Minggu, 27 Oktober 2013

Tuhan dalam Kacamata Psikologi : Upaya Mempersatukan Bangsa Melalui Agama



Beberapa waktu ini berbagai pihak menuntut adanya penghapusan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut salah satu tokoh spiritualis, Anand Khrisna, kolom agama dalam KTP adalah senjata bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bahkan bisa membuat orang saling bunuh. Banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia ditengarai bersumber dari masalah agama yang tertera dalam KTP seseorang. Sebagai contoh, seseorang hanya diterima bekerja berdasarkan agama tertentu, tanpa mempertimbangkan kemampuan kerjanya. Disamping itu, dalam ranah yang lebih luas, pencantuman identitas agama juga bisa berakibat konflik antar suku atau kelompok masyarakat.
Fenomena diatas seolah-olah menggambarkan bahwa penunjukkan identitas agama di hadapan orang lain hanya membawa malapetaka. Namun, apakah benar dengan menyembunyikan identitas diri akan menjamin keselamatan umat beragama? Bukankah kebebasan beragama dan menjalankan ibadah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945?
M.L. Safi dalam tulisannya yang berjudul Overcoming the Religious-Secular Divide: Islam’s Contribution to Civilization menyatakan bahwa agama secara garis besar menjawab tiga pertanyaan utama dari eksistensi manusia, yakni dari mana manusia berasal, tujuan hidup manusia, dan nasib manusia. Sekilas hal ini tampak seperti topik yang dibahas dalam diskusi filsafat, namun perbedaannya terletak pada sudut pandang. Filsafat hanya menggunakan sudut pandang rasional, sedangkan agama selain menggunakan sudut pandang rasional juga menggunakan derajat keyakinan. Dengan demikian dasar pemikiran agama bukan hanya rasionalitas, tetapi juga kedekatan emosional.
Pendapat tersebut menyiratkan bahwa dalam beragama seseorang hendaknya tidak hanya mengedepankan prinsip benar-salah, tetapi juga menggunakan perasaan untuk dapat memaknai unsur kedamaian dan kemanusiaan yang terkandung dalam tiap agama. Apabila seseorang hanya menganggap agama yang dia anut sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai surga dengan merendahkan agama lainnya sebagai agama yang salah, maka pemikiran dikotomi akan terus berkembang dalam dirinya. Orang tersebut selanjutnya akan membatasi pengetahuannya tentang agama pada agama yang dia anut saja. Dia tidak memiliki keinginan untuk menghargai agama atau keyakinan orang lain karena beranggapan bahwa agama lain tidak lebih baik daripada agamanya. Sikap yang tidak terbiasa untuk mengenal perbedaan inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya diskriminasi agama pada masyarakat Indonesia.
Setiap agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, sehingga apabila seseorang belajar suatu agama kemudian bertemu dengan orang yang mempelajari agama lainnya seharusnya kedua orang tersebut akan menemukan titik-titik kesamaan dalam memandang kebaikan. Sebagai contoh, umat Islam yang membaca Q.S. Hujurat:11 yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang (diolok-olokkan) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan),…” ketika bertemu dengan umat Buddha yang membaca petuah Buddha Gautama yang mengatakan bahwa,”Kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian, tetapi hanya akan berakhir dengan cinta kasih” seharusnya memiliki pandangan yang sama tentang perdamaian. Kedua ajaran agama tersebut menghendaki umatnya untuk tidak saling membenci dan mengolok-olok. Sebaliknya, kesamaan derajat dalam memandang manusia serta cinta kasih merupakan hal yang ditekankan oleh agama untuk menghindari perseteruan antar manusia.
Kebebasan beragama hendaknya benar-benar diakui sebagai hak yang dilindungi oleh negara. Untuk mendukung terwujudnya perlindungan hak asasi secara optimal, maka diperlukan sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia. Sikap toleransi ini akan dapat dicapai ketika seseorang telah memahami dirinya dengan baik. Dalam pandangan psikologi, pemahaman terhadap diri merupakan tahap perkembangan awal yang menjadi penentu bagaimana seseorang akan melihat dunia secara luas pada masa dewasanya.
Pada awalnya manusia mengembangkan kesadaran dengan melihat dirinya sebagai individu, yakni sebagai bagian yang menyatu sekaligus  terpisah dari alam. Hal ini merupakan dikotomi antara konsep kelekatan dan keterpisahan. Selanjutnya, manusia memiliki kebutuhan jiwa untuk mencari orientasi serta objek pengabdian. Objek pengabdian tidak harus berupa benda dan agama merupakan sarana yang bisa menyediakan objek pengabdian dalam suatu komunitas. Demikian yang dijelaskan Jan Dietrich dalam artikel yang berjudul The Religious Understanding of Erich Fromm. Menurut Fromm, agama didefinisikan sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan atau sesuatu yang bersifat suci.
         Sementara itu, menurut tokoh psikologi humanistik-eksistensial, yakni Carl G. Jung, Tuhan merupakan bagian yang dapat terefleksikan dalam diri manusia. Ann Belford Ulanov dalam tulisannya, Jung and Religion: The Opposing Self menjelaskan tentang pendapat Jung yang memandang Tuhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Diri (Self). Hal ini menunjukkan fungsi Self sebagai pusat, sumber, titik asal, dan wadah. Tuhan yang bersifat transenden (di luar pemahaman manusia) berbicara kepada kita melalui “penggambaran tentang Tuhan” (God-images). Hal ini memungkinkan Tuhan dapat berada di dekat kita dalam “atribut” manusia atau istilah lainnya yang dapat kita pahami. Namun, pada saat yang bersamaan, tidak ada gambar terbatas yang mampu meliputi Tuhan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, penggambaran kita dapat mengalami kesalahan karena tidak ada penggambaran manusia yang dapat menjangkau keseluruhan sifat Tuhan yang dapat dimengerti.
         Apabila masyarakat Indonesia mampu menyadari kebebasan beragama sebagai proses yang alami dalam perkembangan setiap manusia, maka tidak akan ada keinginan untuk memaksakan suatu agama kepada orang lain atau memandang rendah agama lain. Masing-masing orang akan memiliki penghargaan atas apa yang dipilih orang lain, sebagaimana dia menghargai apa yang dia pilih sendiri. Beragama adalah proses untuk menemukan dan meyakini konsep tentang Tuhan serta cara beribadah kepadaNya. Pada masa kecil seseorang memang biasanya diarahkan oleh orang tuanya dalam memilih suatu agama. Namun, seiring berjalannya waktu, setiap manusia dewasa memiliki kemampuan untuk menentukan agama yang sesuai untuk dia yakini sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan. Perbedaan dalam memilih agama antara satu orang dengan orang lainnya merupakan hal yang alami, sebagaimana pendapat Jung yang menyatakan bahwa penggambaran manusia terhadap Tuhan bersifat terbatas sehingga kebenaran hal yang diyakini manusia pun bersifat relatif. Seseorang memilih menjadi muslim karena meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar menurutnya, akan tetapi di satu pihak ada orang lain yang memilih untuk memeluk Kristen karena meyakini bahwa itu adalah agama yang benar menurutnya.
         Semakin kaya suatu bangsa dengan keanekaragaman, maka tantangan untuk menjaga kesatuan bangsa pun semakin besar. Demikian halnya yang dialami oleh Indonesia. Tentu tidak mudah mempersatukan seluruh masyarakat dalam jumlah besar serta karakter yang  bermacam-macam. Perbedaan karakter tersebut memang rentan menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu diperlukan suatu alat untuk mempersatukan bangsa ini. Agama sebagai pengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan sebenarnya bisa menjadi sarana untuk mempersatukan bangsa ketika setiap pemeluk agama meyakini adanya kebaikan universal dalam agama yang mereka anut. Di saat seseorang menemui perselisihan dengan orang lain dan kembali pada ajaran agama, maka setiap agama telah memberikan solusi untuk mewujudkan perdamaian. Hal yang perlu dimiliki oleh setiap pemeluk agama adalah kepekaan untuk melihat adanya “kesamaan” di antara perbedaan-perbedaan yang tampak mencolok.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar