Hmm…. Judul di atas adalah kata2
yg membuat saya tertegun membacanya. Alkisah di suatu senja mendekati hujan, di
pelataran tangga di sebuah gerbang kampus something di kota somewhere, saya
melihatnya. Ya, kata-kata itu menjadi sangat spesial mengingat ini adalah
tulisan di sebuah tempat yang bagi saya “sesuatu bangets”.
Bingung ya? Oke deh, flash back
dulu flash back dulu… Diawali dengan perjalanan saya dan sekelompok teman yang heboh,
narsis, dan nekat (hehe, peace) dari Jogja, menuju Jakarta, lalu menuju Kuala
Lumpur, lalu menuju….. Yeeeeiiii..Melbourne ^_^ (yg selanjutnya akan saya sebut
dgn Melby). Horraay... Ini patut dicatat dalam sejarah, karena ini adalah kali
pertamanya saya naik pesawat (ndeso banget yo?). Pertama kalinya naik langsung
ke luar negeri. Dan pertama kalinya ke luar negeri langsung ke kota yang ampun
deh, multikultural abis :D.
Tentu tak terbayangkan betapa
besar kegirangan saya. Betapa pada akhirnya saya pun tahu,”Oh, gini tho rasanya
terbang naik pesawat? Ya ampun, lucu banget
bisa ngeliatin awan-awan imut kayak kapas melayang-layang dengan
cantik.” #kayakdipilem2.
Kedua, begitu sampai di KL, mulai
lagi kegirangan kedua. “Oh, gini tho rasanya di negeri orang.” Langsung deh
teman2 saya yg ahli per-narsis-an itu foto2. Semuanya lah difoto. Turun dari
pesawat difoto, bandara yg mengandung tulisan Malay2 gitu juga difoto (sampe
foto di depan kantor polisi or something like that, toilet difoto jg gak ya?
:D). Gak papalah, sekedar menunjukkan eksistensi, bahwa kita pernah
menginjakkan kaki di Malaysia, meski cuma bandaranya, hehe.
Lanjut ke perjalanan sebenarnya.
Naah, akhirnya kita pun mengalami penerbangan selama sekitar 10 jam yg cukup membosankan. Udah bingung mau ngapain
lagi di pesawat. Tidur udah, makan udah, ke toilet udah, ngliatin bule cakep
udah. Beberapa teman yg rajin sih memilih membaca2 materi yg akan
dipresentasikan di Melby, widiiih. Then finally, tidak terbayang ketika mas2 di
pesawat bilang bahwa kita akan segera mendarat ke Melby. Aw..aw… Ciyuss? Udah
nyampe Melby nih? Ciyuss bahwa ini adalah kota yg selama ini menjadi impian
kita? Ciyus bahwa kita sedang tidak berhalusinasi?
OMO…OMO..OMO….. (bahasa gaulnya
OhMyGod, versi temen saya :p), langsung deh saya dan 8 orang teman saya
(Mapronis kloter I) saling bersalaman dan mengucap selamat. “Selamat ya, sudah
sampai di Melby.” Haha, itu terasa aneh karena kita mengucap selamat untuk diri
kita sendiri. Semacam, “Fyuuh, akhirnya kerja keras kita terbayarkaan…”
Tangan pun sudah gatal untuk
membidik gambar. Kita sempat kaget ketika tiba2 mbak pramugari yg biasa manggil
kita dgn sebutan “puan” itu tiba2 berseru. Waduh, jangan2 gak boleh poto2 di
pesawat nih? Ternyata dugaan kita salah. Si mbak pramugari itu malah menawarkan
diri untuk mengambil gambar kita bersama. Waah senangnya. Kita pun kemudian
berjalan keluar pesawat dengan penuh
tawa, hingga membuat para awak pesawat ikutan terpesona melihat keceriaan kita.
Salah seorang pun berkata,”Oh, they’re so happy” (mungkin ini maksudnya,
“mereka ndeso sekali” #in English, haha..).
Begitulah… sekilas perjalanan
kita ke Melby. Karena kita berkunjung ke Melby itu dengan perasaan yg “tidak
biasa”, maka setiap jengkal kota Melby yg kita lihat pun menjadi “tidak biasa”.
Hal ini tentu mengundang godaan untuk memfoto setiap hal yg kita temui di sana,
everything is precious lah, haha. Sekarang saya tahu gimana rasanya jadi turis
di negeri asing. Gak heran kalo turis2 yg saya lihat di tempat2 wisata tu
biasanya kalo udah ngamatin sesuatu kayak candi bisa lamaa banget, maybe they
think everything is precious too :D. Sudah
tidak terhitung berapa objek yang kita foto (tentu saja beserta modelnya :p
)sejak awal hingga akhir berada di Melby.
Ketakjuban kita akan sesuatu
#kayakdipilem2 pun berlanjut lagi. Kita naik Maxi Cab (semacam taksi dgn
kapasitas gede) dengan dilayani sopir bule. Kita nginap di hotel dengan
dilayani resepsionis, cleaning service, yg semuanya adalah bule juga. Hihi…
lucu kan? Kalo selama ini kita cuma ngeliat bule sebagai bintang di tipi2, kali
ini kita dilayani bule lho, bayangpun! ^^. Dan sepanjang kita melewati jalan
juga rasanya kayak lagi akting. Orang2 ngrumpinya pake bahasa inggris, orang2
berjalan & menyeberang dengan sangat cepat, iklan2 & pengumuman semuanya
in English. Bener2 berasa nyemplung di adegan film Western.
Hmm, tapi bukan cuma itu yg
menarik dari Melby. Berada di Melby itu berasa berada di miniatur dunia. Mau
nemuin orang dari berbagai suku bangsa ada. Mulai dari yang tinggi putih
langsing ada. Yg sipit pendek juga ada. Yg item mengkilat juga ada. Yg Idung
mancung ala arab juga ada. Yg berkulit coklat eksotis kayak kita (ehm) juga
banyak. Gak nyesel saya pernah mengunjungi Melby. Di sini saya semakin bisa
melihat bahwa manusia itu heterogen, dengan keunikan budaya & latar
belakang masing2. Dan satu hal yang sebaiknya diingat, cukuplah perbedaan itu
dilihat dalam wadah “as human being”.
Saya banyak belajar dari masyarakat Melby tentang penghargaan terhadap
manusia. Saat kita tersesat & kebingungan di jalan, selalu bertemu orang
baik yg mau nunjukkin kita jalan yg benar. Saat kita lagi kepengen foto dgn
personil lengkap, selalu ada orang yg dengan peka nawarin bantuan untuk moto
kita. Saat kita lagi berkunjung ke
tempat wisata atau sebuah toko, selalu ada pegawai yg menyapa kita dengan
senyum tulus. Mereka adalah orang2 yg tidak pernah mempersoalkan, “Hey,
darimana kamu berasal?” Mereka tidak pernah melihat kita dari atas ke bawah sbg
orang asing. Bahkan mereka pun mengizinkan kita yg mayoritas cewek berjilbab
ini untuk masuk gereja dgn tujuan cuma buat foto2.
Bukankah itu hal yg masih sulit
kita lakukan di negeri sendiri? Coba kita amati lagi, apa yg teman bayangkan
ketika melihat seorang bule berjalan sendiri ke pasar? Apalagi kalo seorang
bule masuk ke masjid? Wah bisa2 perhatian semua jamaah tertuju padanya, haha…. Ternyata sulit ya untuk tidak melihat dia
sebagai “orang aneh”. Kenapa? Just because she/he has different skin color?
Iya sih, orang barat lebih
individualis dibanding masyarakat Indonesia. Kalo di Ind ada yg beda dikit aja
langsung jd perhatian massa. Demikian jg dgn individualis di Melby. Tp
individualis kan bukan berarti egois. Individualitas malah jadi bukti
penghargaan mereka trhadap kebebasan personal. Bukankah itu hebat? Karena ketika
seseorang ingin dirinya dihargai, dia akan menghargai orang lain. Hal ini
kebukti banget pas ngeliatin jalan raya yang tertib, sepi polusi, & pemakai
kendaraan yg sering mempersilakan pejalan kaki nyeberang duluan. Beda kan dgn
pengendara di kota2 besar Ind (Jogja juga, hiks) yg sering kebut2an &
klakson2an meskipun gak lg dlm perlombaan? Bukan bermaksud mbanding2in negara
sih. Cuma sedang menyampaikan fakta, biar kita saling belajar gitu lho.
Atmosfer toleransi saya rasakan
lagi saat memasuki The University of Melbourne (Unimelb). Kayak yg saya tulis
sbg judul di atas tadi itu lho. “If You Think It’s Wrong, You’re Probably Right”,
ini mengandung filosofi keterbukaan terhadap budaya lain. Mungkin masih banyak
yg berpendapat (trmasuk saya jg sih) bahwa kuliah di luar negeri itu susah.
Harus pinter bahasa Inggris, harus bisa beradaptasi dgn budaya Western
(misalkan party, clubbing), harus gaul & modis, harus kritis & jago
debat, harus…. apalagi yaa?
“Haduuh, buat apa sih kuliah di
luar negeri? Yg penting kan dapet gelar. Itu sih di deket2 sini juga bisa.
Hemat biaya, kalo kangen rumah tinggal pulang gampang. “
Ehm, saya termasuk orang yg sejak
dulu pengen kuliah di luar negeri. Sejak zaman S1 dulu udah ngimpi2 pengen S2
ke luar negri. Tapi saya tau diri lah. Universitas mana yg mau menerima saya
dgn kemampuan bahasa Inggris belepotan begini, dengan IP pas2an pula? Saya udah
mulai melupakan impian tsb kalo saja tdk berkunjung ke Unimelb kemaren. Rasanya
kayak diberi penyegaran lagi. Ada bisikan yg mengatakan,”Ima, one day you must
go abroad for studying. Entah akan jadi apa kamu di masa depan, yg penting kamu
harus kuliah sampe tinggi.” Haduuh, itu
bisikan angel apa devil ya? =_=
Kemudian saya pun merenung. Itu
kegalauan saya sbg warga negara Indonesia yg pemalu & peragu. Kalo orang2
dari negara lain yg mutusin kuliah di Melby dulu apa jg pernah ngerasa gak PD
ya? Lalu saya tersadar. “Hmm, ya, penyakit gak PD itu bisa dialami siapa pun
kok. Bisa mahasiswa, dosen, rektor, bisa dialami jg sama presiden.” Itu sebabnya
semangat untuk belajar & berani menerima tantangan harus dipompa setiap
hari. Apalagi untuk memutuskan belajar di negara lain yg jelas-jelas berbeda dalam
segala hal, bagi saya keberanian semacam itu pantas diacungi 5 jempol.
Nah, tulisan di judul itulah yg
berperan menurunkan tingkat kegalauan saya. “Waah, iya ya? Selama ini saya cuma
berpikir bhwa kalo saya berbuat salah itu ya berarti emang murni kesalahan
saya. Orang2 di sekitar saya benar. Cuma saya yg bodoh.” Ternyata tidak
demikian Unimelb memandang manusia: “Ketika kamu berpikir itu salah, bisa jadi
apa yg kamu lakukan benar”. Iya ya… Kalo dipikir2 emang di dunia ini apa yg
bersifat kebenaran mutlak? (bahkan kalo ada yg atheis pun saya yakin kok bakal
diterima di Unimelb asal memenuhi syarat :D). Kebenaran bagi komunitas tertentu
ya hanya berlaku bagi komunitas tsb, kalo bagi orang lain malah bisa jadi itu
dianggap aneh. Jadi apa yg bisa disombongkan oleh kebenaran & kepandaian
ya?
Hmm, kata2 “If You Think It’s Wrong,
You’re Probably Right”, itu benar2 mnyadarkan saya sbg warga asing. “Jadi kalo
saya sesekali berbuat salah nggak papa dong. Salah kan menurut orang/kelompok
tertentu. Tapi kalo saya niatkan untuk kebaikan, God knows. Bisa jadi apa yg
saya kerjakan ini malah membawa kemajuan bagi orang/kelompok tsb di masa
mendatang. Setiap orang punya kesempatan untuk membuat perubahan.”
Itu juga yg disampaikan Profesor
Harry Minas. Kata beliau,”There’s no simple thing.” Meski kita berpikir suatu
hal bersifat sangat lokal & gak penting untuk kontribusi dunia, trnyata
sekecil apapun itu akan berpengaruh trhadap universalitas manusia lho. So,
teman2 yg budiman & berkompetensi tinggi, mari kita belajar untuk lebih
membuka diri dan hati. Nggak perlu minder dgn orang dari negara lain. Nggak ada
negara yg lebih rendah atau lebih tinggi dibanding negara lain. Kalo semua
negara maju, lha trus apa yg mau diteliti? Para profesor itu mau bikin
penelitian ke mana? Hehe, justru karena suatu negara “bermasalah”, maka bisa
menjadi ladang ilmu.
Ok deh, prends. Sekian curhat
saya yg panjang. Smoga bisa menginspirasi . Selamat menuntut ilmu di mana pun
kita berada yaa… Meski mungkin kita belajar di tempat yg terpisah2, yakinlah
bahwa kebaikan akan membawa pd universalitas yg “sama” ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar