Dear, Love…..
Dear, Tuhan, Maha Pemberi Segala
Cinta
Aku tidak tahu apa yg sanggup aku
katakan untukmu lagi Tuhan. Ternyata benar, cintaMu memang tak pernah terbatas.
Awalnya aku tak pernah mengira bahwa ini nyata, tapi ini benar-benar nyata.
Yah, ini bukan cerita mistis atau
fiksi. Ini bukan cerita yg sengaja aku karang untuk mempertebal daya khayalku.
Ini adalah sebuah kisah yang Dia buat dengan sangat cantik, sangat mempesona.
Dan membuatku semakin paham tentang makna cinta.
Mungkin ini akan menjadi satu
kisah yg aku kenang dalam sejarahku. Pengalaman pertamaku untuk bertemu dengan
cinta yang suci. Ketika aku bisa benar-benar melihat cinta dalam “soul”, bukan
dalam fisik maupun apa saja yg bisa dilihat dengan indera.
Yogyakarta, hari Kamis pagi 31
Januari 2013. Awalnya aku merencanakan untuk melakukan aktivitas pagi secara
“normal”. Mengerjakan laporan dengan sangat fokus, mengejar target yang
membuatku tersiksa. Tapi, yah lagi-lagi kebutuhanku terhadap pemaknaan yang
begitu besar muncul. Saat mendengarkan musik dari playlist laptopku, yang
terpikir adalah: aku ingin terlibat dalam rasa dan dinamika yg ada. Lalu akupun
melakukan “meditasi”. Hmm, meditasi yg sangat unik. Tiba-tiba saja aku tergerak
untuk melakukan hal yg sudah lama aku tinggalkan, menari. Oh yeah, akhirnya aku
pun menari. Mengikuti setiap irama yg dihadirkan dalam iringan nada. Mencoba
menari dengan segenap rasa. Hoho… dan aku pun bisa menemukan “soul”ku lagi
dalam menari. Tapi jangan dibayangkan ini sebagai tarian dengan lemah gemulai
ya! Karena ini adalah dance, gerakan yang muncul sebagai respon atas musik
elektro or disko. Thanks to my favorite Japanese electro artists, Capsule &
Perfume ^^
Menyenangkan sekali bisa menari
dengan “soul”, seperti menemukan harmoni antara gerakan tubuh dan semesta.
Rasanya mirip ketika aku melakukan gerakan tai-chi. Semacam menemukan yin &
yang dalam tubuhku. Sekitar 15 menit
kemudian keringatku mulai bercucuran. Fyyuh, melelahkan juga. Lalu aku pun
terpikir untuk melakukan gerakan pendinginan untuk menutup sesi meditasiku kali
ini. Musik.. aku harus menemukan musik yg cocok untuk mengantarkanku pada
posisi itu.
Akhirnya aku pun memilih “Adia”
by Sarah Mclachlan. Lagu yg selalu mengingatkanku bahwa setiap manusia punya
“dosa”, but tidak ada yg salah dengan itu. Cause we’re born innocent. Hmm, aku
pun mencoba masuk dalam lagu itu. Membayangkan wajah manusia-manusia yg pernah
aku temui, dan melihat lagi apakah diantara kita pernah ada “dosa”. Tetaplah, manusia adalah manusia, meskipun dosa
pernah ada. Tetaplah, manusia adalah manusia, tempat kita berbagi cerita.
Ooom,… Oaheem…. Selesai meditasi
tiba-tiba mata ini menyempit. Oh no, aku merasa mengantuk. Waah, apa-apaan ini.
Tidak sopan. Habis mandi, meditasi, masak dilanjutkan dengan tidur? Tapi..tapi…kasur
itu begitu menggodaku. Ah, tak apalah tidur sekitar 5-10 menit. Gak papa, sopan
kok…
Yak, naikkan tubuh di atas kasur
dan pejamkan mata… beristirahatlah sebentar Ima, dunia masih akan tetap indah
kok :D. Seharusnya aku bisa tidur, tapi ternyata tidak. Aku tidur sih, secara
fisik aku tidur, tapi ternyata “jiwa”ku tidak. Awalnya aku tidak menyadari hal
ini. Aku pikir tubuhku memang tidur, tertidur dan kemudian menuju alam mimpi.
Aku mengira diriku bermimpi ketika melihat sesosok cahaya itu. Sesosok cahaya
putih yang menenangkan. Cahaya itu mendatangiku, seperti ingin mengucapkan
sesuatu yang sudah lama dia pendam. Aaah, tiba-tiba hatiku berteriak,”Aku
mengenal sosok itu. Ya aku mengenal dengan sangat baik. Sosok yang pernah
membersamai hidupku selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dia pergi.”
Daaan… akhirnya aku mampu
menyadari bahwa cahaya itu adalah nenekku. Ya, dia adalah nenekku. Nenek yang
aku sayangi. Nenek yg aku tahu kasih sayangnya untuk anak-anak dan cucu-cucunya
begitu besar. Nenek yang selalu menyediakan waktu lama untuk berdoa setelah
sholat. Nenek yang menyebut nama anak-anak dan cucu-cucunya satu per satu dalam
doanya. Nenek yang selalu tersenyum & bersemangat menjalani
hari-harinya…bahkan ketika dia mulai sakit, dan perlahan rasa sakit itu
membuatnya tak bisa merasakan apa-apa lagi yg terindah dari dunia. Ya, dia
adalah nenekku yang telah meninggal setahun lalu.
Mungkin aku akan terus menganggap
ini sebagai mimpi, jika aku tidak menyadari bahwa aku tidak bisa melihat
wujudnya secara nyata. Seharusnya dalam mimpi aku bisa melihatnya tersenyum,
berjalan mendekatiku sambil berkata, sebagaimana orang-orang yg pernah aku
temui dalam mimpi. Tapi ini berbeda. Aku sama sekali tidak melihat wujudnya,
aku hanya melihatnya sebagai cahaya. Entah mengapa aku kemudian bisa
mengenalnya sebagai nenek. Hatiku kembali berteriak,”Itu nenekku. Neneek… sudah
lama kita tidak bertemu. Aaah, damai sekali rasanya.”
Dia tidak berkata apa-apa, karena
dia hanyalah cahaya. Tapi aku bisa merasakan bahwa dia menyampaikan pesan. Dia
berkata,”Ima, ini nenek. Nenek senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu.
Nenek kangen lhoo. Sekarang nenek sudah di alam lain, dan nenek bahagia di
sini. Semoga kamu juga bahagia ya, Ima.” Dia tidak berkata apa-apa, namun aku bisa
merasakan bahwa dia memelukku. Ya, dia memelukku. Aku memang tidak lagi bisa
merasakan kehangatan pelukan seperti yang pernah kurasakan dulu. Aku hanya
merasakan sensasi, getaran, yg tidak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata.
Oh ya, ini adalah pertemuan antar
“jiwa”. Jiwa nenekku dan jiwaku. Oh ya, aku sedang mengalami astral, seperti yg
pernah disampaikan temanku bahwa gejala ini adalah astral. Hmm, aku sedang
astral dan sedang tidak bermimpi. Aku menyadari itu semua dan aku membiarkan
jiwaku terus berinteraksi dengan nenekku. Aku menikmati pertemuan ini…. Dan aku
pun teringat pada Tuhan, aku memanggil Dia dalam astralku. “Tuhan, terima kasih
atas kesempatan ini. Terima kasih telah mempertemukan kami. Terima kasih telah
menjadi penghubung antar ‘dunia’. Jaga dia Tuhan. Jaga dia, dan berikan tempat
yang terbaik di sisiMu. Amien.”
Pertemuan yg sangat singkat,
mungkin sekitar 5 menit. Dia menemuiku, berbagi rindu, dan kemudian berpamitan.
Dia pun pergi dan inilah saatnya bagiku untuk membuka mata. Hmm, kembali ke
kamarku. Kembali ke dunia yang harus aku hadapi sekarang. Kembali ke dunia
dimana aku harus melanjutkan hidup.
Oh, God. Ini adalah sesuatu yg
unbelievable! Kau mempertemukan dua alam yg berbeda, dan itu nyata! Woww!
Ternyata, memang ya, ketika Kau sudah berkehendak maka tidak ada hal yg sanggup
menghalangi. Kau bisa menghilangkan semua batas penglihatan dan pengetahuan
manusia. Lalu..lalu… aku pun tak sanggup menahan air mata. Bagaimana mungkin
aku tidak mengakui kebesaranmu, Tuhan?
Aku masih tak percaya. Apa yg
terjadi dengan jiwaku? Apakah jiwaku sudah cukup bersih hingga Kau memberiku
kesempatan merasakan pengalaman yg “berbeda”? Entahlaah…. Saat itu aku merasa
bahwa Tuhan sedang sangat baik. Aku tidak tahu apa yg aku alami akhir-akhir
ini, ketika aku merasa semakin bisa membaca tanda-tandaNya. Ketika aku merasa
bahwa Dia semakin dekat, ketika aku merasa bahwa pengalaman metafisik adalah
hal-hal yang “normal.”
Aku mengalami berbagai peristiwa
“di luar dugaan,” dan di balik itu aku akhirnya menemukan sesuatu yg “lain”,
sesuatu yg sangat berharga untuk kedewasaan jiwaku. Kemudian aku kembali
berpikir. Ternyata menjaga kebersihan jiwa itu mengagumkan. Ini baru
tanda-tanda yg “kecil”. Mungkin kalau aku terus berusaha menjaga kebersihan
jiwa maka akan semakin banyak tanda-tandaNya yang bisa aku lihat, sentuh, dan
rasakan. Seperti sebuah tantangan bagiku untuk terus “mencuci” hati, di tengah
godaan dunia yg sangat mudah membuatku “kotor.”
Ah ya, aku teringat percakapan
terakhir yg cukup berkesan antara aku dan nenekku. Saat itu nenekku sudah mulai
sakit. Kami sedang berbincang-bincang santai sambil berbaring di kasur.
Mengikuti pesan ibuku untuk memberikan kata-kata positif pada nenekku, maka aku
pun melakukan hal itu. Aku berusaha menguatkan nenekku. “Nek, nenek harus yakin
kalau bisa sembuh. Nenek harus menguatkan diri, percaya bahwa setiap penyakit
ada obatnya. Dan yang terpenting, kita harus ikhlas. Kan yang memiliki tubuh
dan semua milik kita adalah Tuhan. Jadi kita harus mengembalikan semuanya pada Tuhan.”
Kata-kata yang terdengar seperti ceramah ya? Tapi asli saat itu aku merasa
sedikit merinding menyampaikannya. “Ima, lu bisa apa ngomong-ngomongin ikhlas
kayak begitu? Emang lu selama ini udah cukup ikhlas? Siap mati lu, Ma?,”bisik
hatiku.
“Iya Ima, nenek sekarang sudah
berusaha ikhlas kok. Pasti bisa sembuh
ya!” begitu kata nenekku. Aku tidak tahu pasti bagaimana efek kata-kata yg aku
sampaikan pada nenekku. Setelah itu aku kembali ke Jogja sehingga tidak mengikuti
perkembangan kesehatannya secara langsung. Aku hanya mendengar kabar dari
ibuku, bahwa nenekku keadaannya semakin tidak stabil. Beberapa saudara
menyarankan nenekku diobati secara alternatif saja, minum obat tradisional,
pasti juga sembuh. Namun ternyata nenekku memiliki pendapat yg berbeda. Dia
bersikeras untuk dibawa ke Surabaya saja, minta di operasi di rumah sakit besar
di sana. Ini membuat ibuku dan saudaranya yang lain sedikit bingung memikirkan
masalah biaya. Tapi bagaimanapun ini adalah keinginan nenekku, jadi harus tetap
diusahakan biayanya.
Akhirnya nenekku pun dibawa ke
Surabaya. Menjalani operasi…. Dan di luar dugaan, ternyata operasinya tidak
berjalan sesuai harapan. Dokter memanggil ibuku dan pamanku dan berkata,”Maaf,
ternyata tumor yang ada dalam perut ibu anda sudah menggerogoti jantung. Kami
tidak bisa melakukan tindakan untuk mengangkat tumor itu. Jadi kami hanya bisa
menutup kembali perut ibu anda dan tidak melakukan operasi.”
Ibuku dan pamanku kembali ke
kamar dengan wajah lemas. Beberapa saat setelah nenekku tersadar, dia
bertanya,”Bagaimana hasil operasinya?.” Baik kok bu, baik. Tumornya sudah
berhasil diangkat.” Itu adalah kata-kata “bohong” yang sengaja dibuat oleh
ibuku dan adik-adiknya untuk menyenangkan hati nenekku. “Ah ya, syukurlah.
Sekarang penyakitnya sudah hilang,” ujar nenekku dengan senyum penuh
kebahagiaan.
Beberapa hari kemudian, kondisi
nenekku semakin menurun. Ya, ibuku dan adik-adiknya pasti sudah mempersiapkan
hal ini, karena mereka tahu bahwa operasinya gagal. Namun tidak dengan nenekku.
Dia masih berada dalam rasa bahagianya. Dia menyadari bahwa rasa sakitnya
semakin parah, namun keyakinan dalam dirinya bahwa operasinya berhasil lah yang
membuatnya masih terus optimis.
Hari demi hari berjalan, dan
nenekku akhirnya…… harus pergi meninggalkan dunia. Aku tidak tahu apa yang
dirasakan nenekku saat Tuhan memanggilnya, apakah dia akhirnya membenci
anak-anaknya yang sengaja membohonginya? Ataukah dia merasa senang karena Tuhan
telah memberikan obat yang istimewa?
Aku tidak tahu hal itu dan aku
pun tidak pernah lagi memikirkannya. Hingga saat kemarin tiba, seperti…. dia
menyampaikan sendiri perasaannya secara langsung padaku. Bahwa dia merasa
bahagia atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya dan dia pun bahagia atas
kedekatannya bersama Tuhan sekarang.
Yaa, itulah rahasia Tuhan yang
sempat “terbuka” olehku. Aku membawa diriku pada posisi sekarang,”Saat ini aku
masih hidup, Nek. Aku masih punya tanggung jawab yg harus aku selesaikan. Oke Nek,
seperti harapan2 yang pernah nenek sampaikan dulu pada diriku, aku akan
berusaha memenuhi harapan itu.” ^_^
Trima kasih Tuhan. Pelajaran hari
kemarin benar-benar luar biasa. Semoga aku bisa terus melihat pelajaran darimu
dengan mata batinku yaa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar