Ini adalah sebuah bentuk kerumitan saya dalam
mendefinisikan apa itu cinta. Hummm, duudduu…..
Lah ngapain didefinisikan tho Im… dijalani aja udah
tho……..
Udah lah… kamu temukan aja pasangan yg tepat, trus
kamu menikah sama dia ya… trus kalian akan punya anak, trus kalian akan
bahagia..bla..bla…… Udah Ima, cukup….. gak usah kebanyakan mikir.
Oh, jadi gitu doang? Udah? Hidup gue selese kalo
udah nemuin jodoh? =_=
Hmm….. begitulah, akhir2 ini saya didera banyak
kekhawatiran. Kalo saya tidak bisa memaknai cinta secara benar bagaimana? Kalo
tiba2 aja udah waktunya ketemu jodoh tapi saya masih belum bisa mendefinisikan
cinta secara tepat bagaimana?
Saya suka resah sendiri kalo ngeliatin sosial
media.. Terkadang saya bingung, kok bisa ya orang2 itu menjalani kehidupan
secara “biasa”? Ketemu pasangan, trus
kenalan, merasa cocok, trus tiba2 aja foto mereka udah beredar ke mana2… (baik
foto pre maupun post wedding, maupun yg nggak jadi wedding).
Itu lho Im.. kehidupan secara “normal” tu kayak gitu…..
Krik…krik……
Baiklah, sepertinya saya perlu diterapi, biar nggak
alergi dengan yg namanya “cinta2an”
Kemaren itu saya SMS-an dengan seorang teman saya.
Kita diskusi tentang cinta sesaat dan cinta tidak sesaat. Teman saya bilang
gini,”Aku tahu alasan mereka mempublish foto kemesraan mereka. Mungkin memang
di situlah letak kebahagiaan mereka. Entahlah.. bahagia sesaat atau tidak
sesaat.”
Lalu insting spiritual saya pun tergerak,”Nah,
itulah yg aku takutkan. Aku takut kalo aku terlalu mencintai seseorang
bagaimana? Aku takut memiliki perasaan yg menggebu-gebu. Takut kalo perasaan
itu mengalahkan cintaku padaNya. Aku jadi lupa Dia…. Padahal, someday aku juga
pasti akan kehilangan orang itu kan? Aku tidak mau sangat terikat pada perasaan
cinta. Makanya, aku berusaha untuk melepaskan orang itu saja, bahkan sebelum
aku bertemu dengannya.”
Teman saya ini hanya tertawa,”Hahaha…..Saat kamu
memutuskan untuk melepaskan, artinya kamu masih memegangnya. Kamu akan
melepaskannya tanpa kau menyadarinya…” (aslinya saya agak bingung dgn maksud
perkataan teman saya ini, hehe..)
“Gimana ya? Aku merasa cinta itu sesuatu yg sakral.
Sifatnya sacred & secret. Sama kayak hubungan dengan Tuhan. Yang sebaiknya
tahu urusan itu ya hanya 2 orang yg saling mencintai. Iya sih, aku sebenarnya
juga bukan orang yg anti cinta2an. Cuma…. Aku ingin memiliki perasaan cinta
yang sakral, sama kayak orang2 yg mensucikan diri di hadapan Tuhan. Biksu,
Romo, Biarawati, adalah contoh orang2 yg bisa menghadirkan romantisme secara nyata
di hadapanNya. Mungkin aku memang tidak bisa sepenuhnya bersikap seperti
mereka, tapi.. aku ingin meneladani bagaimana cara mereka mengagungkan cinta.
Setiap orang memiliki kesempatan yg sama untuk mendekat padaNya. Aku yg orang
biasa ini juga ingin mendekat padaNya dengan caraku.” (SMS ini sudah
dimodifikasi)
……..Kalo nggak hati2, perasaan cinta itu bisa
membelenggu. Punya pasangan ideal, anak2 lucu & cerdas, hidup sejahtera
berkecukupan, keluarga yg bahagia…… Saya
yakin itu harapan semua orang. Maka tidak mengherankan dalam beberapa kasus
orang2 harus mengalami kegalauan berkepanjangan dulu sebelum mampu meraih semua
itu.
Saya termasuk orang yg memiliki pemikiran “terlalu
panjang.” Jika orang yg belum menemukan jodoh biasanya “hanya” memilih untuk
memperbaiki kualitas dulu di hadapan Tuhan dan orang lain...kalo saya sih, ya
tentu aja hal semacam itu dilakuin. Tapi trus pemikiran saya ke mana2. Dari
sekarang saya udah tahu kalo kehidupan rumah tangga saya “tidak terlalu
panjang”. Bukan cuma kehidupan rumah tangga, bahkan kehidupan masa depan saya
pun sepenuhnya “tidak terlalu panjang”. Emang berapa lama sih? 50 tahun? 70
tahun? Nggak mungkin lebih dari 100 tahun kan?
Iyya, kehidupan saya “tidak terlalu panjang”
temans.. Saya saat ini sedang membuat note, tanpa terasa waktu akan berjalan
sangat cepat dan tiba2 udah 50 tahun kemudian. Saya dan teman2 (kalo masih
diberi hidup) tiba2 aja udah terduduk manis di atas kursi goyang sembari
menikmati “renungan masa muda”. Saya cuma pengen, nanti kita bersama2 mengucapkan
kata2 ini dgn manis,”Eh, iya ya. Ternyata kehidupan itu cepet banget. Tapi
nggak rugilah aku hidup, kan udah terbiasa memaknainya sejak muda dulu. Kalo
sekarang mau ditinggalin ya nggak papa, memang seharusnya begitu kan?”
Hehe.. imajinasi yg indah yaa? Begitulah, karena
nggak mau menyesal di masa tua, saya pun pengen berhati2 memaknai konsep cinta
dari sekarang. Meski saya muslim, saya suka berpetualang ke berbagai ajaran
agama sekedar “rekreasi” (biar gak bosen). Saya menemukan konsep yang agung dalam
ajaran Buddha. Saya suka dengan teori2 yg berupaya menghilangkan diri dari
“kemelekatan dunia”. Banyaaak banget hal-hal di dunia ini yang bikin kita susah
melepaskan diri dari kemelekatan. Contohnya: hiburan yg bertebaran bebas di
berbagai media, dunia internasional yg begitu mudah terjamah dgn sekali klik,
kehidupan orang lain yg begitu mudah di-intipin lewat sosial media, foto2 dan
gambar2 yg mudah diakses & dipamerin. Yaa itulah godaan duniaa….. (saya
sadar sih, tp jg belum bisa lepas dari hal2 begituan). Dengan begitu mudahnya
siapa pun berperan sbg “artis”, maka jika kita tidak berhati2 memanfaatkan
semua fasilitas itu, perlahan2 makna hidup yg dihadirkan Tuhan di bumi ini bisa
mengabur. Siapa pun dan kapan pun bisa upload foto, foto dirinya lah, pasangannya
lah, anaknya lah, ibu bapaknya lah, kakek neneknya lah, temen2nya lah,
kucingnya lah, tetangganya lah, orang2 d pinggir jalan lah (tuh kan, gak
kebayang betapa isengnya kita upload berbagai objek demi untuk memuaskan batin
pribadi).
Tapi trus… sesekali mari kita coba untuk melihat
lebih dalam. Foto2 dan update status itu hanya “simbolitas”, temans… Simbolitas dari eksistensi ruhiyah kita yg
sebenarnya. Memang sih, ekspos diri & benda2 (orang2) di sekitar kita bisa
sangat bermakna, kita jadi merasa hidup kita lebih berarti dan dihargai publik.
Tapi coba dicermati lagi, sebenarnya kalo nggak ada fasilitas update2an atau
upload2an gitu kita masih tetep bisa hidup kan? Apakah ada yg salah kalo
eksistensi kita tidak diketahui siapa pun? Apakah ada yg salah kalo kita lebih
memilih mencari makna hidup di gua sendirian dan hanya Tuhan yg tahu?
Begitu juga dgn konsep cinta. Apakah ada yg salah
kalo kita nggak publish foto pre maupun post wedding? Apakah ada yg salah kalo
kita nggak upload foto bayi yg baru lahir? Apakah ada yg salah kalo kita nggak
upload foto ortu ato sodara kita yg lagi ultah? Nggak juga kan? Rasa sayang
kita terhadap orang2 terkasih di sekitar kita nggak akan berkurang. Bisa jadi
lebih sakral karena ungkapan sayang kita terhadap orang2 tsb benar2 bersifat
personal, terserah apa kata dunia lah yaa…..
Saya nggak bermaksud membuat judgement tentang
“fasilitas2 duniawi” yg sekarang lagi marak. Cuma mengajak teman2 untuk melihat
dari sudut pandang lain (sekaligus mengingatkan bahwa yg namanya dunia itu
memang benar2 bersifat sementara). Sedih untuk bilang juga bahwa kebersamaan
kita dgn orang2 yg kita cintai sekarang pun bersifat sementara. Someday, yg
namanya kehilangan pasti akan benar2 terjadi, meski sekeras mungkin kita
menolaknya. Tapii….. jangan sedih berkepanjangan juga…..Karena ada lho yg
namanya “spiritual love”. Yakni sebuah perasaan cinta yang memiliki kedalaman
arti, tidak terukur jarak, ruang, dan waktu. Boleh jadi tubuh kita terpisah,
tapi hati kita tetap terasa dekat. Itu adalah perasaan yg bersumber kepada
Tuhan….Itu juga perasaan yg bisa menyatukan kita dgn berbagai perbedaan
karakter dan latar belakang. Karena kita menyadari bahwa yg abadi hanyalah
Tuhan….. Itulah yg seharusnya membuat perasaan cinta kita bertahan.., karena
kita menyadari bahwa dalam setiap diri yg kita cintai ada Tuhan.
“Begitulah relasi dengan Tuhan. Kadang romantis,
kadang ada hal yg membuat kita kesal. Tapi itulah letak cinta, selalu ada cara
kembali pulang dan merindukanNya.”
(SMS penutup dari teman saya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar