Sabtu, 05 Oktober 2013

Spiritual Love



Ini adalah sebuah bentuk kerumitan saya dalam mendefinisikan apa itu cinta. Hummm, duudduu…..
Lah ngapain didefinisikan tho Im… dijalani aja udah tho……..
Udah lah… kamu temukan aja pasangan yg tepat, trus kamu menikah sama dia ya… trus kalian akan punya anak, trus kalian akan bahagia..bla..bla…… Udah Ima, cukup….. gak usah kebanyakan mikir.

Oh, jadi gitu doang? Udah? Hidup gue selese kalo udah nemuin jodoh? =_=

Hmm….. begitulah, akhir2 ini saya didera banyak kekhawatiran. Kalo saya tidak bisa memaknai cinta secara benar bagaimana? Kalo tiba2 aja udah waktunya ketemu jodoh tapi saya masih belum bisa mendefinisikan cinta secara tepat bagaimana?

Saya suka resah sendiri kalo ngeliatin sosial media.. Terkadang saya bingung, kok bisa ya orang2 itu menjalani kehidupan secara “biasa”?  Ketemu pasangan, trus kenalan, merasa cocok, trus tiba2 aja foto mereka udah beredar ke mana2… (baik foto pre maupun post wedding, maupun yg nggak jadi wedding).

Itu lho Im.. kehidupan secara “normal” tu kayak gitu…..

Krik…krik……

Baiklah, sepertinya saya perlu diterapi, biar nggak alergi dengan yg namanya “cinta2an”

Kemaren itu saya SMS-an dengan seorang teman saya. Kita diskusi tentang cinta sesaat dan cinta tidak sesaat. Teman saya bilang gini,”Aku tahu alasan mereka mempublish foto kemesraan mereka. Mungkin memang di situlah letak kebahagiaan mereka. Entahlah.. bahagia sesaat atau tidak sesaat.”

Lalu insting spiritual saya pun tergerak,”Nah, itulah yg aku takutkan. Aku takut kalo aku terlalu mencintai seseorang bagaimana? Aku takut memiliki perasaan yg menggebu-gebu. Takut kalo perasaan itu mengalahkan cintaku padaNya. Aku jadi lupa Dia…. Padahal, someday aku juga pasti akan kehilangan orang itu kan? Aku tidak mau sangat terikat pada perasaan cinta. Makanya, aku berusaha untuk melepaskan orang itu saja, bahkan sebelum aku bertemu dengannya.”

Teman saya ini hanya tertawa,”Hahaha…..Saat kamu memutuskan untuk melepaskan, artinya kamu masih memegangnya. Kamu akan melepaskannya tanpa kau menyadarinya…” (aslinya saya agak bingung dgn maksud perkataan teman saya ini, hehe..)

“Gimana ya? Aku merasa cinta itu sesuatu yg sakral. Sifatnya sacred & secret. Sama kayak hubungan dengan Tuhan. Yang sebaiknya tahu urusan itu ya hanya 2 orang yg saling mencintai. Iya sih, aku sebenarnya juga bukan orang yg anti cinta2an. Cuma…. Aku ingin memiliki perasaan cinta yang sakral, sama kayak orang2 yg mensucikan diri di hadapan Tuhan. Biksu, Romo, Biarawati, adalah contoh orang2 yg bisa menghadirkan romantisme secara nyata di hadapanNya. Mungkin aku memang tidak bisa sepenuhnya bersikap seperti mereka, tapi.. aku ingin meneladani bagaimana cara mereka mengagungkan cinta. Setiap orang memiliki kesempatan yg sama untuk mendekat padaNya. Aku yg orang biasa ini juga ingin mendekat padaNya dengan caraku.” (SMS ini sudah dimodifikasi)


……..Kalo nggak hati2, perasaan cinta itu bisa membelenggu. Punya pasangan ideal, anak2 lucu & cerdas, hidup sejahtera berkecukupan, keluarga yg bahagia……  Saya yakin itu harapan semua orang. Maka tidak mengherankan dalam beberapa kasus orang2 harus mengalami kegalauan berkepanjangan dulu sebelum mampu meraih semua itu.

Saya termasuk orang yg memiliki pemikiran “terlalu panjang.” Jika orang yg belum menemukan jodoh biasanya “hanya” memilih untuk memperbaiki kualitas dulu di hadapan Tuhan dan orang lain...kalo saya sih, ya tentu aja hal semacam itu dilakuin. Tapi trus pemikiran saya ke mana2. Dari sekarang saya udah tahu kalo kehidupan rumah tangga saya “tidak terlalu panjang”. Bukan cuma kehidupan rumah tangga, bahkan kehidupan masa depan saya pun sepenuhnya “tidak terlalu panjang”. Emang berapa lama sih? 50 tahun? 70 tahun? Nggak mungkin lebih dari 100 tahun kan?

Iyya, kehidupan saya “tidak terlalu panjang” temans.. Saya saat ini sedang membuat note, tanpa terasa waktu akan berjalan sangat cepat dan tiba2 udah 50 tahun kemudian. Saya dan teman2 (kalo masih diberi hidup) tiba2 aja udah terduduk manis di atas kursi goyang sembari menikmati “renungan masa muda”. Saya cuma pengen, nanti kita bersama2 mengucapkan kata2 ini dgn manis,”Eh, iya ya. Ternyata kehidupan itu cepet banget. Tapi nggak rugilah aku hidup, kan udah terbiasa memaknainya sejak muda dulu. Kalo sekarang mau ditinggalin ya nggak papa, memang seharusnya begitu kan?”

Hehe.. imajinasi yg indah yaa? Begitulah, karena nggak mau menyesal di masa tua, saya pun pengen berhati2 memaknai konsep cinta dari sekarang. Meski saya muslim, saya suka berpetualang ke berbagai ajaran agama sekedar “rekreasi” (biar gak bosen). Saya menemukan konsep yang agung dalam ajaran Buddha. Saya suka dengan teori2 yg berupaya menghilangkan diri dari “kemelekatan dunia”. Banyaaak banget hal-hal di dunia ini yang bikin kita susah melepaskan diri dari kemelekatan. Contohnya: hiburan yg bertebaran bebas di berbagai media, dunia internasional yg begitu mudah terjamah dgn sekali klik, kehidupan orang lain yg begitu mudah di-intipin lewat sosial media, foto2 dan gambar2 yg mudah diakses & dipamerin. Yaa itulah godaan duniaa….. (saya sadar sih, tp jg belum bisa lepas dari hal2 begituan). Dengan begitu mudahnya siapa pun berperan sbg “artis”, maka jika kita tidak berhati2 memanfaatkan semua fasilitas itu, perlahan2 makna hidup yg dihadirkan Tuhan di bumi ini bisa mengabur. Siapa pun dan kapan pun bisa upload foto, foto dirinya lah, pasangannya lah, anaknya lah, ibu bapaknya lah, kakek neneknya lah, temen2nya lah, kucingnya lah, tetangganya lah, orang2 d pinggir jalan lah (tuh kan, gak kebayang betapa isengnya kita upload berbagai objek demi untuk memuaskan batin pribadi).

Tapi trus… sesekali mari kita coba untuk melihat lebih dalam. Foto2 dan update status itu hanya “simbolitas”, temans…  Simbolitas dari eksistensi ruhiyah kita yg sebenarnya. Memang sih, ekspos diri & benda2 (orang2) di sekitar kita bisa sangat bermakna, kita jadi merasa hidup kita lebih berarti dan dihargai publik. Tapi coba dicermati lagi, sebenarnya kalo nggak ada fasilitas update2an atau upload2an gitu kita masih tetep bisa hidup kan? Apakah ada yg salah kalo eksistensi kita tidak diketahui siapa pun? Apakah ada yg salah kalo kita lebih memilih mencari makna hidup di gua sendirian dan hanya Tuhan yg tahu?

Begitu juga dgn konsep cinta. Apakah ada yg salah kalo kita nggak publish foto pre maupun post wedding? Apakah ada yg salah kalo kita nggak upload foto bayi yg baru lahir? Apakah ada yg salah kalo kita nggak upload foto ortu ato sodara kita yg lagi ultah? Nggak juga kan? Rasa sayang kita terhadap orang2 terkasih di sekitar kita nggak akan berkurang. Bisa jadi lebih sakral karena ungkapan sayang kita terhadap orang2 tsb benar2 bersifat personal, terserah apa kata dunia lah yaa…..

Saya nggak bermaksud membuat judgement tentang “fasilitas2 duniawi” yg sekarang lagi marak. Cuma mengajak teman2 untuk melihat dari sudut pandang lain (sekaligus mengingatkan bahwa yg namanya dunia itu memang benar2 bersifat sementara). Sedih untuk bilang juga bahwa kebersamaan kita dgn orang2 yg kita cintai sekarang pun bersifat sementara. Someday, yg namanya kehilangan pasti akan benar2 terjadi, meski sekeras mungkin kita menolaknya. Tapii….. jangan sedih berkepanjangan juga…..Karena ada lho yg namanya “spiritual love”. Yakni sebuah perasaan cinta yang memiliki kedalaman arti, tidak terukur jarak, ruang, dan waktu. Boleh jadi tubuh kita terpisah, tapi hati kita tetap terasa dekat. Itu adalah perasaan yg bersumber kepada Tuhan….Itu juga perasaan yg bisa menyatukan kita dgn berbagai perbedaan karakter dan latar belakang. Karena kita menyadari bahwa yg abadi hanyalah Tuhan….. Itulah yg seharusnya membuat perasaan cinta kita bertahan.., karena kita menyadari bahwa dalam setiap diri yg kita cintai ada Tuhan.

“Begitulah relasi dengan Tuhan. Kadang romantis, kadang ada hal yg membuat kita kesal. Tapi itulah letak cinta, selalu ada cara kembali pulang dan merindukanNya.”
(SMS penutup dari teman saya)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar