Minggu, 21 Juli 2013

Everybody Finds Love in the End



20 Juli 2013

Pagi ini saya terbangun untuk sahur dalam keadaan yg “tidak biasa”.  Baru pukul setengah 3. Biasanya jam segitu saya masih molor. Kadang bangun sih, liat jam doang. Nungguin sampe jam 3 lebih baru bangun beneran. 

Tapi kali ini berbeda. Saya terbangun karena SMS dari seorang teman saya yg baru saya hubungi malam sebelumnya. Kita habis SMS an mbahas tesis. Dia bilang malam itu nggak bisa ikutan kumpul tesis karena Senin besok udah mau mudik ke Jakarta. Wew… saya agak kaget dengan hal itu. Dia seseorang yg biasanya sangat semangat diajak kumpul tesis. Dia yg jalannya paling cepet diantara kami bertiga, satu kelompok payung penelitian. Dia yg dari kemaren2 udah terdengar gosipnya mau segera ujian kompre. Tapi kenapa? Kenapa tiba2 dia menolak untuk kumpul tesis? Bahkan dia bilang dia mau menunda ujian kompre sampai nanti setelah lebaran. What happened??

Hmm, ya mungkin dia pengen cepet2 pulang biar segera bisa ketemu keluarganya. Secara, dia dan pacarnya adalah pasangan fenomenal di kelas kami. Ya, mereka berdua bertemu di kelas, membuat kisah, dan setelah hubungan mereka semakin serius mereka tiba2 menjadi bergerak dengan kecepatan tinggi dalam menyelesaikan urusan2 kuliah. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah akhir tahun ini. Semangat untuk segera meresmikan hubungan di KUA itu yg membuat teman saya ini sangat termotivasi untuk mengejar target lulus. Mengejar-ngejar dosen, tentu sudah sering dia lakukan. Membaca banyak buku, jurnal, ngetik teori, mikirin metode, cari subjek, konsultasi proposal, adalah agendanya sehari-hari. Lagi2 beda dengan kami bertiga yg frekuensi ke kampusnya (dgn agenda khusus ngomongin tesis) sangat bisa dihitung. Beda dgn kami bertiga yg kalau ada waktu luang lebih senang hangout & ngrumpi (dgn alasan terapi perkembangan kepribadian). Dia adalah orang yg otak kirinya sangat bagus. Kalo lagi kumpul berempat diskusi sama dosen pembimbing tesis, dia yg paling cepet nyambung saat ditanya dosen. Ketika kita bertiga masih mikir, “Mmm…..mmm……”, dia udah cerita jurnal panjang lebar kayak kereta ekspres. 

Begitulah.. Punya temen kayak dia itu kadang bikin kesel. Kesel karena kita jadi kelihatan banget bodoh & pemalasnya. Kesel karena kita sering merasa ketinggalan kereta. Tapii… nggak selamanya bikin kesel sih, asal tau aja di mana celah2nya kita bisa merasa asyik dengannya. Dia adalah orang yg sangat excited jika ditanya tentang hal-hal yg berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan juga pernikahan :). Dia sering jadi “perpustakaan” bagi kami karena praktis kan, nggak perlu susah2 baca buku (apalagi kalo buku bahasa Inggris), tinggal nanya doang eh udah ada penjelasan lengkapnya. Jadi kayak liat narator dalam video dokumenter yang njelasin materi pengetahuan. Tinggal play, watching, & listening. Yak,kelakuan kami ini tidak patut dicontoh oleh mahasiswa S2 ya temans :D.

Dan pagi ini dia mengirim SMS yg membuat saya tercengang. “Ima, maaf sepertinya aku nggak akan balik ke Jogja dalam waktu lama. Aku pun nggak tau apakah akan balik. Bapakku baru saja meninggal. Maaf ya.” Respon saya ketika membaca SMS itu awalnya adalah “hanya kaget.”  OMG, bapaknya temen saya meninggal nih. Ehm, baiklah saya harus segera mengirimkan SMS balasan buat dia. “Innalilllahi wa inna illaihi rojiun. Wah aku turut berduka cita. Sudah, nggak usah mikirin dulu urusan di Jogja. Sekarang kamu fokus dulu sama keluarga di Jakarta ya. Semoga Allah melindungimu. “

Habis kirim SMS itu perasaan rasanya masih flat. Mungkin karena masih agak ngantuk ya? Jadi serasa habis mimpi, hmm nih beneran ya bapaknya temen saya meninggal? Lalu beberapa menit kemudian berusaha untuk bangun sepenuhnya, terduduk di atas kasur, dan tiba2, “Huaaaaa…………… “ Saya pun menangis. “Hiks, kasihan temen saya, bapaknya meninggal. Bagaimana ini urusannya di kampus? Bagaimana ini urusan pernikahannya? Huhu… Nggak kebayang kalo saya yang jadi dia. Di tengah persiapan menuju hari bahagia tiba2 dikejutkan berita duka.” 

Sebenarnya selama ini saya & dia nggak deket2 banget sih secara emosional. Memang sih pada kenyataannya kita sering mendapat kesempatan untuk ngurusin sesuatu bareng. Tapi saya nggak pernah yg sampe hangout bareng sama dia kayak teman2 di kelas yg lain. Curhat2 bergembira pun juga nggak pernah. Pernah curhat sekali, ketika saya mengalami “tragedi puskesmas” dulu itu, huhu…  Tapi entah kenapa pagi ini saya merasa berhak menangis untuk dia, untuk keluarga, dan kisah hidupnya. 

Dia adalah sosok yg saya kenal sebagai wanita yg kuat. Itu juga yg selama ini diamati oleh teman2 saya. Kuat, bahkan untuk terlihat lemah sedikit saja di hadapan orang lain pun sepertinya hal yg patut dia hindari. Dia pernah cerita dulu bahwa kekuatan dirinya ini memang sudah dia bangun sejak kecil. Pengalaman masa lalunya kemudian mengajarkan dia bahwa untuk menjadi kuat dia tidak boleh menangis, tidak boleh mempersilakan aspek afeksi untuk berinteraksi dengan masalah. Itulah yg sampai sekarang masih melekat dalam dirinya. Itulah yg membuatnya bisa dengan mudah fokus terhadap target. Tidak seperti saya & teman2 lainnya yg sering bilang,”Iya, kita harus mengejar target” namun pada kenyataannya aspek kognisi sangat mudah terganggu ketika aspek afeksi bermasalah (baca: galau), sehingga tugas2 pun sering berjalan seenaknya melewati deadline (damn, feeling hated to write it >.<). 

Kalau dibilang saya orang yg sensitif banget sebenarnya nggak juga. Saya baru bisa nangis dengan ekspresif akhir-akhir ini kok. Itu pun masih dalam tahap transisi, karena aspek kognisi saya juga masih kuat jadinya sering kejar2an sama afeksi. Pernah hampir nangis di depan umum, namun kepala itu rasanya cepet bertindak dan bilang, “Udah Ima, ngapain sih nangis kayak gitu? Penting ya? Biar dikasihani orang gitu? Nggak sopan kali, udah nangisnya ntar aja di kos kalo lagi sendirian.” 

Dalam hal ekspresi afeksi, tampaknya saya dan teman saya itu ada kemiripan. Dan inilah mungkin salah satu alasan kenapa tadi saya nangis. Sebenarnya adalah saya mengkhawatirkan dia. “Apa masih bisa dia terus bertahan dalam ‘kekuatannya’? Apakah bisa berusaha menjadi sosok yg ‘menyembunyikan afeksi’? Oh, saya harap tidak. Tuhan, biarkan dia merasakan emosinya secara bebas. Biarkan dia bersikap ‘as a woman’, ‘as a daughter missed her father much.’ Biarkan dia menjadi manusia seutuhnya dan menikmati kekuatan hati.” 

Haduuh, apakah doa ini terkesan aneh? Jika pada umumnya orang-orang berdoa agar keluarga yg ditinggalkan diberi kekuatan & ketabahan, kenapa saya terkesan berdoa yg sebaliknya ya? Kalau memohon kekuatan sih saya pikir dia sudah sangat kuat ya Tuhan. Makanya saya ingin kekuatannya itu melunak.
Nggak papa lho nangis. Nggak papa lho menjadi lemah. Saya aja nyesel lho baru bisa menikmati sensasinya akhir-akhir ini. Hoo, ternyata gini ya rasanya mudah terharu? Ternyata gini ya rasanya becomes a really human.  

(Sok) Kuat itu seringkali bikin sombong. “Okeh, saya kuat. Saya pasti bisa menghadapi ini semua dengan baik2 saja. Sudahlah, kan setiap musibah itu adalah rencana Tuhan. Kita punya apa sih di dunia ini? Ikhlaskan saja. Nangis itu pertanda kalo kita belum menerima takdir Tuhan.” Dulu saya mungkin masih sering berpikir seperti itu. 

Tapi ternyata… menjadi wanita yg cengeng itu so cute lho :). Karena sebenarnya “kelemahan” itu yg menunjukkan “kekuatan” wanita. Sebagai wanita, mungkin sering bingung ya mencari cara gimana biar nggak dianggep lemah oleh orang lain, terutama pria. Memakai “topeng baja” biar tampak kuat & nggak pernah nangis, terkadang malah dilihat pria dengan kesan seraam.. So, harus gimana nih? Ya itu tadi, nikmati saja peran sebagai wanita yg lemah. Kan di dunia ini udah ada pria yg kuat. Kalo pria dan wanita sama-sama kuat, mau jadi apa dunia? Perang? Dengan menjadi wanita yg lemah, itu akan menjadi penyeimbang dunia. Itulah kekuatan wanita, bisa  mengendalikan amarah menjadi rasa sayang, itu kekuatan yg luar biasa kan?

Saya yakin ayahnya teman saya yang sekarang sudah beristirahat dengan damai itu juga mengamati perkembangan putrinya dari masa ke masa. Mungkin beliau pernah merasa sedih karena berbuat salah sehingga mengecewakan putrinya, namun saat melihat putrinya tumbuh dewasa, cerdas, & sebentar lagi akan menikah, saya yakin beliau pasti berbahagia. Akhirnya perjuangan beliau untuk membesarkan anaknya tidak sia-sia sehingga ketika beliau meninggalkan dunia ini putrinya sudah dalam kondisi yg “berhak untuk ditinggalkan.” Memang sih kesannya ironis ya, belum sempat melihat putrinya lulus S2, menikah & memberinya cucu, beliau  sudah keburu meninggal. 

Bagaimanapun, yang namanya peristiwa meninggal itu pasti menimbulkan duka bagi orang-orang yang ditinggalkan. Sudah pasti bagi teman saya itu. Kalimat di SMS yg terasa nyesek,” Aku pun nggak tau apakah akan balik.” Ternyata kedukaan itu bukan hanya berarti dia akan break dalam beberapa waktu, tetapi juga break dalam waktu yg tidak dapat ditentukan. It means untuk menentukan akan kembali kuliah atau tidak pun masih terasa sulit. 

Saya nggak tahu apa yang sedang dia pikirkan ketika mengetik SMS itu. Apakah dia bingung menentukan kelanjutan biaya kuliah ataukah dia sudah tidak punya semangat kuliah lagi setelah ayahnya tiada. Entahlaah. Well, akhirnya saya menyadari bahwa saya masih berharap dia dapat terus kuliah, nanggung nih, kurang sedikit lagi. Saya yakin teman2 saya yang lain pun juga berharap demikian. Terlebih dengan besarnya semangat kekeluargaan di antara kami semua. Pasti teman2 tidak akan membiarkan ada tangan yg terlepas dan gagal meraih impian bersama. 

SMS singkat pagi tadi itu cukup mengubah mood saya seharian. Selalu, kematian seseorang membuat saya merinding dan berpikir kembali tentang makna hidup. Apalagi ketika kemarin saya beberapa kali mendengar ayat surat Ar Rahman dilantunkan dengan indah, “Fabiayyi alaa’i rabbikumaa tukaddzibaan”, “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”  “Nikmat Tuhan yang mana lagi Ima yg kamu dustakan?”  Huaaa, seketika menjadi nangis lagi pas inget ini. Haduuh, selama ini saya udah cukup bersyukur belum ya? Nikmat dari Tuhan tuh padahal udah banyak bangettss…ngeettszzz….. Nggak terhitung. Bisa dapat kesempatan hidup aja itu udah kehormatan banget lho T_T

Ini adalah kutipan ayat yang menurut saya syahdu banget. Bikin tenang siapapun yg membacanya. CintaNya Tuhan buat manusia kerasa banget lho di sini. Dalam 1 surat aja diulang sebanyak 30 kali. Kalo bukan Tuhan, pujangga mana yg mau susah2 mengulang kalimat yg sama sebanyak 30 kali?

Give applause to God!^^ Nah, udah tuh, saya udah diingatkan lagi untuk banyak2 bersyukur. Eh habis itu ada kegalauan yg lain lagi. Hiks, tiba2 kepikiran someone special yg berada nun jauh di sana. “Hiks, ini gimana ya kalo saya belum sempat menyatakan perasaan padanya trus keburu mati? Huaaa….. Bisa dipastikan saya akan jadi arwah gentayangan. Huaaa…. Tidak Tuhan, saya belum relaa”*insting sbg manusia rajin galau pun muncul lagi.

Gimana ya kalo saya belum sempat membuat kisah dengannya?? Lalu… laluu…? 

“Cinta ya Ma? Cinta? Hohoho… Ngapain lu mikirin cinta Ma? Kagak cukup apa Aku ngucapin ‘Fabiayyi alaa’i rabbikumaa tukaddzibaan’ sebanyak 30 kali? Nggak cukup apa Aku ngasih perhatian yg sebesar itu padamu? Pada perjalanan hidupmu? Pada orang2 yg memberikan cinta padamu? Pada semangat, mimpi, & inspirasi yg melekat dalam dirimu? Pada jiwa, tubuh, & hatimu yg menyatu dalam semesta?”

Huumm… saya nggak tahu harus ngomong apa kalo Tuhan udah ngomong begini? Hiks… Ini adalah kata2 “pujian” untuk saya yg nggak bisa dibantah. Iya Tuhan, cintaMu emang udah terbukti besar. Meski saya masih sering galau merindukan seseorang…..bukankah sesungguhnya saya dan dia nggak pernah terpisah ya? Karena di sini ada Tuhan, dan di sana pun ada Tuhan? Tak peduli kita menjalani hidup di mana, pasti di sekitar kita akan selalu ada cinta-cinta istimewa yg dipersembahkan oleh Tuhan untuk kita. Hmm, justru dengan jauh dgn orang yg kita sayangi, kita akan “dilatih” untuk merasakan cinta yg sebenarnya dari orang-orang di sekitar kita. Kita akan dilatih untuk memiliki unconditional love, bahwa yg namanya cinta dari Tuhan itu ya harus benar-benar tulus, jangan ada tendensi. Jangan cuma karena merasa udah nemuin someone special trus dunia di sekitar kita lainnya jadi nggak penting. 

Lalu teringat perkatan seorang teman,”Kalo menurutku ya Im, jodoh itu adalah orang yg sama kualitasnya dengan kita. Oleh sebab itu, aku berharap menemukan jodoh berupa orang yg perhatian dgn keluarga. Itulah proses “PDKT” yg sedang kulakukan. Makanya, aku sekarang berusaha untuk lebih banyak meluangkan waktu dgn keluarga.” Iya sih, saya pikir ini adalah proses PDKT yg paling mungkin saya lakukan. Mengingat saya termasuk orang yang susah dekat dgn lawan jenis, hoho…. Jadi maksudnya adalah menyamakan “frekuensi” gitu dengan orang yg kita sayangi.

So, ketika menyadari bahwa cinta itu begitu luas, rasanya damai yaa ^^ Di sini ada cinta, di sana ada cinta, cinta bertebaran di mana-mana. Daan….. di kehidupan setelah dunia pun juga ada cinta. Balik lagi ke kisah teman saya tadi. Saya yakin meskipun mereka kini sudah berbeda dunia, rasa cinta itu masih tetap ada. Sang ayah yg merindukan anaknya “di tempat yg indah”, serta sang anak yg merindukan ayahnya di dunia. Dan tahukah kau temans, kematian itu adalah jarak terdekat seseorang dengan cinta sejatinya? Itu menurut saya lho ya. Ini bukan sekedar cinta Romeo Juliet yg sehidup semati, melainkan akan lebih terasa “ujiannya” kalo yg satu hidup & yg 1 mati. Yah, mirip2 ceritanya Habibie-Ainun atau Udje-Pipik lah… Kebayang nggak sih, betapa seolah2 udah nggak ada kesempatan untuk bertatap muka, menyampaikan rindu, & bertegur sapa. Tapi sebenarnya tidak lho… kesempatan untuk saling berbagi rasa melalui doa masih terbuka dgn lebar. And it feels so good if we understand how to express love in holiness :) 

Everybody finds love in the end. Cinta yg dibagikan pada manusia lainnya memang begitu indah, namun ketika kita kembali pada pemilik cinta sejati, cinta akan terasa semakin sakral. Tuhan, Dzat yg menguasai semua hati dan semesta akhirnya hadir di hadapan kita saat kita memasuki pintu gerbang alam lain. Tuhan, Dzat yg selama ini menjadi tempat paling setia bagi kita dalam berbagi rasa akhirnya hadir dan membuka “tanganNya”, siap memeluk kita dgn kehangatan sempurna. Ketika kita menyadari betapa indahnya seseorang yg kembali pada cinta sejatinya, bagaimana mungkin kita tidak ikut bahagia? Ya, cinta itu indah, akan tetap indah, karena cinta itu adalah “perasaan”, bukan pertemuan “fisik”. Cinta itu “hati”, bukan “pemikiran logis”. Pertemuan fisik hanya akan menuntut kedekatan, pemikiran logis hanya akan menuntut baik & buruk. Namun cinta dgn perasaan & hati tidak mengenal semua itu. Cinta itu…ya cinta: Unconditional feeling that makes you warm, safe, & free ^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar