Ini ceritanya adalah saya lagi
meditasi. Ya, saya & teman-teman lagi meditasi di Dix*e, hehe….. Meditasi
yg menyenangkan bukan? Siapa bilang meditasi harus di kuburan, gua, hutan, atau
tempat sepi lainnya?
Jadi, kenapa malam ini saya
memutuskan meditasi? Banyak alasannya, teman-teman. Salah satunya adalah karena
saya merasa ditampar Semesta pagi ini, huhuhuhu, hiks..hiks…hiks….
Yak, saya merasa ditampar, merasa
diserang akan sebuah kenyataan. Merasaa, lagi-lagi pengen menghilang dari
kenyataan. Hey, bahkan tadi pagi saya sempat terlontar begini,”Tuhan, saya
ingin mati aja. Enak kali ya hilang dari dunia ini? Saya tidak sanggup, Tuhan.
Huks…huks…” Mungkin emang gini ya yg dirasakan oleh orang-orang depresi, merasa
tidak sanggup melihat dunia karena menganggap bahwa itu adalah hal yg
menyakitkan.
Oke, saya berikan kesempatan pada
diri untuk menangis. Sebenarnya sangat mudah bagi saya untuk berkata,”Sabar,
ini hanya ujian yg sangat kecil. Kamu kan sudah terbiasa bermeditasi, berfilosofi,
berkontemplasi…. Bukankah ini sangat mudah. Kamu hanya tinggal berkata,
‘Semuanya adalah fana. Apa yg dikhawatirkan dari rasa sedih & takut? Itu
hanya sesuatu yg membuatmu jatuh di dunia. Sudahlah, berdoa saja pada Tuhan.
Berlindunglah hanya pada Tuhan, jangan terpaku pada makhluk-makhluk yg
mengancam.”
Bisa sih, tapi saat itu saya
sedang ingin menunjukkan eksistensi saya sebagai manusia biasa. Sebagai manusia
yg juga pernah terluka. Saya memaki diri saya sendiri, memaki orang lain,
memaki situasi, & memaki apapun yg bisa dimaki. Dan aaaah, menyenangkan
sekali bisa menangis lepas. Oke Ima, keluarkan….keluarkkkan semuanya. Fyuuh,
yak tarik napas. Cukup. Waktunya kembali ke kenyataan.
Kamu masih bisa mengingat Tuhan
kan, Ma? Masih bisa berbicara dengan Tuhan? Oke, hadirkan Tuhan dalam dirimu
sekarang ya. Lirih, lembut… dan saya pun mendengar Dia berbicara. Saya
benar-benar merasa Tuhan ada di kamar saya. Memeluk saya, tidak beranjak pergi
dan menyediakan diriNya secara penuh untuk mendengarkan semua keluhan saya.
Saya sempat merasa kecil, keciil sekali. Merasa tidak berarti. Merasa saya
tidak pantas menjadi apa-apa. Hingga kemudian Dia datang,”Hai Ima…. Jangan
pernah merasa kecil. Kamu yakin kan bahwa Aku berada dalam dirimu? Kamu
seharusnya juga yakin bahwa apa yg kamu lakukan bukanlah main-main. Kamu bisa
berpikir dengan sangat matang, kamu cukup dewasa, kamu cukup bijak untuk mampu
menyadari semua ini. Kamu cukup kuat untuk menghadapi kenyataan. Jadi, jangan
pernah sepelekan Aku ya, jangan sepelekan Aku yg berada dalam dirimu. Biarkan
Aku melakukan proses terhadap apa yg menjadi tanggungjawabKu. Aku sudah
merencanakannya dengan sangat matang.”
Saya sangat termotivasi dengan
kata-kata itu. Perlahan saya pun merasa “membesar.” Benar sekali Tuhan. Semua rencanamu
adalah benar. Saya sempat merasa sangat kecil dan bodoh. Tapi satu hal yg
menjadi sumber kekuatan saya, ketika saya berhasil menemukanMu. Sedikit saja
saya lengah & tidak mampu mempertahankan kondisi “terjaga,”maka saya
benar-benar akan tersesat dan tidak tahu ke mana harus melangkah.
Dan saya pun merenung,
mengatasnamakan itu sebagai meditasi sih. Saya terdiam, mencoba untuk
“terbang”, melepaskan diri dari kemelekatan hidup. Saya memang belum ahli.
Mungkin para biksu atau pendeta sudah sangat paham dengan hal ini. Tapi
bagaimanapun Tuhan adalah milik semua orang. Maka menjadi dekat denganNya dan
bisa melepaskan diri adalah hak semua orang juga.
Melepaskan diri itu bagi saya…..
adalah sebuah konsep untuk melepaskan semua atribut sebagai manusia. Saya masih
belajar, tapi tadi saya sempat berhasil lho, cuma beberapa menit sih. Rasanya
luar biasa damai. Saya tahu suatu saat nanti pun saya akan mati, itu adalah
bukti konkrit bahwa kemelekatan adalah fana. Bagaimanapun kemelekatan ini harus
dilepaskan. Saya sungguh berharap, ketika mati nanti saya benar-benar dalam
kondisi “lepas”. Saya sudah benar-benar
tidak berpikir lagi, setelah ini saya akan ke surga atau neraka, setelah ini
saya akan dianggap sebagai orang baik atau tidak. Saya ingin di hati saya hanya
ada Tuhan. Hanya memikirkan bagaimana proses penyatuan denganNya akan semakin
nyata. Saya tidak ingin terikat dalam belenggu kisah-kisah semasa hidup saya
yang memberatkan.
Hmmm, pasti akan damai sekali ya
pertemuan saya denganNya. Sungguh saya ingin mempersembahkan kondisi terbaik
saya untukNya nanti. Maka sejak sekarang pun saya ingin belajar untuk bisa
melepaskan diri. Melepaskan diri dari orang-orang tersayang, dari semua harapan
dan kesuksesan, dari semua luka & kesedihan….. Ya, bukankah kebahagiaan
& kesedihan hanya bersifat pinjaman? Tidak permanen dan tidak mampu
diawetkan.
Pandai sekali Tuhan menciptakan
kehidupan ini begitu singkat ya? Hingga kemudian manusia pun terpacu untuk
memaknainya dengan mendalam. Demikian pula dengan saya. Menyadari bahwa hidup
ini begitu singkat membuat saya merasa “wajib” untuk memaknainya. Adapun
pemaknaan yg saya lakukan saat ini masih bersifat parsial. Saya merasa mampu
menemukan kekuatan dan keberanian ketika menulis. Menyendiri di dalam kamar
adalah saat-saat di mana saya merasa mendapat porsi penuh untuk berbicara
dengan diri dan Tuhan. Namun dalam kehidupan nyata, saya merasa tidak percaya
diri untuk melakukannya. Saya seperti tidak punya muka untuk menjadi filosofis.
Saya seperti merasa…”Tuhan, tanggung jawab untuk menyampaikan pemaknaan pada
orang lain itu terlalu berat. Bagaimana kalau nanti saya dicecar? Bagaimana
kalau mereka menyerangku dengan ribuan pertanyaan? Bagaimana jika saya tidak
bisa menemukan insight secara cepat
untuk membawa mereka kembali pada pemaknaan yang ‘benar’?”
Pemaknaan yg “benar”? Heei,
tampaknya ada yg salah dengan konsep “benar.” Kebenaran macam apa yg kau
takutkan Ima? Kau hanya takut untuk menjadi berbeda kan? Kau hanya takut ketika
identitas aslimu sebagai kaum “penentang” diketahui orang lain kan? Kamu hanya mau bersembunyi dalam zona nyaman
kan? Ketika semua orang menganggapmu sebagai orang normatif, kompromis, dan
itulah yang membuatmu takut untuk bersuara. Kamu hanya merasa dunia akan
baik-baik saja ketika kamu tersenyum pada semua orang dan mereka pun tersenyum
padamu kan?
Apa kamu nggak kasihan Ima,
ketika kamu terus memaksa “kekuatan” dalam dirimu untuk bersembunyi? Kehilangan
haknya untuk menyampaikan apa yg seharusnya ingin dia sampaikan? Apakah tidak
cukup waktu untuk menyadari bahwa sesungguhnya kamu ini “istimewa”? Apakah
tidak cukup note-note yg kamu tulis selama ini membuatmu “terbangun”? Apakah
tidak cukup bisikan-bisikan dalam dirimu ini membuatmu berani bergerak?
Yah, hari ini saya takut. Hari
ini saya takut ketika saya mulai tahu bahwa orang lain telah menyadari
keberadaan diri saya “yang lain.” Saya takut dengan diri saya sendiri. Saya
takut ketika menyadari bahwa keberanian saya sudah mulai muncul, bahwa
keberanian saya untuk menjadi diri sendiri sudah terpancar.
Mengherankan memang, saya takut
dengan keberanian yg saya miliki? Whaat?? Ternyata menyapa keberanian diri saya
itu bukan hal yg mudah ya? Menyapa dia untuk sekedar berkata,”Hai keberanian, selamat datang! Selamat melakukan
peranmu untuk menjadi jalan bagiNya dalam membuat orang lain menemukan proses
hidup. Hai, keberanian! Teruslah berjalan untuk menjadi saksi, bahwa tangan
Tuhan benar-benar bergerak. Hai, keberanian! Kau tidak perlu merisaukan yg kau
lakukan ini benar atau salah, pandai atau bodoh, bijak atau ceroboh. Bukankah
kau telah belajar untuk melepas kemelekatan? Ya, itu adalah pelajaran yg sudah
kau kemas dengan sangat cantik. Dalam pelepasan diri tidak ada lagi judgement,
tidak ada lagi justification. Dalam pelepasan hanya ada kebebasan. Dalam
pelepasan hanya ada Tuhan. Kau tidak perlu lagi berpikir atau mengkhawatirkan
sesuatu.
Lalu, adakah yg salah dengan
mengingat Tuhan? Ketika semua orang menghujatmu dan kau masih bisa mengingat
Tuhan, bukankah itu hebat? Ketika kau benar-benar menyadari bahwa dalam hujatan
mereka pun Tuhan masih sanggup “hidup”, apakah kau akan menjadi lemah dalam
menghadapi mereka?
Kau tahu Ima, tokoh2 yg selama
ini kau kagumi: Mahatma Gandhi, Muhammad, Mother Theresa, Buddha, Jalaluddin
Rumi, Carl Jung, Victor Frankl, bukanlah orang-orang yg tidak pernah
berkonflik. Mereka berpendapat, mereka menulis, itu karena mereka mampu
melakukan pemaknaan mendalam atas apa yg mereka hadapi. Kau tahu mengapa hingga
kini pendapat-pendapat mereka masih sanggup membuat banyak orang termotivasi
meskipun mereka tidak hadir lagi secara fisik di dunia? Itu karena mereka
menyadari bahwa pemaknaan hidup adalah harta paling berharga yg bisa mereka
wariskan untuk dunia dan generasi selanjutnya. Karena mereka sadar bahwa mereka
tidak hanya hidup untuk kebahagiaan mereka sendiri. Karena mereka menyadari
bahwa surga adalah milik bersama. Karena mereka menyadari bahwa di dunia ini
tidak ada yang abadi kecuali Tuhan.
Lalu apa yang harus dipermasalahkan
dengan konflik? Jika konflik adalah sebuah sekolah untuk menjadikan kita
semakin bermakna, apakah konflik harus dilihat dari segi benar dan salah?
Bagaimana jika benar dan salah itu hanya konsep yang dibuat manusia untuk
membuatnya tenang? Ketika dia merasa benar, maka membawa seseorang pada posisi salah
adalah kemenangannya. Saya tidak tahu apakah Tuhan sungguh-sungguh
memperhatikan kebenaran dan kesalahan sebagai alat untuk membuatnya kinerjanya
diakui manusia? Saya tidak tahu apakah manusia menjadi bahagia sepenuhnya
ketika menganggap kebenaran adalah senjatanya untuk masuk surga?
Saya sungguh tidak tahu dan saya
sungguh tidak berkeinginan untuk tahu. Mungkin saat ini saya (beserta himpunan
makhluk bernama manusia lainnya) masih sering terjebak dalam standar-standar
yang kita buat sendiri. Kita masih sering berbangga, ketika kita dianggap satu
jalur dengan standar itu. Dan lalu mengabaikan yang lain, mengabaikan bahwa
dalam keinginan mereka untuk keluar dari standar tersimpan makna kebebasan yang
luar biasa agung. Kita terlalu takut untuk keluar dari standar, sejenak
berpikir tanpa “pegangan.” Kita takut tidak akan bisa selamat tanpa standar.
Yaa, kita (lebih tepatnya saya) masih sering berpikir seribu kali sebelum
memulai kebebasan.
Kebebasan itu sejatinya adalah
milik setiap unsur semesta. Tapi bukankah alam semesta diciptakan dengan penuh
keteraturan? Lalu apa yg dimaksud kebebasan? Apakah ada kebebasan dalam
keterikatan? Dan semesta pun menjawab, dengan keyakinannya yang tak terhingga:
Dalam rahasia malam, dalam rahasia siang, di situlah kebebasan bersemayam.
Ketika kau hanya menyadari siang adalah waktu bagi matahari untuk bekerja dan
malam adalah waktu bagi bulan untuk berjaga, maka kau hanya hidup dalam
duniamu. Kau tahu untuk apa hujan diciptakan? Untuk mengingatkanmu bahwa air
bisa bekerja dalam semua kondisi, dalam panasnya siang maupun dalam pekatnya
malam. Itulah bukti bahwa semesta benar-benar bebas.
Sekian note dari saya, semoga
kita senantiasa menjadi golongan yang “bangun” dan “membangun”
Salam hormat
Ima
Atas nama kegalauan
hari ini dan berbagai hal yg telah sudi menginspirasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar