Beberapa waktu ini
berbagai pihak menuntut adanya penghapusan kolom agama dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Menurut salah satu tokoh spiritualis, Anand Khrisna, kolom agama dalam KTP adalah senjata
bagi orang-orang yang tidak bertanggungjawab, bahkan bisa membuat orang saling
bunuh. Banyaknya kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia ditengarai
bersumber dari masalah agama yang tertera dalam KTP seseorang. Sebagai contoh, seseorang
hanya diterima bekerja berdasarkan agama tertentu, tanpa mempertimbangkan
kemampuan kerjanya. Disamping itu, dalam ranah yang lebih luas, pencantuman
identitas agama juga bisa berakibat konflik antar suku atau kelompok
masyarakat.
Fenomena diatas seolah-olah menggambarkan bahwa penunjukkan
identitas agama di hadapan orang lain hanya membawa malapetaka. Namun, apakah
benar dengan menyembunyikan identitas diri akan menjamin keselamatan umat
beragama? Bukankah kebebasan beragama dan menjalankan ibadah diatur dalam
Undang-undang Dasar 1945?
M.L. Safi dalam tulisannya yang berjudul Overcoming the
Religious-Secular Divide: Islam’s Contribution to Civilization menyatakan bahwa agama secara garis besar menjawab tiga
pertanyaan utama dari eksistensi manusia, yakni dari mana manusia berasal,
tujuan hidup manusia, dan nasib manusia. Sekilas hal ini tampak seperti topik
yang dibahas dalam diskusi filsafat, namun perbedaannya terletak pada sudut
pandang. Filsafat hanya menggunakan sudut pandang rasional, sedangkan agama
selain menggunakan sudut pandang rasional juga menggunakan derajat keyakinan.
Dengan demikian dasar pemikiran agama bukan hanya rasionalitas, tetapi juga
kedekatan emosional.
Pendapat tersebut menyiratkan bahwa dalam beragama seseorang
hendaknya tidak hanya mengedepankan prinsip benar-salah, tetapi juga
menggunakan perasaan untuk dapat memaknai unsur kedamaian dan kemanusiaan yang
terkandung dalam tiap agama. Apabila seseorang hanya menganggap agama yang dia
anut sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai surga dengan merendahkan agama
lainnya sebagai agama yang salah, maka pemikiran dikotomi akan terus berkembang
dalam dirinya. Orang tersebut selanjutnya akan membatasi pengetahuannya tentang
agama pada agama yang dia anut saja. Dia tidak memiliki keinginan untuk
menghargai agama atau keyakinan orang lain karena beranggapan bahwa agama lain
tidak lebih baik daripada agamanya. Sikap yang tidak terbiasa untuk mengenal
perbedaan inilah yang kemudian menjadi pemicu munculnya diskriminasi agama pada
masyarakat Indonesia.
Setiap agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan, sehingga
apabila seseorang belajar suatu agama kemudian bertemu dengan orang yang
mempelajari agama lainnya seharusnya kedua orang tersebut akan menemukan
titik-titik kesamaan dalam memandang kebaikan. Sebagai contoh, umat Islam yang membaca
Q.S. Hujurat:11 yang artinya,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka yang
(diolok-olokkan) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan),…” ketika
bertemu dengan umat Buddha yang membaca petuah Buddha Gautama yang mengatakan
bahwa,”Kebencian tidak akan
berakhir bila dibalas dengan kebencian, tetapi hanya akan berakhir dengan cinta kasih”
seharusnya memiliki pandangan yang sama tentang perdamaian. Kedua ajaran agama
tersebut menghendaki umatnya untuk tidak saling membenci dan mengolok-olok. Sebaliknya,
kesamaan derajat dalam memandang manusia serta cinta kasih merupakan hal yang ditekankan
oleh agama untuk menghindari perseteruan antar manusia.
Kebebasan
beragama hendaknya benar-benar diakui sebagai hak yang dilindungi oleh negara. Untuk
mendukung terwujudnya perlindungan hak asasi secara optimal, maka diperlukan
sikap toleransi antar umat beragama di Indonesia. Sikap toleransi ini akan
dapat dicapai ketika seseorang telah memahami dirinya dengan baik. Dalam
pandangan psikologi, pemahaman terhadap diri merupakan tahap perkembangan awal
yang menjadi penentu bagaimana seseorang akan melihat dunia secara luas pada
masa dewasanya.
Pada
awalnya manusia mengembangkan kesadaran dengan melihat dirinya sebagai
individu, yakni sebagai bagian yang menyatu sekaligus terpisah dari alam. Hal ini merupakan
dikotomi antara konsep kelekatan dan keterpisahan. Selanjutnya, manusia
memiliki kebutuhan jiwa untuk mencari orientasi serta objek pengabdian. Objek
pengabdian tidak harus berupa benda dan agama merupakan sarana yang bisa
menyediakan objek pengabdian dalam suatu komunitas. Demikian
yang dijelaskan Jan Dietrich dalam artikel yang berjudul The Religious Understanding of Erich Fromm. Menurut Fromm, agama
didefinisikan sebagai hubungan antara manusia dengan Tuhan atau sesuatu yang
bersifat suci.
Sementara
itu, menurut tokoh psikologi humanistik-eksistensial, yakni Carl G. Jung, Tuhan
merupakan bagian yang dapat terefleksikan dalam diri manusia. Ann Belford Ulanov dalam tulisannya, Jung and Religion: The Opposing Self menjelaskan tentang pendapat
Jung yang memandang Tuhan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Diri (Self). Hal ini menunjukkan
fungsi Self sebagai pusat, sumber,
titik asal, dan wadah. Tuhan yang bersifat transenden
(di luar pemahaman manusia) berbicara kepada kita melalui “penggambaran tentang
Tuhan” (God-images). Hal ini memungkinkan
Tuhan dapat berada di dekat kita dalam “atribut” manusia atau istilah lainnya
yang dapat kita pahami. Namun, pada saat yang bersamaan, tidak ada gambar
terbatas yang mampu meliputi Tuhan yang tidak terbatas. Oleh karena itu,
penggambaran kita dapat mengalami kesalahan karena tidak ada penggambaran
manusia yang dapat menjangkau keseluruhan sifat Tuhan yang dapat dimengerti.
Apabila
masyarakat Indonesia mampu menyadari kebebasan beragama sebagai proses yang
alami dalam perkembangan setiap manusia, maka tidak akan ada keinginan untuk
memaksakan suatu agama kepada orang lain atau memandang rendah agama lain. Masing-masing
orang akan memiliki penghargaan atas apa yang dipilih orang lain, sebagaimana
dia menghargai apa yang dia pilih sendiri. Beragama adalah proses untuk
menemukan dan meyakini konsep tentang Tuhan serta cara beribadah kepadaNya.
Pada masa kecil seseorang memang biasanya diarahkan oleh orang tuanya dalam
memilih suatu agama. Namun, seiring berjalannya waktu, setiap manusia dewasa
memiliki kemampuan untuk menentukan agama yang sesuai untuk dia yakini sebagai
pegangan dalam menjalani kehidupan. Perbedaan dalam memilih agama antara satu
orang dengan orang lainnya merupakan hal yang alami, sebagaimana pendapat Jung
yang menyatakan bahwa penggambaran manusia terhadap Tuhan bersifat terbatas sehingga
kebenaran hal yang diyakini manusia pun bersifat relatif. Seseorang memilih
menjadi muslim karena meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar menurutnya,
akan tetapi di satu pihak ada orang lain yang memilih untuk memeluk Kristen
karena meyakini bahwa itu adalah agama yang benar menurutnya.
Semakin
kaya suatu bangsa dengan keanekaragaman, maka tantangan untuk menjaga kesatuan
bangsa pun semakin besar. Demikian halnya yang dialami oleh Indonesia. Tentu
tidak mudah mempersatukan seluruh masyarakat dalam jumlah besar serta karakter
yang bermacam-macam. Perbedaan karakter
tersebut memang rentan menimbulkan perselisihan. Oleh karena itu diperlukan
suatu alat untuk mempersatukan bangsa ini. Agama sebagai pengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhan sebenarnya bisa menjadi sarana untuk mempersatukan
bangsa ketika setiap pemeluk agama meyakini adanya kebaikan universal dalam
agama yang mereka anut. Di saat seseorang menemui perselisihan dengan orang
lain dan kembali pada ajaran agama, maka setiap agama telah memberikan solusi
untuk mewujudkan perdamaian. Hal yang perlu dimiliki oleh setiap pemeluk agama
adalah kepekaan untuk melihat adanya “kesamaan” di antara perbedaan-perbedaan
yang tampak mencolok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar