Bismillah, hmm….. sebenernya
malam ini saya gak berniat untuk bikin note. Memang sih dari kemaren2 sempet
ada pikiran pengen bikin note, tapi keinginan tersebut sengaja tidak saya
fasilitasi karena masih banyak tugas yang harus saya selesaikan. Kok rasanya
egois ya kalo saya malah meluangkan waktu untuk menulis?
Dududu… Kalo saja kemaren malam
saya tidak “diproses” pas bimbingan di kampus, kalo saja tadi setelah sholat
maghrib tangisan saya tidak tumpah, mungkin note ini tidak akan pernah
tercipta. Tapi yaa lagi2 semua ini atas izin Sang Editor, saya pun jadi merasa
ada “keharusan” untuk menge-share apa yg sudah saya alami. Yak, abaikan sejenak
laporan de es be itu dari pikiranmu, Ima, hehe….
Ehm, balik lagi ke judul yg saya
tulis di atas ya. “Dear, psychologist. How many people do you help?” Hayoo, siapa bisa jawab? Kira2 sudah berapa
orang yg (merasa) pernah kita tolong ya? Disini saya lebih memfokuskan latar
belakang saya sebagai (calon) psikolog ya, makanya saya tulis “dear,
psychologist”.
Sebagai orang yg pernah dan
sedang belajar psikologi, kita mungkin sering berpikir, “Penting lho menolong
orang itu. Penting lho memperhatikan mereka dengan penuh empati. Penting lho
memberikan solusi kalo orang itu lagi curhat.” Ya sih, pentiing banget. Apalagi
kalo sedang dalam masa praktik kerja seperti saya, menolong orang sehingga bisa
terlepas dari masalah itu rasanya menjadi sebuah “kewajiban.” Selanjutnya
perasaan itu pun mendorong tumbuhnya citra diri sebagai “hero”. “Yak, Anda
adalah orang yang berhak ditolong dan saya adalah orang yang akan menyelesaikan
masalah Anda,” begitu kira2 pikiran yang sering terlintas ketika kita
berhadapan dengan klien.
Dan terciptalah hirarki antara
psikolog dan klien. “Saya ini psikolog lho. Orang yang mengerti berbagai teori,
pendekatan, dan intervensi. Jadi, ketika Anda datang kepada saya, saya pasti
bisa memberikan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan Anda.” Lalu dimulailah
adegan demi adegan. Bertemu dengan klien, pikiran mulai bekerja. “Hmm, masalah
nih. Kira2 kenapa ya bisa begitu? Kok bisa dia merasa sedemikian jengkel? Apa
mungkin suaminya begini ya? Apa mungkin anaknya begini ya?” Mulai deh jiwa suka
KEPO-nya tersalurkan. Nanya sana nanya sini. Eh..eh… tapi kok setelah
dipikir-pikir masalah ibu ini mirip dengan saya ya? Haduuh, jleb..jleb..jleb….
Begitulah, kalo dalam bahasa gaul
anak-anak psikologi sih kejadian kayak gitu biasa disebut dengan “resonansi”.
Awalnya sih mungkin kita sulit mengenali, tapi setelah dirunut-runut biasanya
ada “hal yg bersifat sama” antara kita dengan klien. Oke deh, saya sudah bosan
ngomongin resonansi, sekarang saya mau ngomongin tentang cermin aja deh, hehe…
Cermin? Ya, cermin. Yang biasa
kita pake untuk meyakinkan diri kalo kita cakep itu lho, hoho… Emangnya apa
yang istimewa dari cermin? Istimewa banget laah… Coba bayangin kalo di dunia
ini nggak ada cermin? Mungkin bisa aja kita denger dari orang lain kalo kita
ini cakep. Tapi kan rasanya gak puas gitu lho kalo belum melihat buktinya sendiri.
Dan seperti itulah kehidupan, eeeiih…
mulai “berat” nih ngomongnya :D.
Kehidupan bagaikan cermin. Itu
pelajaran yang saya ambil dari kejadian kemaren. Pagi tadi, setelah saya pulang
dari nginep tempat temen, setelah saya mandi, bersiap2, update status (haha
sempet2nya update status), kemudian berangkat ke puskesmas, saya pun berangkat
dengan perasaan yang lebih “berwarna”. Rasanya saya siap menghadapi semua
kemungkinan yg akan terjadi. Rasanya saya siap diomelin mbak psikolog tentang
kebodohan yg sering saya lakukan di puskesmas. Rasanya saya siap dicurhatin
klien dengan tetap menunjukkan wajah kebingungan saya.
Pulang dari puskesmas, dalam
perjalanan menuju kos, hingga sampe di kos pun saya masih terus berpikir. “Ya,
sekarang saya siap dikatakan ‘bodoh’ oleh siapa pun. Sekarang saya siap
dianggap psikolog yang ‘tidak tahu apa2’. Saya pengen lepas dari semua
kewajiban itu. Saya pengen lepas dari tanggung jawab saya sebagai ‘penolong’.”
Nggg, emangnya kenapa, Ima?
Bukannya jadi “hero” itu bagus ya? Bagus sih, bagus kalo kita bener-bener paham
maknanya. Tapi bagi saya sebutan “hero” itu ternyata menjadi beban. Mungkin
selama ini saya tidak sadar. “Oh ya, saya pasti bisa menolong semua orang. Saya
pasti bisa membahagiakan banyak orang. Saya pasti bisa dianggap baik oleh semua
orang.”
Andaaai saja setelah maghrib tadi
tidak terjadi percakapan antara “diri-diri” saya, mungkin saya tidak akan
menyadari bahwa setiap manusia adalah “hero”. Sungguh salah jika saya merasa
menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas tujuan dan kebahagiaan yang
ingin saya capai. Karena keberadaan setiap orang turut menentukan bagaimana
saya berproses hingga menjadi seperti sekarang. Ya, selama ini saya terlalu
membatasi diri untuk menjadi diri saya. Mungkin emosi yang sering saya kenali
cuma dua: baik & baik banget. Jarang banget tuh yang namanya sedih, kecewa,
jengkel, apalagi sampe nangis di depan umum.
Pernah di suatu ketika dulu saya
berpikir. Menurut ajaran agama menjadi orang sabar tuh emang baik kan? Berarti
sabar bisa membawa kita ke surga? Berarti perasaan sedih, marah, jengkel itu
kan nggak penting? Berarti kan hidup itu cukuplah menuju kebahagiaan
akhirat.. Dan setelah saya pikir2 lagi,
trus apa gunanya Tuhan menciptakan emosi? Trus apa gunanya Tuhan nyiptain kantung
air mata? Trus ngapain Tuhan ngajarin kita berdoa untuk mencapai kebahagiaan
dunia & akhirat? Ya udahlaah, ini kan dunia. Meskipun dunia & akhirat
nggak pernah benar2 terpisah, tetep aja ada hal-hal yg hanya bisa dilakuin di
dunia dan ada hal2 yg hanya bisa dilakukan di akhirat. Menurut saya menjadi
“manusia biasa” itu nggak dosa kok. Bagaimanapun manusia adalah makhluk
spiritual. Sebiasa apapun perilakunya, tetep aja ada nilai spiritualnya. Toh
dari tetesan air mata atau suara tertawa seseorang pun kita bisa melihat tanda2
kebesaranNya kan? Siapa yg menggerakkan otot-otot di wajahnya itu kalo bukan
Tuhan?
Yuhuu…setelah diamat-amati lebih
dalem ternyata kehidupan itu emang luas sekaligus simple lho. Ya seperti cermin
itu. Saya jadi nemu filosofi baru. Di sekeliling kita ada cermin yang luas lho.
Tau nggak? Cerminnya kadang visible kadang invisible sih, tergantung kondisi
hati. Coba perhatikan orang2 yang ada di dekat diri kita sekarang, bisa ayah
ibu, bisa temen2 kos, bisa tetangga, bisa penjual makanan, bisa klien yang
datang maupun sengaja didatangi,….. Mereka semua adalah cermin lho, temans.
Coba amati kenapa orang2 di sekitar kita berperilaku begitu? Karena ya diri
kita sedang “pantas” diperlakukan begitu. Kadang bikin seneng, kadang bikin
jengkel, tapi itu semuanya memang harus terjadi karena kita sedang diajari
untuk melihat “cermin” diri kita secara utuh.
Berbicara dengan orang lain
berarti berbicara dengan cermin. Coba aja tuh kalo ada orang lagi marah-marah
terus kita bales pake kata-kata super halus, biasanya orang itu jadi nggak enak
kan mau nglanjutin marahnya. Nah, demikianlah hal yang baru saya pelajari. Hmm,
baiklah. Mulai sekarang kalo ketemu klien saya akan mengibaratkan berbicara
dengan cermin. Saya akan membayangkan lagi ngomong dengan diri saya di depan
cermin. Jadi apapun yang diungkapkan klien, itu adalah pantulan dari cermin
diri saya. Lalu, masihkah saya perlu berpikir bahwa saya sedang menolong klien
tersebut? Hoho.. seharusnya tidak lagi. Saya sedang menolong diri saya. Ketika
ada orang “bermasalah” datang, ya berarti diri saya memang “bermasalah”. Entah dalam hal apa, tapi yang jelas ada
bagian dari diri saya yang perlu diselesaikan, atau kalaupun tidak berarti ada
bagian dari diri saya yang perlu ditingkatkan kualitasnya untuk lebih baik
lagi.
Indah sekali kehidupan itu ya? Di
setiap bagiannya ada cermin. Di setiap bagiannya ada cara untuk memperkaya
diri. Di setiap bagiannya ada cara untuk merasa satu bagian dengan makhluk
semesta. Di setiap bagiannya ada Tuhan. Di setiap bagian, temans… Ingat itu, di
setiap bagian….. Maka, teruslah kita selami keagungan di setiap bagian itu ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar