Rabu, 05 Juni 2013

If You Think It’s Wrong, You’re Probably Right



Hmm…. Judul di atas adalah kata2 yg membuat saya tertegun membacanya. Alkisah di suatu senja mendekati hujan, di pelataran tangga di sebuah gerbang kampus something di kota somewhere, saya melihatnya. Ya, kata-kata itu menjadi sangat spesial mengingat ini adalah tulisan di sebuah tempat yang bagi saya “sesuatu bangets”.  

Bingung ya? Oke deh, flash back dulu flash back dulu… Diawali dengan perjalanan saya dan sekelompok teman yang heboh, narsis, dan nekat (hehe, peace) dari Jogja, menuju Jakarta, lalu menuju Kuala Lumpur, lalu menuju….. Yeeeeiiii..Melbourne ^_^ (yg selanjutnya akan saya sebut dgn Melby). Horraay... Ini patut dicatat dalam sejarah, karena ini adalah kali pertamanya saya naik pesawat (ndeso banget yo?). Pertama kalinya naik langsung ke luar negeri. Dan pertama kalinya ke luar negeri langsung ke kota yang ampun deh, multikultural abis :D.

Tentu tak terbayangkan betapa besar kegirangan saya. Betapa pada akhirnya saya pun tahu,”Oh, gini tho rasanya terbang naik pesawat? Ya ampun, lucu banget  bisa ngeliatin awan-awan imut kayak kapas melayang-layang dengan cantik.” #kayakdipilem2. 

Kedua, begitu sampai di KL, mulai lagi kegirangan kedua. “Oh, gini tho rasanya di negeri orang.” Langsung deh teman2 saya yg ahli per-narsis-an itu foto2. Semuanya lah difoto. Turun dari pesawat difoto, bandara yg mengandung tulisan Malay2 gitu juga difoto (sampe foto di depan kantor polisi or something like that, toilet difoto jg gak ya? :D). Gak papalah, sekedar menunjukkan eksistensi, bahwa kita pernah menginjakkan kaki di Malaysia, meski cuma bandaranya, hehe. 

Lanjut ke perjalanan sebenarnya. Naah, akhirnya kita pun mengalami penerbangan selama sekitar 10 jam yg cukup membosankan. Udah bingung mau ngapain lagi di pesawat. Tidur udah, makan udah, ke toilet udah, ngliatin bule cakep udah. Beberapa teman yg rajin sih memilih membaca2 materi yg akan dipresentasikan di Melby, widiiih. Then finally, tidak terbayang ketika mas2 di pesawat bilang bahwa kita akan segera mendarat ke Melby. Aw..aw… Ciyuss? Udah nyampe Melby nih? Ciyuss bahwa ini adalah kota yg selama ini menjadi impian kita? Ciyus bahwa kita sedang tidak berhalusinasi? 

OMO…OMO..OMO….. (bahasa gaulnya OhMyGod, versi temen saya :p), langsung deh saya dan 8 orang teman saya (Mapronis kloter I) saling bersalaman dan mengucap selamat. “Selamat ya, sudah sampai di Melby.” Haha, itu terasa aneh karena kita mengucap selamat untuk diri kita sendiri. Semacam, “Fyuuh, akhirnya kerja keras kita terbayarkaan…”

Tangan pun sudah gatal untuk membidik gambar. Kita sempat kaget ketika tiba2 mbak pramugari yg biasa manggil kita dgn sebutan “puan” itu tiba2 berseru. Waduh, jangan2 gak boleh poto2 di pesawat nih? Ternyata dugaan kita salah. Si mbak pramugari itu malah menawarkan diri untuk mengambil gambar kita bersama. Waah senangnya. Kita pun kemudian berjalan keluar pesawat  dengan penuh tawa, hingga membuat para awak pesawat ikutan terpesona melihat keceriaan kita. Salah seorang pun berkata,”Oh, they’re so happy” (mungkin ini maksudnya, “mereka ndeso sekali” #in English, haha..).

Begitulah… sekilas perjalanan kita ke Melby. Karena kita berkunjung ke Melby itu dengan perasaan yg “tidak biasa”, maka setiap jengkal kota Melby yg kita lihat pun menjadi “tidak biasa”. Hal ini tentu mengundang godaan untuk memfoto setiap hal yg kita temui di sana, everything is precious lah, haha. Sekarang saya tahu gimana rasanya jadi turis di negeri asing. Gak heran kalo turis2 yg saya lihat di tempat2 wisata tu biasanya kalo udah ngamatin sesuatu kayak candi bisa lamaa banget, maybe they think everything is precious too :D.  Sudah tidak terhitung berapa objek yang kita foto (tentu saja beserta modelnya :p )sejak awal hingga akhir berada di Melby. 

Ketakjuban kita akan sesuatu #kayakdipilem2 pun berlanjut lagi. Kita naik Maxi Cab (semacam taksi dgn kapasitas gede) dengan dilayani sopir bule. Kita nginap di hotel dengan dilayani resepsionis, cleaning service, yg semuanya adalah bule juga. Hihi… lucu kan? Kalo selama ini kita cuma ngeliat bule sebagai bintang di tipi2, kali ini kita dilayani bule lho, bayangpun! ^^. Dan sepanjang kita melewati jalan juga rasanya kayak lagi akting. Orang2 ngrumpinya pake bahasa inggris, orang2 berjalan & menyeberang dengan sangat cepat, iklan2 & pengumuman semuanya in English. Bener2 berasa nyemplung di adegan film Western. 

Hmm, tapi bukan cuma itu yg menarik dari Melby. Berada di Melby itu berasa berada di miniatur dunia. Mau nemuin orang dari berbagai suku bangsa ada. Mulai dari yang tinggi putih langsing ada. Yg sipit pendek juga ada. Yg item mengkilat juga ada. Yg Idung mancung ala arab juga ada. Yg berkulit coklat eksotis kayak kita (ehm) juga banyak. Gak nyesel saya pernah mengunjungi Melby. Di sini saya semakin bisa melihat bahwa manusia itu heterogen, dengan keunikan budaya & latar belakang masing2. Dan satu hal yang sebaiknya diingat, cukuplah perbedaan itu dilihat dalam wadah “as human being”.  

Saya banyak belajar dari masyarakat Melby tentang penghargaan terhadap manusia. Saat kita tersesat & kebingungan di jalan, selalu bertemu orang baik yg mau nunjukkin kita jalan yg benar. Saat kita lagi kepengen foto dgn personil lengkap, selalu ada orang yg dengan peka nawarin bantuan untuk moto kita.  Saat kita lagi berkunjung ke tempat wisata atau sebuah toko, selalu ada pegawai yg menyapa kita dengan senyum tulus. Mereka adalah orang2 yg tidak pernah mempersoalkan, “Hey, darimana kamu berasal?” Mereka tidak pernah melihat kita dari atas ke bawah sbg orang asing. Bahkan mereka pun mengizinkan kita yg mayoritas cewek berjilbab ini untuk masuk gereja dgn tujuan cuma buat foto2. 

Bukankah itu hal yg masih sulit kita lakukan di negeri sendiri? Coba kita amati lagi, apa yg teman bayangkan ketika melihat seorang bule berjalan sendiri ke pasar? Apalagi kalo seorang bule masuk ke masjid? Wah bisa2 perhatian semua jamaah tertuju padanya, haha….  Ternyata sulit ya untuk tidak melihat dia sebagai “orang aneh”. Kenapa? Just because she/he has different skin color?  

Iya sih, orang barat lebih individualis dibanding masyarakat Indonesia. Kalo di Ind ada yg beda dikit aja langsung jd perhatian massa. Demikian jg dgn individualis di Melby. Tp individualis kan bukan berarti egois. Individualitas malah jadi bukti penghargaan mereka trhadap kebebasan personal. Bukankah itu hebat? Karena ketika seseorang ingin dirinya dihargai, dia akan menghargai orang lain. Hal ini kebukti banget pas ngeliatin jalan raya yang tertib, sepi polusi, & pemakai kendaraan yg sering mempersilakan pejalan kaki nyeberang duluan. Beda kan dgn pengendara di kota2 besar Ind (Jogja juga, hiks) yg sering kebut2an & klakson2an meskipun gak lg dlm perlombaan? Bukan bermaksud mbanding2in negara sih. Cuma sedang menyampaikan fakta, biar kita saling belajar gitu lho. 

Atmosfer toleransi saya rasakan lagi saat memasuki The University of Melbourne (Unimelb). Kayak yg saya tulis sbg judul di atas tadi itu lho. “If You Think It’s Wrong, You’re Probably Right”, ini mengandung filosofi keterbukaan terhadap budaya lain. Mungkin masih banyak yg berpendapat (trmasuk saya jg sih) bahwa kuliah di luar negeri itu susah. Harus pinter bahasa Inggris, harus bisa beradaptasi dgn budaya Western (misalkan party, clubbing), harus gaul & modis, harus kritis & jago debat, harus…. apalagi yaa? 

“Haduuh, buat apa sih kuliah di luar negeri? Yg penting kan dapet gelar. Itu sih di deket2 sini juga bisa. Hemat biaya, kalo kangen rumah tinggal pulang gampang. “ 

Ehm, saya termasuk orang yg sejak dulu pengen kuliah di luar negeri. Sejak zaman S1 dulu udah ngimpi2 pengen S2 ke luar negri. Tapi saya tau diri lah. Universitas mana yg mau menerima saya dgn kemampuan bahasa Inggris belepotan begini, dengan IP pas2an pula? Saya udah mulai melupakan impian tsb kalo saja tdk berkunjung ke Unimelb kemaren. Rasanya kayak diberi penyegaran lagi. Ada bisikan yg mengatakan,”Ima, one day you must go abroad for studying. Entah akan jadi apa kamu di masa depan, yg penting kamu harus kuliah sampe tinggi.”  Haduuh, itu bisikan angel apa devil ya? =_=

Kemudian saya pun merenung. Itu kegalauan saya sbg warga negara Indonesia yg pemalu & peragu. Kalo orang2 dari negara lain yg mutusin kuliah di Melby dulu apa jg pernah ngerasa gak PD ya? Lalu saya tersadar. “Hmm, ya, penyakit gak PD itu bisa dialami siapa pun kok. Bisa mahasiswa, dosen, rektor, bisa dialami jg sama presiden.” Itu sebabnya semangat untuk belajar & berani menerima tantangan harus dipompa setiap hari. Apalagi untuk memutuskan belajar di negara lain yg jelas-jelas berbeda dalam segala hal, bagi saya keberanian semacam itu pantas diacungi 5 jempol. 

Nah, tulisan di judul itulah yg berperan menurunkan tingkat kegalauan saya. “Waah, iya ya? Selama ini saya cuma berpikir bhwa kalo saya berbuat salah itu ya berarti emang murni kesalahan saya. Orang2 di sekitar saya benar. Cuma saya yg bodoh.” Ternyata tidak demikian Unimelb memandang manusia: “Ketika kamu berpikir itu salah, bisa jadi apa yg kamu lakukan benar”. Iya ya… Kalo dipikir2 emang di dunia ini apa yg bersifat kebenaran mutlak? (bahkan kalo ada yg atheis pun saya yakin kok bakal diterima di Unimelb asal memenuhi syarat :D). Kebenaran bagi komunitas tertentu ya hanya berlaku bagi komunitas tsb, kalo bagi orang lain malah bisa jadi itu dianggap aneh. Jadi apa yg bisa disombongkan oleh kebenaran & kepandaian ya? 

Hmm, kata2  “If You Think It’s Wrong, You’re Probably Right”, itu benar2 mnyadarkan saya sbg warga asing. “Jadi kalo saya sesekali berbuat salah nggak papa dong. Salah kan menurut orang/kelompok tertentu. Tapi kalo saya niatkan untuk kebaikan, God knows. Bisa jadi apa yg saya kerjakan ini malah membawa kemajuan bagi orang/kelompok tsb di masa mendatang. Setiap orang punya kesempatan untuk membuat perubahan.” 

Itu juga yg disampaikan Profesor Harry Minas. Kata beliau,”There’s no simple thing.” Meski kita berpikir suatu hal bersifat sangat lokal & gak penting untuk kontribusi dunia, trnyata sekecil apapun itu akan berpengaruh trhadap universalitas manusia lho. So, teman2 yg budiman & berkompetensi tinggi, mari kita belajar untuk lebih membuka diri dan hati. Nggak perlu minder dgn orang dari negara lain. Nggak ada negara yg lebih rendah atau lebih tinggi dibanding negara lain. Kalo semua negara maju, lha trus apa yg mau diteliti? Para profesor itu mau bikin penelitian ke mana? Hehe, justru karena suatu negara “bermasalah”, maka bisa menjadi ladang ilmu. 

Ok deh, prends. Sekian curhat saya yg panjang. Smoga bisa menginspirasi . Selamat menuntut ilmu di mana pun kita berada yaa… Meski mungkin kita belajar di tempat yg terpisah2, yakinlah bahwa kebaikan akan membawa pd universalitas yg “sama” ^^ 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar