Rabu, 23 Januari 2013

Tentang Melepas Kemelekatan


Ini ceritanya adalah saya lagi meditasi. Ya, saya & teman-teman lagi meditasi di Dix*e, hehe….. Meditasi yg menyenangkan bukan? Siapa bilang meditasi harus di kuburan, gua, hutan, atau tempat sepi lainnya?

Jadi, kenapa malam ini saya memutuskan meditasi? Banyak alasannya, teman-teman. Salah satunya adalah karena saya merasa ditampar Semesta pagi ini, huhuhuhu, hiks..hiks…hiks….

Yak, saya merasa ditampar, merasa diserang akan sebuah kenyataan. Merasaa, lagi-lagi pengen menghilang dari kenyataan. Hey, bahkan tadi pagi saya sempat terlontar begini,”Tuhan, saya ingin mati aja. Enak kali ya hilang dari dunia ini? Saya tidak sanggup, Tuhan. Huks…huks…” Mungkin emang gini ya yg dirasakan oleh orang-orang depresi, merasa tidak sanggup melihat dunia karena menganggap bahwa itu adalah hal yg menyakitkan. 

Oke, saya berikan kesempatan pada diri untuk menangis. Sebenarnya sangat mudah bagi saya untuk berkata,”Sabar, ini hanya ujian yg sangat kecil. Kamu kan sudah terbiasa bermeditasi, berfilosofi, berkontemplasi…. Bukankah ini sangat mudah. Kamu hanya tinggal berkata, ‘Semuanya adalah fana. Apa yg dikhawatirkan dari rasa sedih & takut? Itu hanya sesuatu yg membuatmu jatuh di dunia. Sudahlah, berdoa saja pada Tuhan. Berlindunglah hanya pada Tuhan, jangan terpaku pada makhluk-makhluk yg mengancam.”

Bisa sih, tapi saat itu saya sedang ingin menunjukkan eksistensi saya sebagai manusia biasa. Sebagai manusia yg juga pernah terluka. Saya memaki diri saya sendiri, memaki orang lain, memaki situasi, & memaki apapun yg bisa dimaki. Dan aaaah, menyenangkan sekali bisa menangis lepas. Oke Ima, keluarkan….keluarkkkan semuanya. Fyuuh, yak tarik napas. Cukup. Waktunya kembali ke kenyataan. 

Kamu masih bisa mengingat Tuhan kan, Ma? Masih bisa berbicara dengan Tuhan? Oke, hadirkan Tuhan dalam dirimu sekarang ya. Lirih, lembut… dan saya pun mendengar Dia berbicara. Saya benar-benar merasa Tuhan ada di kamar saya. Memeluk saya, tidak beranjak pergi dan menyediakan diriNya secara penuh untuk mendengarkan semua keluhan saya. Saya sempat merasa kecil, keciil sekali. Merasa tidak berarti. Merasa saya tidak pantas menjadi apa-apa. Hingga kemudian Dia datang,”Hai Ima…. Jangan pernah merasa kecil. Kamu yakin kan bahwa Aku berada dalam dirimu? Kamu seharusnya juga yakin bahwa apa yg kamu lakukan bukanlah main-main. Kamu bisa berpikir dengan sangat matang, kamu cukup dewasa, kamu cukup bijak untuk mampu menyadari semua ini. Kamu cukup kuat untuk menghadapi kenyataan. Jadi, jangan pernah sepelekan Aku ya, jangan sepelekan Aku yg berada dalam dirimu. Biarkan Aku melakukan proses terhadap apa yg menjadi tanggungjawabKu. Aku sudah merencanakannya dengan sangat matang.”

Saya sangat termotivasi dengan kata-kata itu. Perlahan saya pun merasa “membesar.” Benar sekali Tuhan. Semua rencanamu adalah benar. Saya sempat merasa sangat kecil dan bodoh. Tapi satu hal yg menjadi sumber kekuatan saya, ketika saya berhasil menemukanMu. Sedikit saja saya lengah & tidak mampu mempertahankan kondisi “terjaga,”maka saya benar-benar akan tersesat dan tidak tahu ke mana harus melangkah. 

Dan saya pun merenung, mengatasnamakan itu sebagai meditasi sih. Saya terdiam, mencoba untuk “terbang”, melepaskan diri dari kemelekatan hidup. Saya memang belum ahli. Mungkin para biksu atau pendeta sudah sangat paham dengan hal ini. Tapi bagaimanapun Tuhan adalah milik semua orang. Maka menjadi dekat denganNya dan bisa melepaskan diri adalah hak semua orang juga. 

Melepaskan diri itu bagi saya….. adalah sebuah konsep untuk melepaskan semua atribut sebagai manusia. Saya masih belajar, tapi tadi saya sempat berhasil lho, cuma beberapa menit sih. Rasanya luar biasa damai. Saya tahu suatu saat nanti pun saya akan mati, itu adalah bukti konkrit bahwa kemelekatan adalah fana. Bagaimanapun kemelekatan ini harus dilepaskan. Saya sungguh berharap, ketika mati nanti saya benar-benar dalam kondisi “lepas”.  Saya sudah benar-benar tidak berpikir lagi, setelah ini saya akan ke surga atau neraka, setelah ini saya akan dianggap sebagai orang baik atau tidak. Saya ingin di hati saya hanya ada Tuhan. Hanya memikirkan bagaimana proses penyatuan denganNya akan semakin nyata. Saya tidak ingin terikat dalam belenggu kisah-kisah semasa hidup saya yang memberatkan. 

Hmmm, pasti akan damai sekali ya pertemuan saya denganNya. Sungguh saya ingin mempersembahkan kondisi terbaik saya untukNya nanti. Maka sejak sekarang pun saya ingin belajar untuk bisa melepaskan diri. Melepaskan diri dari orang-orang tersayang, dari semua harapan dan kesuksesan, dari semua luka & kesedihan….. Ya, bukankah kebahagiaan & kesedihan hanya bersifat pinjaman? Tidak permanen dan tidak mampu diawetkan. 

Pandai sekali Tuhan menciptakan kehidupan ini begitu singkat ya? Hingga kemudian manusia pun terpacu untuk memaknainya dengan mendalam. Demikian pula dengan saya. Menyadari bahwa hidup ini begitu singkat membuat saya merasa “wajib” untuk memaknainya. Adapun pemaknaan yg saya lakukan saat ini masih bersifat parsial. Saya merasa mampu menemukan kekuatan dan keberanian ketika menulis. Menyendiri di dalam kamar adalah saat-saat di mana saya merasa mendapat porsi penuh untuk berbicara dengan diri dan Tuhan. Namun dalam kehidupan nyata, saya merasa tidak percaya diri untuk melakukannya. Saya seperti tidak punya muka untuk menjadi filosofis. Saya seperti merasa…”Tuhan, tanggung jawab untuk menyampaikan pemaknaan pada orang lain itu terlalu berat. Bagaimana kalau nanti saya dicecar? Bagaimana kalau mereka menyerangku dengan ribuan pertanyaan? Bagaimana jika saya tidak bisa menemukan insight secara cepat untuk membawa mereka kembali pada pemaknaan yang ‘benar’?” 

Pemaknaan yg “benar”? Heei, tampaknya ada yg salah dengan konsep “benar.” Kebenaran macam apa yg kau takutkan Ima? Kau hanya takut untuk menjadi berbeda kan? Kau hanya takut ketika identitas aslimu sebagai kaum “penentang” diketahui orang lain kan?  Kamu hanya mau bersembunyi dalam zona nyaman kan? Ketika semua orang menganggapmu sebagai orang normatif, kompromis, dan itulah yang membuatmu takut untuk bersuara. Kamu hanya merasa dunia akan baik-baik saja ketika kamu tersenyum pada semua orang dan mereka pun tersenyum padamu kan?

Apa kamu nggak kasihan Ima, ketika kamu terus memaksa “kekuatan” dalam dirimu untuk bersembunyi? Kehilangan haknya untuk menyampaikan apa yg seharusnya ingin dia sampaikan? Apakah tidak cukup waktu untuk menyadari bahwa sesungguhnya kamu ini “istimewa”? Apakah tidak cukup note-note yg kamu tulis selama ini membuatmu “terbangun”? Apakah tidak cukup bisikan-bisikan dalam dirimu ini membuatmu berani bergerak? 

Yah, hari ini saya takut. Hari ini saya takut ketika saya mulai tahu bahwa orang lain telah menyadari keberadaan diri saya “yang lain.” Saya takut dengan diri saya sendiri. Saya takut ketika menyadari bahwa keberanian saya sudah mulai muncul, bahwa keberanian saya untuk menjadi diri sendiri sudah terpancar. 

Mengherankan memang, saya takut dengan keberanian yg saya miliki? Whaat?? Ternyata menyapa keberanian diri saya itu bukan hal yg mudah ya? Menyapa dia untuk sekedar berkata,”Hai  keberanian, selamat datang! Selamat melakukan peranmu untuk menjadi jalan bagiNya dalam membuat orang lain menemukan proses hidup. Hai, keberanian! Teruslah berjalan untuk menjadi saksi, bahwa tangan Tuhan benar-benar bergerak. Hai, keberanian! Kau tidak perlu merisaukan yg kau lakukan ini benar atau salah, pandai atau bodoh, bijak atau ceroboh. Bukankah kau telah belajar untuk melepas kemelekatan? Ya, itu adalah pelajaran yg sudah kau kemas dengan sangat cantik. Dalam pelepasan diri tidak ada lagi judgement, tidak ada lagi justification. Dalam pelepasan hanya ada kebebasan. Dalam pelepasan hanya ada Tuhan. Kau tidak perlu lagi berpikir atau mengkhawatirkan sesuatu.

Lalu, adakah yg salah dengan mengingat Tuhan? Ketika semua orang menghujatmu dan kau masih bisa mengingat Tuhan, bukankah itu hebat? Ketika kau benar-benar menyadari bahwa dalam hujatan mereka pun Tuhan masih sanggup “hidup”, apakah kau akan menjadi lemah dalam menghadapi mereka? 

Kau tahu Ima, tokoh2 yg selama ini kau kagumi: Mahatma Gandhi, Muhammad, Mother Theresa, Buddha, Jalaluddin Rumi, Carl Jung, Victor Frankl, bukanlah orang-orang yg tidak pernah berkonflik. Mereka berpendapat, mereka menulis, itu karena mereka mampu melakukan pemaknaan mendalam atas apa yg mereka hadapi. Kau tahu mengapa hingga kini pendapat-pendapat mereka masih sanggup membuat banyak orang termotivasi meskipun mereka tidak hadir lagi secara fisik di dunia? Itu karena mereka menyadari bahwa pemaknaan hidup adalah harta paling berharga yg bisa mereka wariskan untuk dunia dan generasi selanjutnya. Karena mereka sadar bahwa mereka tidak hanya hidup untuk kebahagiaan mereka sendiri. Karena mereka menyadari bahwa surga adalah milik bersama. Karena mereka menyadari bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi kecuali Tuhan. 

Lalu apa yang harus dipermasalahkan dengan konflik? Jika konflik adalah sebuah sekolah untuk menjadikan kita semakin bermakna, apakah konflik harus dilihat dari segi benar dan salah? Bagaimana jika benar dan salah itu hanya konsep yang dibuat manusia untuk membuatnya tenang? Ketika dia merasa benar, maka membawa seseorang pada posisi salah adalah kemenangannya. Saya tidak tahu apakah Tuhan sungguh-sungguh memperhatikan kebenaran dan kesalahan sebagai alat untuk membuatnya kinerjanya diakui manusia? Saya tidak tahu apakah manusia menjadi bahagia sepenuhnya ketika menganggap kebenaran adalah senjatanya untuk masuk surga? 

Saya sungguh tidak tahu dan saya sungguh tidak berkeinginan untuk tahu. Mungkin saat ini saya (beserta himpunan makhluk bernama manusia lainnya) masih sering terjebak dalam standar-standar yang kita buat sendiri. Kita masih sering berbangga, ketika kita dianggap satu jalur dengan standar itu. Dan lalu mengabaikan yang lain, mengabaikan bahwa dalam keinginan mereka untuk keluar dari standar tersimpan makna kebebasan yang luar biasa agung. Kita terlalu takut untuk keluar dari standar, sejenak berpikir tanpa “pegangan.” Kita takut tidak akan bisa selamat tanpa standar. Yaa, kita (lebih tepatnya saya) masih sering berpikir seribu kali sebelum memulai kebebasan. 

Kebebasan itu sejatinya adalah milik setiap unsur semesta. Tapi bukankah alam semesta diciptakan dengan penuh keteraturan? Lalu apa yg dimaksud kebebasan? Apakah ada kebebasan dalam keterikatan? Dan semesta pun menjawab, dengan keyakinannya yang tak terhingga: Dalam rahasia malam, dalam rahasia siang, di situlah kebebasan bersemayam. Ketika kau hanya menyadari siang adalah waktu bagi matahari untuk bekerja dan malam adalah waktu bagi bulan untuk berjaga, maka kau hanya hidup dalam duniamu. Kau tahu untuk apa hujan diciptakan? Untuk mengingatkanmu bahwa air bisa bekerja dalam semua kondisi, dalam panasnya siang maupun dalam pekatnya malam. Itulah bukti bahwa semesta benar-benar bebas. 

Sekian note dari saya, semoga kita senantiasa menjadi golongan yang “bangun” dan “membangun”


Salam hormat                                                                                                                                                                              



Ima

Atas nama kegalauan hari ini dan berbagai hal yg telah sudi menginspirasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar