiku. Mungkin dulu aku terlalu maksa ya..jadi pas berdoa hatiku gak netral, semacam nyuruh Tuhan untuk : “Sudahlah, sama dia aja Tuhan. Tetapkan hatiku untuk milih dia aja.” Sungguh, ucapan doa yg egois. Jadinya, Tuhan pun ngasih petunjuknya “asal2an”. 

Menyesal pernah mencintaimu dengan sangat dalam? Ngg... antara iya dan tidak sih. Iya, karena aku merasa waktu yg terbuang udah cukup banyak. Enam tahun lho aku cuma mikirin satu orang. Sementara kamu, sehari aja bisa tebar pesona ke beberapa orang sekaligus (ya maaf, aku sudah membuktikannya sendiri saat ikut workshop bareng kamu :p). Tidak, karena sesungguhnya aku belajar sesuatu yg “agung”. Tentang makna kesetiaan, cinta tanpa syarat, kesabaran, dan keikhlasan. Mungkin ini tidak akan pernah aku pelajari jika tidak ketemu sama kamu. Jadi, aku berterima kasih sama Tuhan atas pelajaran yg gak ada teorinya ini. Sekali lagi, aku berterima kasih pada Tuhan, bukan sama kamu, karena kamu hanyalah perantara cerita Tuhan di dunia ini. 

Tentu bekal yg sangat berharga ini, berupa hati yg separuh hancur, akan menjadi modal istimewa untuk menemukan pasangan yg lebih baik di kemudian hari. Ya, aku sudah berjalan jauh untuk menemukan jodoh. Ketika bertemu dengan jalan buntu, berarti kini saatnya aku untuk berbelok arah, mencari jalan lain yang lebih jelas petunjuknya untuk mencapai tujuan. Jika saat ini aku berjalan dari kota A menuju kota D, episode patah hati ini telah membawaku berjalan hingga kota C. Aku hanya perlu melanjutkan beberapa langkah lagi karena jodoh sudah semakin dekat. 

“Maka tersenyumlah, Ima... pangeran tampanmu sudah menunggu uluran tanganmu di depan sana. Ayo sambutlah dengan senyuman yang terindah. Lupakan semua sakit hatimu pelan2 yaa... “

Buat mas heartbreaker, demikian tulisan ini aku buat. Semoga mampu menjadikan aku semakin ahli dalam urusan percintaan yg sebenarnya tidak butuh keahlian ini.