Jumat, 01 Februari 2013

Unseparated Love


Dear, Love…..

Dear, Tuhan, Maha Pemberi Segala Cinta

Aku tidak tahu apa yg sanggup aku katakan untukmu lagi Tuhan. Ternyata benar, cintaMu memang tak pernah terbatas. Awalnya aku tak pernah mengira bahwa ini nyata, tapi ini benar-benar nyata. 

Yah, ini bukan cerita mistis atau fiksi. Ini bukan cerita yg sengaja aku karang untuk mempertebal daya khayalku. Ini adalah sebuah kisah yang Dia buat dengan sangat cantik, sangat mempesona. Dan membuatku semakin paham tentang makna cinta.

Mungkin ini akan menjadi satu kisah yg aku kenang dalam sejarahku. Pengalaman pertamaku untuk bertemu dengan cinta yang suci. Ketika aku bisa benar-benar melihat cinta dalam “soul”, bukan dalam fisik maupun apa saja yg bisa dilihat dengan indera. 

Yogyakarta, hari Kamis pagi 31 Januari 2013. Awalnya aku merencanakan untuk melakukan aktivitas pagi secara “normal”. Mengerjakan laporan dengan sangat fokus, mengejar target yang membuatku tersiksa. Tapi, yah lagi-lagi kebutuhanku terhadap pemaknaan yang begitu besar muncul. Saat mendengarkan musik dari playlist laptopku, yang terpikir adalah: aku ingin terlibat dalam rasa dan dinamika yg ada. Lalu akupun melakukan “meditasi”. Hmm, meditasi yg sangat unik. Tiba-tiba saja aku tergerak untuk melakukan hal yg sudah lama aku tinggalkan, menari. Oh yeah, akhirnya aku pun menari. Mengikuti setiap irama yg dihadirkan dalam iringan nada. Mencoba menari dengan segenap rasa. Hoho… dan aku pun bisa menemukan “soul”ku lagi dalam menari. Tapi jangan dibayangkan ini sebagai tarian dengan lemah gemulai ya! Karena ini adalah dance, gerakan yang muncul sebagai respon atas musik elektro or disko. Thanks to my favorite Japanese electro artists, Capsule & Perfume ^^

Menyenangkan sekali bisa menari dengan “soul”, seperti menemukan harmoni antara gerakan tubuh dan semesta. Rasanya mirip ketika aku melakukan gerakan tai-chi. Semacam menemukan yin & yang dalam tubuhku.  Sekitar 15 menit kemudian keringatku mulai bercucuran. Fyyuh, melelahkan juga. Lalu aku pun terpikir untuk melakukan gerakan pendinginan untuk menutup sesi meditasiku kali ini. Musik.. aku harus menemukan musik yg cocok untuk mengantarkanku pada posisi itu. 

Akhirnya aku pun memilih “Adia” by Sarah Mclachlan. Lagu yg selalu mengingatkanku bahwa setiap manusia punya “dosa”, but tidak ada yg salah dengan itu. Cause we’re born innocent. Hmm, aku pun mencoba masuk dalam lagu itu. Membayangkan wajah manusia-manusia yg pernah aku temui, dan melihat lagi apakah diantara kita pernah ada “dosa”.  Tetaplah, manusia adalah manusia, meskipun dosa pernah ada. Tetaplah, manusia adalah manusia, tempat kita berbagi cerita.

Ooom,… Oaheem…. Selesai meditasi tiba-tiba mata ini menyempit. Oh no, aku merasa mengantuk. Waah, apa-apaan ini. Tidak sopan. Habis mandi, meditasi, masak dilanjutkan dengan tidur? Tapi..tapi…kasur itu begitu menggodaku. Ah, tak apalah tidur sekitar 5-10 menit. Gak papa, sopan kok…

Yak, naikkan tubuh di atas kasur dan pejamkan mata… beristirahatlah sebentar Ima, dunia masih akan tetap indah kok :D. Seharusnya aku bisa tidur, tapi ternyata tidak. Aku tidur sih, secara fisik aku tidur, tapi ternyata “jiwa”ku tidak. Awalnya aku tidak menyadari hal ini. Aku pikir tubuhku memang tidur, tertidur dan kemudian menuju alam mimpi. Aku mengira diriku bermimpi ketika melihat sesosok cahaya itu. Sesosok cahaya putih yang menenangkan. Cahaya itu mendatangiku, seperti ingin mengucapkan sesuatu yang sudah lama dia pendam. Aaah, tiba-tiba hatiku berteriak,”Aku mengenal sosok itu. Ya aku mengenal dengan sangat baik. Sosok yang pernah membersamai hidupku selama bertahun-tahun sebelum akhirnya dia pergi.”

Daaan… akhirnya aku mampu menyadari bahwa cahaya itu adalah nenekku. Ya, dia adalah nenekku. Nenek yang aku sayangi. Nenek yg aku tahu kasih sayangnya untuk anak-anak dan cucu-cucunya begitu besar. Nenek yang selalu menyediakan waktu lama untuk berdoa setelah sholat. Nenek yang menyebut nama anak-anak dan cucu-cucunya satu per satu dalam doanya. Nenek yang selalu tersenyum & bersemangat menjalani hari-harinya…bahkan ketika dia mulai sakit, dan perlahan rasa sakit itu membuatnya tak bisa merasakan apa-apa lagi yg terindah dari dunia. Ya, dia adalah nenekku yang telah meninggal setahun lalu. 

Mungkin aku akan terus menganggap ini sebagai mimpi, jika aku tidak menyadari bahwa aku tidak bisa melihat wujudnya secara nyata. Seharusnya dalam mimpi aku bisa melihatnya tersenyum, berjalan mendekatiku sambil berkata, sebagaimana orang-orang yg pernah aku temui dalam mimpi. Tapi ini berbeda. Aku sama sekali tidak melihat wujudnya, aku hanya melihatnya sebagai cahaya. Entah mengapa aku kemudian bisa mengenalnya sebagai nenek. Hatiku kembali berteriak,”Itu nenekku. Neneek… sudah lama kita tidak bertemu. Aaah, damai sekali rasanya.” 

Dia tidak berkata apa-apa, karena dia hanyalah cahaya. Tapi aku bisa merasakan bahwa dia menyampaikan pesan. Dia berkata,”Ima, ini nenek. Nenek senang akhirnya bisa bertemu lagi denganmu. Nenek kangen lhoo. Sekarang nenek sudah di alam lain, dan nenek bahagia di sini. Semoga kamu juga bahagia ya, Ima.” Dia tidak berkata apa-apa, namun aku bisa merasakan bahwa dia memelukku. Ya, dia memelukku. Aku memang tidak lagi bisa merasakan kehangatan pelukan seperti yang pernah kurasakan dulu. Aku hanya merasakan sensasi, getaran, yg tidak bisa kudeskripsikan dengan kata-kata. 

Oh ya, ini adalah pertemuan antar “jiwa”. Jiwa nenekku dan jiwaku. Oh ya, aku sedang mengalami astral, seperti yg pernah disampaikan temanku bahwa gejala ini adalah astral. Hmm, aku sedang astral dan sedang tidak bermimpi. Aku menyadari itu semua dan aku membiarkan jiwaku terus berinteraksi dengan nenekku. Aku menikmati pertemuan ini…. Dan aku pun teringat pada Tuhan, aku memanggil Dia dalam astralku. “Tuhan, terima kasih atas kesempatan ini. Terima kasih telah mempertemukan kami. Terima kasih telah menjadi penghubung antar ‘dunia’. Jaga dia Tuhan. Jaga dia, dan berikan tempat yang terbaik di sisiMu. Amien.”

Pertemuan yg sangat singkat, mungkin sekitar 5 menit. Dia menemuiku, berbagi rindu, dan kemudian berpamitan. Dia pun pergi dan inilah saatnya bagiku untuk membuka mata. Hmm, kembali ke kamarku. Kembali ke dunia yang harus aku hadapi sekarang. Kembali ke dunia dimana aku harus melanjutkan hidup.
Oh, God. Ini adalah sesuatu yg unbelievable! Kau mempertemukan dua alam yg berbeda, dan itu nyata! Woww! Ternyata, memang ya, ketika Kau sudah berkehendak maka tidak ada hal yg sanggup menghalangi. Kau bisa menghilangkan semua batas penglihatan dan pengetahuan manusia. Lalu..lalu… aku pun tak sanggup menahan air mata. Bagaimana mungkin aku tidak mengakui kebesaranmu, Tuhan? 

Aku masih tak percaya. Apa yg terjadi dengan jiwaku? Apakah jiwaku sudah cukup bersih hingga Kau memberiku kesempatan merasakan pengalaman yg “berbeda”? Entahlaah…. Saat itu aku merasa bahwa Tuhan sedang sangat baik. Aku tidak tahu apa yg aku alami akhir-akhir ini, ketika aku merasa semakin bisa membaca tanda-tandaNya. Ketika aku merasa bahwa Dia semakin dekat, ketika aku merasa bahwa pengalaman metafisik adalah hal-hal yang “normal.” 

Aku mengalami berbagai peristiwa “di luar dugaan,” dan di balik itu aku akhirnya menemukan sesuatu yg “lain”, sesuatu yg sangat berharga untuk kedewasaan jiwaku. Kemudian aku kembali berpikir. Ternyata menjaga kebersihan jiwa itu mengagumkan. Ini baru tanda-tanda yg “kecil”. Mungkin kalau aku terus berusaha menjaga kebersihan jiwa maka akan semakin banyak tanda-tandaNya yang bisa aku lihat, sentuh, dan rasakan. Seperti sebuah tantangan bagiku untuk terus “mencuci” hati, di tengah godaan dunia yg sangat mudah membuatku “kotor.”

Ah ya, aku teringat percakapan terakhir yg cukup berkesan antara aku dan nenekku. Saat itu nenekku sudah mulai sakit. Kami sedang berbincang-bincang santai sambil berbaring di kasur. Mengikuti pesan ibuku untuk memberikan kata-kata positif pada nenekku, maka aku pun melakukan hal itu. Aku berusaha menguatkan nenekku. “Nek, nenek harus yakin kalau bisa sembuh. Nenek harus menguatkan diri, percaya bahwa setiap penyakit ada obatnya. Dan yang terpenting, kita harus ikhlas. Kan yang memiliki tubuh dan semua milik kita adalah Tuhan. Jadi kita harus mengembalikan semuanya pada Tuhan.” Kata-kata yang terdengar seperti ceramah ya? Tapi asli saat itu aku merasa sedikit merinding menyampaikannya. “Ima, lu bisa apa ngomong-ngomongin ikhlas kayak begitu? Emang lu selama ini udah cukup ikhlas? Siap mati lu, Ma?,”bisik hatiku. 

“Iya Ima, nenek sekarang sudah berusaha ikhlas kok.  Pasti bisa sembuh ya!” begitu kata nenekku. Aku tidak tahu pasti bagaimana efek kata-kata yg aku sampaikan pada nenekku. Setelah itu aku kembali ke Jogja sehingga tidak mengikuti perkembangan kesehatannya secara langsung. Aku hanya mendengar kabar dari ibuku, bahwa nenekku keadaannya semakin tidak stabil. Beberapa saudara menyarankan nenekku diobati secara alternatif saja, minum obat tradisional, pasti juga sembuh. Namun ternyata nenekku memiliki pendapat yg berbeda. Dia bersikeras untuk dibawa ke Surabaya saja, minta di operasi di rumah sakit besar di sana. Ini membuat ibuku dan saudaranya yang lain sedikit bingung memikirkan masalah biaya. Tapi bagaimanapun ini adalah keinginan nenekku, jadi harus tetap diusahakan biayanya. 

Akhirnya nenekku pun dibawa ke Surabaya. Menjalani operasi…. Dan di luar dugaan, ternyata operasinya tidak berjalan sesuai harapan. Dokter memanggil ibuku dan pamanku dan berkata,”Maaf, ternyata tumor yang ada dalam perut ibu anda sudah menggerogoti jantung. Kami tidak bisa melakukan tindakan untuk mengangkat tumor itu. Jadi kami hanya bisa menutup kembali perut ibu anda dan tidak melakukan operasi.” 

Ibuku dan pamanku kembali ke kamar dengan wajah lemas. Beberapa saat setelah nenekku tersadar, dia bertanya,”Bagaimana hasil operasinya?.” Baik kok bu, baik. Tumornya sudah berhasil diangkat.” Itu adalah kata-kata “bohong” yang sengaja dibuat oleh ibuku dan adik-adiknya untuk menyenangkan hati nenekku. “Ah ya, syukurlah. Sekarang penyakitnya sudah hilang,” ujar nenekku dengan senyum penuh kebahagiaan.

Beberapa hari kemudian, kondisi nenekku semakin menurun. Ya, ibuku dan adik-adiknya pasti sudah mempersiapkan hal ini, karena mereka tahu bahwa operasinya gagal. Namun tidak dengan nenekku. Dia masih berada dalam rasa bahagianya. Dia menyadari bahwa rasa sakitnya semakin parah, namun keyakinan dalam dirinya bahwa operasinya berhasil lah yang membuatnya masih terus optimis. 

Hari demi hari berjalan, dan nenekku akhirnya…… harus pergi meninggalkan dunia. Aku tidak tahu apa yang dirasakan nenekku saat Tuhan memanggilnya, apakah dia akhirnya membenci anak-anaknya yang sengaja membohonginya? Ataukah dia merasa senang karena Tuhan telah memberikan obat yang istimewa? 

Aku tidak tahu hal itu dan aku pun tidak pernah lagi memikirkannya. Hingga saat kemarin tiba, seperti…. dia menyampaikan sendiri perasaannya secara langsung padaku. Bahwa dia merasa bahagia atas apa yg telah terjadi dalam hidupnya dan dia pun bahagia atas kedekatannya bersama Tuhan sekarang. 

Yaa, itulah rahasia Tuhan yang sempat “terbuka” olehku. Aku membawa diriku pada posisi sekarang,”Saat ini aku masih hidup, Nek. Aku masih punya tanggung jawab yg harus aku selesaikan. Oke Nek, seperti harapan2 yang pernah nenek sampaikan dulu pada diriku, aku akan berusaha memenuhi harapan itu.” ^_^ 

Trima kasih Tuhan. Pelajaran hari kemarin benar-benar luar biasa. Semoga aku bisa terus melihat pelajaran darimu dengan mata batinku yaa! 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar