Rabu, 27 Februari 2013

How Deep Is Your Emotion


Hai teman2 pembaca setia sayaa, gimana kabarnya setelah saya tinggal “meditasi” sebulan ini? Hehe….. Saya harap semua baik2 aja yaa. Gimana rasanya setelah beberapa waktu ini tidak saya recokin dengan pemikiran & curhat saya yg aneh2? Pasti damai kan yaa? :D 

Oke deh teman2, ternyata tangan saya ini sudah gatal untuk pengen ngrecokin temen2 lagi, ehehe…. Awalnya sih saya sudah berniat untuk bikin tulisan yg agak “berat”, yakni tentang “spirituality & revelation”, tapi saya pending dulu deh karena ada hal yg tampaknya lebih mendesak untuk dibahas, yaitu tentang emosi, hiii…… Itu tema yg lebih ringan atau lebih berat ya dari spiritualitas?

Yaa terserah teman2 bagaimana mau menginterpretasi. Nah, saya akan mulai membahas emosi dari judul di atas: How deep is your emotion? Itu aslinya adalah gabungan dari 2 judul lagu grup oldies favorit saya, Beegees,hoho… Yaitu dari lagu How Deep Is Your Love + Emotion :D 

Jadi.. apa maksudnya saya membahas emosi ya? Begini teman2, saya “bermeditasi” sebulan ini bukannya tanpa maksud apa2. Bukan bermaksud untuk menghindari kenyataan & permasalahan yg harus saya hadapi. Ini semata adalah untuk “membersihkan hati”, temans…. Setelah saya renungi, resapi, dan pikirkan, ternyata eh ternyata, hati saya ini masih sangat kotoorrr……… Huhu….. 

Awalnya saya berpikir bahwa saya sudah cukup “bersih”. Di dunia ini cukuplah saya melakukan sesuatu dengan satu tujuan: membuat orang lain tersenyum & nggak marah2 sama saya. Dulu bagi saya ketika saya berhasil membuat orang lain tersenyum, itu tandanya hati saya sudah sebersih dan seputih salju. Tapi ternyataa…. Saya belum pantas disebut sebagai Putri Salju. Saya lebih pantas disebut sebagai The Beast yg belum menjelma menjadi Beauty (padahal kan emang Beauty & The Beast adalah 2 tokoh yg berbeda, piye tho? :p). 

Gitu temans, selama bermeditasi ini saya meluangkan lebih banyak waktu untuk ngobrol dengan diri sendiri (padahal sebelumnya juga udah sering ngobrol dgn diri sendiri kayak orang gila). Bedanya, ngobrol pada sesi sekarang ini diikuti juga dengan isolasi dari berbagai hal yg tidak penting, misalnya facebook-an, twitter-an, baca & dengerin informasi2 dari berbagai media, sampe mengurangi makan daging. Hehe… 

Biar kesannya kayak meditasi gitu, saya pun mencoba menjadi vegetarian meski belum total. Alhamdulilah sudah lumayan berhasil selama 2 minggu ini. Yah, semoga ini bisa mengendalikan diri saya agar tidak semakin “buas” :D 

Oke deh, sudah cukup curhat saya. Mari kita lanjutkan ke permasalahan pokoknya, yakni tentang emosi. Hmm, saya sudah belajar tentang definisi & teori2 emosi tu sejak jaman saya masih unyu, sejak jaman awal2 saya kuliah. Hoho.. Tapiii, saya kok merasa materi itu benar2 dapet feelnya akhir2 ini. Ternyataa, emosi itu adalah hal yg pokok dalam kehidupan manusia yaa….. Dan itulah yg membedakan manusia dengan makhluk lainnya, karena dia punya emosi. 

Sepintas sih ini seperti hal yg simple. Apa sih pentingnya ngobrolin panjang lebar tentang emosi? Bukannya hidup itu hanya tinggal dijalani, menyelesaikan target, meraih kebahagiaan, sudah kan? 

Dulu sih mungkin saya akan berpikir demikian, sebelum akhirnya saya tahu bahwa hati benar2 bisa berbicara. Lalu sejak kapan saya bisa ngobrol dengan hati? Sebenarnya ini lebih dikarenakan saya nggak punya pilihan lain sih. Saya merasa “terpaksa” ngobrol dengan hati, soalnya saya kan kemaren2 sudah meniatkan diri untuk tidak berbicara dengan orang lain di dunia maya. Ya sudah, daripada saya di kos merasa krik…krik…. akhirnya saya cari2 deh “benda” yg bisa diajak ngobrol. Dan “benda” itu bernama hati.

Apa dong yg dikatakan hati pada saya? Fyuuuh, mengharukan sekali. Bikin mata saya berkaca-kaca,  berderai-derai, dan berbanjir-banjir (lebay wooi…).

Nah dari situlah kemudian saya tahu bahwa hati saya ini masih kotor. Setiap hati saya ingin menyampaikan pendapat dengan tulus, selalu ada bagian dari diri saya yang berlainan suara dengannya. Ada bagian dari diri saya yg sering berkata,”Kamu harus mengejar ambisi, kamu harus mengejar mimpi yg membuatmu bahagia. Kamu nggak perlu mempedulikan orang lain. Toh nggak semua orang peduli denganmu kan?.” Tapi di sisi lain ada bagian yg dengan lembut berkata,”Hei Ima, apa yg kamu cari di dunia ini? Hanya mimpi yg akan hilang dalam sekejap matakah? Serius, itu mimpi kamu? Tampaknya itu hanya ikut-ikutan mimpi orang deh. Orang lain berkata bahwa dia ingin bahagia, lalu kamu pun ingin seperti dia. Orang lain berkata bahwa dia ingin sempurna, lalu kamu pun ingin seperti dia. Padahal persepsi “ingin seperti orang lain” itulah yg membuatmu tidak bisa mengenali siapa diri kamu.”

Jreng jreng… Debat pun semakin seru, pemirsa. Diri saya pun dengan semangatnya menjawab,”Oke, sudah saya putuskan bahwa saya akan menjadi diri saya sendiri. Oke, saya akan sangat memperjuangkan apa yg menjadi hak saya. Terserah orang lain akan berkata apa. Saya harus bisa mempertahankan eksistensi saya bagaimanapun caranya.”

Tapi lagi-lagi hati juga tidak mau kalah,”Dear,Ima. Menjadi diri kamu sepenuhnya tidaklah salah. Namun, satu hal yg harus kamu pahami: Untuk menjadi diri sendiri itu bukan berarti kamu harus memperkaya dirimu secara total. Kamu hanya akan menuntut orang lain untuk mengerti dirimu, untuk memenuhi kebutuhanmu. Tapi kamu lupa untuk menerima. Setiap orang punya ilmu. Mereka mengajarkan sesuatu dengan cara-cara yg tidak harus kamu ketahui alasannya sekarang. Kamu lupa untuk menerima mereka dengan ketulusan hati. Yup, tentu saja. Karena hatimu memang masih kotor. “

Aaaawww….. Plak..plak….plak…. jedueerr…jedueerr……. Tiba-tiba kilat menyambar disertai hujan deras, selanjutnya muncullah seorang gadis berlari-lari di tengah hujan sambil menangis. Tas dan koper berukuran besar itu tak mampu menyimpan semua kesedihannya. Dia hanya bisa memandangi rumah dengan sejuta kenangan yang tak bisa lagi dia masuki. Terbayang kembali kekejaman ibu tiri yang telah menghancurkan mimpi-mimpi indahnya.

Eeh, kok tiba2 beralih jadi adegan sinetron. Gimana sih? Fokus, hooii…..fokus…. (dikeplak pembaca)

Haduuh, apa yg dikatakan hati tadi membuat saya berulang kali geleng-geleng kepala. “Bodoh Ima…. Bodooh….kamu sangat bodooohhh….. (sambil jedot-jedotin hati ke tembok). Kamu pikir selama ini kamu siapa? Supergirl? Superwoman? Wonder Girls? Atau Girls Generation? (#eeh…). Kamu pikir kamu itu hero yg bisa mengubah dunia dalam hitungan detik? Kamu pikir kamu sudah sedemikian kuat dan hebatnya hingga berpikir semua tindakanmu membawa “mukjizat” bagi orang lain? Bangun Ima…Bangun… Jangan kebanyakan tidur dan mimpi.” 

Ah ya, oke Ima. Calm down, girl. Kamu memang bodoh. Tapi kamu hebat, karena hanya orang-orang hebatlah yang bisa mengakui kebodohan dirinya. Fyuuuh, lalu saya coba lagi membuka file note-note yg pernah saya tulis.  Note-note yg pernah saya publikasikan. Note-note yg menurut beberapa orang memberikan inspirasi bagi mereka. Note-note yg menurut beberapa orang membuka hati dan pikirannya. Namun juga…. note yg menurut beberapa orang memberikan luka dan kekecewaan bagi mereka.

Ya itu adalah note. Dan saya adalah orang yg membuatnya, hmm… secara “fenomena” atau secara tampak sih memang saya yg membuatnya. Saya menggunakan tubuh fisik ini untuk memikirkan kata-kata lalu mengetiknya. Tapi secara “nomena”….entahlah. Saya tidak tahu ketika membuat note itu saya sedang berperan sebagai siapa? Sebagai angel? Sebagai devil? Atau sebagai undefined thing?  Saya juga tidak tahu kalau saja ada sebuah “zat” yg menjadikan tubuh saya ini hanya sebagai “pinjaman” untuk menyampaikan pesan-pesannya. Di dunia ini banyak hal yg bersifat misteri temans, dan tidak setiap hal yg bernilai misteri itu menakutkan. Begitu juga tidak setiap hal yg bernilai fisik itu menenangkan. Karena “nomena” memang diciptakan untuk memberikan makna atas “fenomena” dan itu adalah 2 hal yg sebenarnya tidak terpisah. (Thanks Mr. Bandi for this inspiration :))

Hingga kemudian saat saya merasa down dan membaca note, rasanya seperti diingatkan kembali. Oh ya, ternyata semua note saya dulu, yg bernilai kegalauan maupun kebijaksanaan, memang sangat tepat untuk dibaca saat ini. Padahal dulu setelah bikin note saya masih sering mikir,”Jadi yg bikin note tadi tuh siapa ya?.” Sekarang saya sudah tahu jawabannya. Seorang teman baik saya mengatakan begini,”Yang membuat note-note itu pikiran bawah sadarmu,Ima.” Gleek, oh yeah. Bahkan pikiran bawah sadar itu seakan sudah tahu apa yg akan terjadi di masa depan, tanpa saya harus merasakan ataupun memikirkannya terlebih dahulu. Hiiii…. Bikin merinding. Pantaslah jika kemudian kutipan ini terngiang kembali: “We are the best psychologist for ourselves” . Ternyata Tuhan memang selalu menyediakan “pendamping setia” untuk diri kita sendiri, yakni hati kita. Ketika bingung, galau, sedih, kita sangat mudah untuk menyalahkan orang lain dan lingkungan. Padahal… keberadaan orang-orang itu adalah untuk “mencuci” hati kita lho. Ketika kita masih merasa kesal dengan orang lain, itu adalah ujian.  Seorang supervisor saya dari Yakkum pernah bilang begini,”Ketika kamu merasa duniamu tidak baik-baik saja, kamu tidak perlu memaksa dunia di sekitarmu untuk mengikuti kemauanmu. Kamu hanya perlu mengubah dirimu, maka dunia di sekitar akan mengikuti dirimu.” <Zupperr sekalee>

Hmm, begitulah. Pada masa-masa meditasi ini saya belajar untuk lebih peka  dengan kondisi sekitar. Dikarenakan akses saya terhadap berbagai informasi terbatas, maka saya pun harus memasang mata dan telinga baik-baik saat berhadapan dengan orang lain. Soalnya kalo tidak demikian, saya akan semakin terasing dari berbagai info dan saya akan menjadi kuperr, ooh tidaaks. Dengan menyengajakan diri untuk tidak memiliki kelebihan informasi, saya pun belajar untuk lebih bisa menghargai orang-orang di dunia nyata, belajar untuk mengasah kepekaan emosi. Apapun yg disampaikan teman-teman saya adalah penting, baik itu berupa curhatan panjangnya tentang pacar, laporan kuliah yg nggak kelar-kelar, tesis yg bikin jantungan, sumpeknya nyari duit untuk mewujudkan mimpi, menderitanya di-buly atasan, sampee suara serak-serak kering saat saya & teman-teman karaokean pun jadi terdengar merduu, hag..hag..hag…

Terima kasih hidup, terima kasih teman-teman, terima kasih orang-orang yang telah bersedia menjadi guru bagi saya. Semoga setelah meditasi ini saya bener2 bisa terlahir kembali menjadi Ima yg baru yaa. Tidak terpisah lagi antara Ima dunia maya dan nyata :D. Oh, ya satu lagi, ehm, terima kasih hati saya. You’re the best thing in my life. 



Jumat, 01 Februari 2013

Unseparated Love


Dear, Love…..

Dear, Tuhan, Maha Pemberi Segala Cinta

Aku tidak tahu apa yg sanggup aku katakan untukmu lagi Tuhan. Ternyata benar, cintaMu memang tak pernah terbatas. Awalnya aku tak pernah mengira bahwa ini nyata, tapi ini benar-benar nyata. 

Yah, ini bukan cerita mistis atau fiksi. Ini bukan cerita yg sengaja aku karang untuk mempertebal daya khayalku. Ini adalah sebuah kisah yang Dia buat dengan sangat cantik, sangat mempesona. Dan membuatku semakin paham tentang makna cinta.

Mungkin ini akan menjadi satu kisah yg aku kenang dalam sejarahku. Pengalaman pertamaku untuk bertemu dengan cinta yang suci. Ketika aku bisa benar-benar melihat cinta dalam “soul”, bukan dalam fisik maupun apa saja yg bisa dilihat dengan indera. 

Yogyakarta, hari Kamis pagi 31 Januari 2013. Awalnya aku merencanakan untuk melakukan aktivitas pagi secara “normal”. Mengerjakan laporan dengan sangat fokus, mengejar target yang membuatku tersiksa. Tapi, yah lagi-lagi kebutuhanku terhadap pemaknaan yang begitu besar muncul. Saat mendengarkan musik dari playlist laptopku, yang terpikir adalah: aku ingin terlibat dalam rasa dan dinamika yg ada. Lalu akupun melakukan “meditasi”. Hmm, meditasi yg sangat unik. Tiba-tiba saja aku tergerak untuk melakukan hal yg sudah lama aku tinggalkan, menari. Oh yeah, akhirnya aku pun menari. Mengikuti setiap irama yg dihadirkan dalam iringan nada. Mencoba menari dengan segenap rasa. Hoho… dan aku pun bisa menemukan “soul”ku lagi dalam menari. Tapi jangan dibayangkan ini sebagai tarian dengan lemah gemulai ya! Karena ini adalah dance, gerakan yang muncul sebagai respon atas musik elektro or disko. Thanks to my favorite Japanese electro artists, Capsule & Perfume ^^

Menyenangkan sekali bisa menari dengan “soul”, seperti menemukan harmoni antara gerakan tubuh dan semesta. Rasanya mirip ketika aku melakukan gerakan tai-chi. Semacam menemukan yin & yang dalam tubuhku.  Sekitar 15 menit kemudian keringatku mulai bercucuran. Fyyuh, melelahkan juga. Lalu aku pun terpikir untuk melakukan gerakan pendinginan untuk menutup sesi meditasiku kali ini. Musik.. aku harus menemukan musik yg cocok untuk mengantarkanku pada posisi itu. 

Akhirnya aku pun memilih “Adia” by Sarah Mclachlan. Lagu yg selalu mengingatkanku bahwa setiap manusia punya “dosa”, but tidak ada yg salah dengan itu. Cause we’re born innocent. Hmm, aku pun mencoba masuk dalam lagu itu. Membayangkan wajah manusia-manusia yg pernah aku temui, dan melihat lagi apakah diantara kita pernah ada “dosa”.  Tetaplah, manusia adalah manusia, meskipun dosa pernah ada. Tetaplah, manusia adalah manusia, tempat kita berbagi cerita.

Ooom,… Oaheem…. Selesai meditasi tiba-tiba mata ini menyempit. Oh no, aku merasa mengantuk. Waah, apa-apaan ini. Tidak sopan. Habis mandi, meditasi, masak dilanjutkan dengan tidur? Tapi..tapi…kasur itu begitu menggodaku. Ah, tak apalah tidur sekitar 5-10 menit. Gak papa, sopan kok…

Yak, naikkan tubuh di atas kasur dan pejamkan mata… beristirahatlah sebentar Ima, dunia masih akan tetap indah kok :D. Seharusnya aku bisa tidur, tapi ternyata tidak. Aku tidur sih, secara fisik aku tidur, tapi ternyata “jiwa”ku tidak. Awalnya aku tidak menyadari hal ini. Aku pikir tubuhku memang tidur, tertidur dan kemudian menuju alam mimpi. Aku mengira diriku bermimpi ketika melihat sesosok cahaya itu. Sesosok cahaya putih yang menenangkan. Cahaya itu mendatangiku, seperti ingin mengucapkan sesuatu yang sudah lama dia pendam. Aaah, tiba-tiba hatiku berteriak,”Aku mengenal sosok itu. Ya aku mengenal dengan sangat baik. Sosok yang pernah membersamai hidupku selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dia pergi.”

Daaan… akhirnya aku mampu menyadari bahwa cahaya itu adalah nenekku. Ya, dia adalah nenekku. Nenek yang aku sayangi. Nenek yg aku tahu kasih sayangnya untuk anak-anak dan cucu-cucunya begitu besar. Nenek yang selalu menyediakan waktu lama untuk berdoa setelah sholat. Nenek yang menyebut nama anak-anak dan cucu-cucunya satu per satu dalam doanya. Nenek yang selalu tersenyum & bersemangat menjalani hari-harinya…bahkan ketika dia mulai sakit, dan perlahan rasa sakit itu membuatnya tak bisa merasakan apa-apa lagi yg terindah dari dunia. Ya, dia adalah nenekku yang telah meninggal setahun lalu. 

Mungkin aku akan terus menganggap ini sebagai mimpi, jika aku tidak menyadari bahwa aku tidak bisa melihat wujudnya secara nyata. Seharusnya dalam mimpi aku bisa melihatnya tersenyum, berjalan mendekatiku sambil berkata, sebagaimana orang-orang yg pernah aku temui dalam mimpi. Tapi ini berbeda. Aku sama sekali tidak melihat wujudnya, aku hanya melihatnya sebagai cahaya. Entah mengapa aku kemudian bisa mengenalnya sebagai nenek. Hatiku kembali berteriak,”Itu nenekku. Neneek… sudah lama kita tidak bertemu. Aaah, damai sekali rasanya.” 

Dia tidak berkata apa-apa, karena dia hanyalah cahaya. Tapi aku bisa merasakan bahwa dia menyampaikan pesan. Dia berkata,”Ima, ini nenek. Nenek senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu. Nenek kangen lhoo. Sekarang nenek sudah di alam lain, dan nenek bahagia di sini. Semoga kamu juga bahagia ya, Ima.” Dia tidak berkata apa-apa, namun aku bisa merasakan bahwa dia memelukku. Ya, dia memelukku. Aku memang tidak lagi bisa merasakan kehangatan pelukan seperti yang pernah kurasakan dulu. Aku hanya merasakan sensasi, getaran, yg tidak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata. 

Oh ya, ini adalah pertemuan antar “jiwa”. Jiwa nenekku dan jiwaku. Oh ya, aku sedang mengalami astral, seperti yg pernah disampaikan temanku bahwa gejala ini adalah astral. Hmm, aku sedang astral dan sedang tidak bermimpi. Aku menyadari itu semua dan aku membiarkan jiwaku terus berinteraksi dengan nenekku. Aku menikmati pertemuan ini…. Dan aku pun teringat pada Tuhan, aku memanggil Dia dalam astralku. “Tuhan, terima kasih atas kesempatan ini. Terima kasih telah mempertemukan kami. Terima kasih telah menjadi penghubung antar ‘dunia’. Jaga dia Tuhan. Jaga dia, dan berikan tempat yang terbaik di sisiMu. Amien.”

Pertemuan yg sangat singkat, mungkin sekitar 5 menit. Dia menemuiku, berbagi rindu, dan kemudian berpamitan. Dia pun pergi dan inilah saatnya bagiku untuk membuka mata. Hmm, kembali ke kamarku. Kembali ke dunia yang harus aku hadapi sekarang. Kembali ke dunia dimana aku harus melanjutkan hidup.
Oh, God. Ini adalah sesuatu yg unbelievable! Kau mempertemukan dua alam yg berbeda, dan itu nyata! Woww! Ternyata, memang ya, ketika Kau sudah berkehendak maka tidak ada hal yg sanggup menghalangi. Kau bisa menghilangkan semua batas penglihatan dan pengetahuan manusia. Lalu..lalu… aku pun tak sanggup menahan air mata. Bagaimana mungkin aku tidak mengakui kebesaranmu, Tuhan? 

Aku masih tak percaya. Apa yg terjadi dengan jiwaku? Apakah jiwaku sudah cukup bersih hingga Kau memberiku kesempatan merasakan pengalaman yg “berbeda”? Entahlaah…. Saat itu aku merasa bahwa Tuhan sedang sangat baik. Aku tidak tahu apa yg aku alami akhir-akhir ini, ketika aku merasa semakin bisa membaca tanda-tandaNya. Ketika aku merasa bahwa Dia semakin dekat, ketika aku merasa bahwa pengalaman metafisik adalah hal-hal yang “normal.” 

Aku mengalami berbagai peristiwa “di luar dugaan,” dan di balik itu aku akhirnya menemukan sesuatu yg “lain”, sesuatu yg sangat berharga untuk kedewasaan jiwaku. Kemudian aku kembali berpikir. Ternyata menjaga kebersihan jiwa itu mengagumkan. Ini baru tanda-tanda yg “kecil”. Mungkin kalau aku terus berusaha menjaga kebersihan jiwa maka akan semakin banyak tanda-tandaNya yang bisa aku lihat, sentuh, dan rasakan. Seperti sebuah tantangan bagiku untuk terus “mencuci” hati, di tengah godaan dunia yg sangat mudah membuatku “kotor.”

Ah ya, aku teringat percakapan terakhir yg cukup berkesan antara aku dan nenekku. Saat itu nenekku sudah mulai sakit. Kami sedang berbincang-bincang santai sambil berbaring di kasur. Mengikuti pesan ibuku untuk memberikan kata-kata positif pada nenekku, maka aku pun melakukan hal itu. Aku berusaha menguatkan nenekku. “Nek, nenek harus yakin kalau bisa sembuh. Nenek harus menguatkan diri, percaya bahwa setiap penyakit ada obatnya. Dan yang terpenting, kita harus ikhlas. Kan yang memiliki tubuh dan semua milik kita adalah Tuhan. Jadi kita harus mengembalikan semuanya pada Tuhan.” Kata-kata yang terdengar seperti ceramah ya? Tapi asli saat itu aku merasa sedikit merinding menyampaikannya. “Ima, lu bisa apa ngomong-ngomongin ikhlas kayak begitu? Emang lu selama ini udah cukup ikhlas? Siap mati lu, Ma?,”bisik hatiku. 

“Iya Ima, nenek sekarang sudah berusaha ikhlas kok.  Pasti bisa sembuh ya!” begitu kata nenekku. Aku tidak tahu pasti bagaimana efek kata-kata yg aku sampaikan pada nenekku. Setelah itu aku kembali ke Jogja sehingga tidak mengikuti perkembangan kesehatannya secara langsung. Aku hanya mendengar kabar dari ibuku, bahwa nenekku keadaannya semakin tidak stabil. Beberapa saudara menyarankan nenekku diobati secara alternatif saja, minum obat tradisional, pasti juga sembuh. Namun ternyata nenekku memiliki pendapat yg berbeda. Dia bersikeras untuk dibawa ke Surabaya saja, minta di operasi di rumah sakit besar di sana. Ini membuat ibuku dan saudaranya yang lain sedikit bingung memikirkan masalah biaya. Tapi bagaimanapun ini adalah keinginan nenekku, jadi harus tetap diusahakan biayanya. 

Akhirnya nenekku pun dibawa ke Surabaya. Menjalani operasi…. Dan di luar dugaan, ternyata operasinya tidak berjalan sesuai harapan. Dokter memanggil ibuku dan pamanku dan berkata,”Maaf, ternyata tumor yang ada dalam perut ibu anda sudah menggerogoti jantung. Kami tidak bisa melakukan tindakan untuk mengangkat tumor itu. Jadi kami hanya bisa menutup kembali perut ibu anda dan tidak melakukan operasi.” 

Ibuku dan pamanku kembali ke kamar dengan wajah lemas. Beberapa saat setelah nenekku tersadar, dia bertanya,”Bagaimana hasil operasinya?.” Baik kok bu, baik. Tumornya sudah berhasil diangkat.” Itu adalah kata-kata “bohong” yang sengaja dibuat oleh ibuku dan adik-adiknya untuk menyenangkan hati nenekku. “Ah ya, syukurlah. Sekarang penyakitnya sudah hilang,” ujar nenekku dengan senyum penuh kebahagiaan.

Beberapa hari kemudian, kondisi nenekku semakin menurun. Ya, ibuku dan adik-adiknya pasti sudah mempersiapkan hal ini, karena mereka tahu bahwa operasinya gagal. Namun tidak dengan nenekku. Dia masih berada dalam rasa bahagianya. Dia menyadari bahwa rasa sakitnya semakin parah, namun keyakinan dalam dirinya bahwa operasinya berhasil lah yang membuatnya masih terus optimis. 

Hari demi hari berjalan, dan nenekku akhirnya…… harus pergi meninggalkan dunia. Aku tidak tahu apa yang dirasakan nenekku saat Tuhan memanggilnya, apakah dia akhirnya membenci anak-anaknya yang sengaja membohonginya? Ataukah dia merasa senang karena Tuhan telah memberikan obat yang istimewa? 

Aku tidak tahu hal itu dan aku pun tidak pernah lagi memikirkannya. Hingga saat kemarin tiba, seperti…. dia menyampaikan sendiri perasaannya secara langsung padaku. Bahwa dia merasa bahagia atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya dan dia pun bahagia atas kedekatannya bersama Tuhan sekarang. 

Yaa, itulah rahasia Tuhan yang sempat “terbuka” olehku. Aku membawa diriku pada posisi sekarang,”Saat ini aku masih hidup, Nek. Aku masih punya tanggung jawab yg harus aku selesaikan. Oke Nek, seperti harapan2 yang pernah nenek sampaikan dulu pada diriku, aku akan berusaha memenuhi harapan itu.” ^_^ 

Trima kasih Tuhan. Pelajaran hari kemarin benar-benar luar biasa. Semoga aku bisa terus melihat pelajaran darimu dengan mata batinku yaa!