“Cinta itu misteri….
Gak bisa dilihat, gak bisa dibaca
Bisanya cuman dirasain
Terkadang cinta juga bernilai
misteri kuadrat
Nggak bisa diungkapin, nggak bisa
ditunjukin
Cuman bisa disimpen diem-diem
dalam hati, padahal udah kangen 3/4 mati”
Well, saya bukan sastrawan ulung,
nggak bisa bicara cinta dengan bagus. Jadi ya, langsung aja ya. Itu yg saya
rasakan. Hmm, haduuh gimana ya? Susah banget buat jujur sebenernya. Bahwa saya
sedang mengalami hal yg lumrah dialami oleh manusia. Merasa tidak bisa
mengungkapkan apa yg seharusnya diungkapkan pada seseorang.
Dulu saya pikir hal semacam ini
“tidak biasa”. Ya udahlah, emangnya kalo perasaan nggak diungkapin siapa yg
akan bermasalah? Toh orang yg dimaksud juga kayaknya baik2 aja. Tenang, tenang…
segala sesuatu kan udah diatur oleh waktu. Nanti kalo saatnya udah tepat pasti
akan ketemu orang yang tepat. Orang yg bisa ngungkapin perasaannya duluan pada
saya. Biar saya nggak mempertaruhkan harga diri & kehormatan di depan dia.
Malu kali, seorang cewek manis seperti saya harus ngungkapin perasaan duluan
#plaaak…..
So, selagi berada dalam masa
penantian, saya akan memperbanyak berdoa aja. Biar kayak tokoh2 di sinetron
reliji itu. Tinggal duduk-duduk manis ndengerin pengajian, eh ada pria beriman
& bertakwa mengajukan proposal untuk ta’aruf. Karena dia adalah pria
beriman & bertakwa, dan saya adalah tokoh wanita yg alim & rendah hati,
maka sudah bisa diduga bahwa beberapa bulan kemudian kami berdua akan menyebar
undangan walimahan.
Heeiissh… stop…stoop! Hentikan
imajinasi anda semua tentang sinetron di atas. Sayang sekali saya bukan tokoh
yg alim & rendah hati. Jadi, untuk menjalani kisah cinta seperti itu…..
mmm, sorry I think I can’t.
Iya sih, pria beriman &
bertakwa adalah idola semua wanita, apalagi kalo dia cakep, pintar, kaya,
dududu….. surga dunia deh. Tapi.. tapi….
Dalam kacamata saya, memilih pasangan karena dia rajin beribadah
bukanlah suatu perasaan yg tulus, ya karena sudah ada embel2 “rajin beribadah”
itu.
Thanks buat temen2 nongkrong saya
yg sejak beberapa hari ini telah memberikan kursus percintaan secara intensif
pada saya. Akhirnya saya pun diajari untuk mengenal perasaan secara sederhana.
“Kalau cinta ya cinta aja, kangen ya kangen aja, nggak usah pake persiapan
khusus untuk mengatakannya”. Demikian kata seorang teman yg sering men-CBT saya.
Oh ya, sederhana sekali ya konsep
perasaan itu. Berbeda dengan konsep2 yg dulu saya pelajari. “Sbg muslim yg
baik, kamu harus menjaga diri & sikap. Jangan sampai terbuai pada perasaan
yg membuatmu jauh dari Tuhan. Nah, kalo belum siap menikah dgn seseorang ya
kamu harus menahan diri, memperbanyak ibadah, hingga kemudian Tuhan
mempertemukanmu dengan pasangan yg baik. “
Hmm, saya sudah cukup lama
mengenal konsep semacam ini. Sekedar tahu sih, tapi untuk menerapkannya, belum
jaminan hoho.. karena saya pun masih
terus belajar untuk mencari konsep hidup yang tepat bagi saya.
Seiring berjalannya waktu, saya
menjadi sadar bahwa cinta dan menikah itu adalah 2 konsep yg berbeda. Pertemuan
dengan orang2 membuat saya mengerti bahwa yg namanya cinta itu tidak harus
menikah, yg namanya menikah itu tidak harus didasari cinta. Ya, itulah
kenyataan yg saya jumpai di lapangan. Islam memang memberikan “batasan2” bagi
seseorang dalam menjalin hubungan dgn lawan jenis, tapi bukan berarti seseorang
harus tersiksa penuh karena tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara bebas.
Apa tho yg dimaksud dengan
mendekatkan diri pada Tuhan? Apa tho yg dimaksud menjauhkan diri dari Tuhan?
Apakah kalo orang menikah itu pasti akan mendekatkan diri pada Tuhan? Apakah
kalo orang pacaran itu pasti akan menjauhkan diri dari Tuhan?
Kata ustadz => Iyalah, menikah
kan menyempurnakan separuh dari agama
Kata teman geng saya => Oke,
kalo konsepnya adalah menyempurnakan agama, trus bagaimana jika orang yg
menjadi pasangan kita itu kemudian menyakiti kita? Menyiksa kita? Bukankah dgn
demikian menikah malah membuat dosa besar? Bukannya lebih ringan dosanya kalo
pacaran aja ya? Pacaran tu ya paling nggak ngapa2in, ngobrol2 doang.
Ehm, masalah dosa & pahala
itu masalah transendental e.. Saya nggak bisa jawab. Karena emang nggak tahu
pasti takarannya kayak gimana. (Ya udah, nggak usah mengambil alih hal2 yg
menjadi kerjaan Tuhan. Kerjaanmu sbg manusia tuh cuma ngobrol, berdiskusi,
& belajar. Kalo dapet petunjuk yg benar ya alhamdulilah, petunjuk yg salah
ya alhamdulilah juga, hoho.. Kalo ada yg salah ya berarti emang kita beneran
manusia, bukan malaikat).
Boleh aja sih kalo mau
berpendapat menikah untuk menyempurnakan agama, punya anak untuk menghadirkan
“tentara Tuhan” di muka bumi ini, dengan demikian misi-misi untuk berdakwah
(menyebarkan kebaikan/pesan2 agama) di seluruh penjuru dunia dapat terwujud.
Memang sih setiap manusia
mempunyai pendapat masing2 untuk “menyelamatkan bumi”. Ada yg ngerasa semakin
mantap dengan menikah, ada yg mantap dgn menjadi pemimpin, ada yg mantap dgn
meraih karir/ mimpi setinggi mungkin, ada pula yg mantap dgn mengatur
pergerakan alam dalam arti sebenarnya (mengatur hujan, panas, dingin,
pergerakan angin, wiii serem amat kayak kerjaan malaikat betulan :p).
Beberapa waktu lalu seorang teman
dekat saya yg merupakan dosen muda di sebuah universitas katolik menyampaikan
kegalauannya. Lalu tercetuslah sebuah pernyataan seperti ini,”Pada suatu hari
Kaprodi-ku bertanya,’Mbak, apa yg membuatmu ingin menjadi dosen? Bukankah gaji
sbg dosen itu kecil?’ ”. Dan temanku ini cukup cerdas, dia malah balik
bertanya, “Itu sama saja dgn saya bertanya pd Bapak,’Apa yg membuat Bapak ingin
menjadi Romo? Bukankah banyak juga pria di luar sana yg menikah?’ “ Ulala… ini
adalah pertanyaan yg membuat Bapak itu akhirnya terharu. Seperti itulah,
temans. Tampaknya itu 2 hal yg berbeda ya: membicarakan pekerjaan &
keputusan menjadi Romo. Tapi diantara keduanya ada kesamaan yg melandasi,
yakni: Cinta. Teman saya memilih pekerjaan sbg dosen karena dia mencintai
pekerjaan itu, bukan masalah gaji atau jabatan yg akan dia peroleh. Demikian
juga dgn si Bapak. Dia memilih untuk menjalani hidup sbg Romo tentunya dgn
konsekuensi yg tidak mudah. Menjalani hidup sendiri tanpa keluarga, melayani
umat, karena dia mendapat kedamaian untuk mencintai Tuhan dgn cara itu.
Begitulah cinta, temans. Cinta
bukan masalah norma, agama, budaya, identitas diri, jabatan, kekayaan,
layak/tidak layak, keimanan, cantik/tidak cantik, langsing/tidak langsing,
pandai/tidak pandai,………………….
Cinta ya cinta. Perasaan yg alami
& spontan. Menurut pengamatan saya (insya Allah kalo yg saya rasakan ini
cinta ya? :p), cinta itu sesuatu yg nggak ada alasannya. Bayangkan, pada suatu
pagi saya bangun tidur dan tiba-tiba kepikiran wajah seseorang yg saya kenal
pun enggak. Ngobrol pun nggak pernah. Tentu saja kejadian itu membuat saya
terheran-heran, “Hoi, siapa orang itu? Kenapa tiba2 muncul di kepalaku ya?” Itu
adalah hal yang… serius, nggak ada alasannya. Something that’s really really
illogical for mee…….!! Perlu waktu panjang bagi saya untuk mengakui diri bahwa
itu cinta (setelah dikonfrontasi habis2an juga oleh teman2 saya). Perlu waktu
bagi saya untuk menghargai diri, tidak merasa bodoh & tidak merasa tidak
pantas untuk jatuh cinta.
Cinta ya cinta, katakan saja.
Tidak usah terlalu mengkhawatirkan apa yg akan terjadi di masa depan. Tidak
perlu menunggu “pantas” dulu untuk mengatakan. Tidak perlu menunggu “sempurna”
dulu untuk mengatakan. Jika kau terus berusaha untuk membuat dirimu “menjadi
pantas” untuk bersama dgn orang yg kau sukai, kau perlu berhati2. Jangan2 kau
telah “mengotori” kemurnian unconditional love. Kau hanya ingin diterima
olehnya ketika kau merasa telah cukup kaya, pandai, memiliki banyak “atribut”
untuk dibanggakan. Padahal, belum tentu itu yg diinginkan oleh dia. Cinta itu
ya seharusnya…. “Just the way you’re.” Bagaimanapun, kesiapan yg benar2 siap
itu tidak akan pernah ada. Kesempurnaan yg benar2 sempurna itu tidak akan
pernah ada. Mengatakan cinta ya dngan alasan yg simpel saja: untuk menikmati
cinta pada hari ini, untuk menunjukkan bahwa perasaan ini benar2 polos, tidak
ada pertimbangan yang membatasi kebebasannya untuk berekspresi.
Nah, tapi masak kayak gitu cara
ngungkapin cinta yg bener? Langsung diungkapin gitu? Itu kan tidak Islami?
Dalam sebuah kisah yg sudah lama saya tahu, kemudian diingetin lagi oleh temen
saya beberapa waktu lalu setelah saya baca blognya, tertulislah sebuah
perasaaan antara Fatimah (putri Nabi Muhammad SAW) & Ali. Dikisahkan bahwa
keduanya telah sama2 menyimpan perasaan suka sejak lama, namun keduanya memilih
untuk menyimpannya rapat2, bahkan setan pun tidak tahu. Hingga kesabaran mereka
berbuah manis, pada suatu ketika Muhammad SAW meminta Ali untuk melamar
putrinya. Tentu saja kesempatan ini tidak disia2kan oleh Ali dan Fatimah pun
langsung menerima lamaran itu karena memang hanya Ali yg selama ini mengisi
hatinya.
Weew… kalo dibandingin cerita yg
beginian sih saya angkat tangan. Maaf, iman saya belum nyampe kayak Mbak
Fatimah & Mas Ali. Iya sih, itu berat untuk tidak mengungkapkan perasaan
sementara perasaan tuh rasanya udah di ubun2 kepala, bentar lagi meletus.
Sepuluh jempol untuk mereka!! Tapi ehm, jangan salah dulu deh. Kalo saya pikir
(lebih tepatnya saya berimajinasi sih), kayaknya mereka dulu juga nggak bener2
mengunci perasaan deh. Kan jaman dulu emang nggak ada HP, BB, WA, FB, ato
twitter kayak sekarang. Nah, saya yakin mereka dulu juga saling “memonitor”
kondisi hati masing2. “Jaman dulu itu nggak banyak distraksinya, nggak serame
sekarang. Orang2 jadinya lebih peka, intusi mereka lebih tajem. Jadi, nggak
heran kalo orang jaman dulu tuh ‘sakti2’ “, ini obrolan dgn teman saya kemaren,
hehe… So, bisa aja sih sebenarnya Mbak Fatimah & Mas Ali tuh rajin bertanya
kabar, mengirim pesan2, tapi melalui “stasiun hati.” Keren kan? Ato, bahasa yg
agak “scientific” mereka tuh bertelepati. Tetep aja kan mereka itu saling
mengungkapkan perasaan?
Kalo kemudian ada yg bilang,
“cukup yg tahu perasaanmu hanya Tuhan, tidak usah diumbar ke orang2” yaa nggak
papa juga sih. Dalam banyak hal saya sering melakukan hal ini. Ketika saya
nggak tahu lagi gimana caranya menyampaikan rasa kangen saya (tentunya karena
nggak punya keberanian juga), akhirnya dgn setengah hopeless saya bilang deh
sama Tuhan. Apakah Tuhan telah menyampaikan perasaan saya pd orang yg dimaksud?
Entahlaah… Yg jelas, saya percaya Tuhan pasti telah menjalankan tugasnya dgn
sangat baik. Untuk membuat saya jadi tenang atau tambah galau ya? Entahlaah… yang jelas itu baik aja menurut
Tuhan. “Udahlah Im, kamu ini tinggal
berusaha & menunggu hasilnya aja apa sih susahnya?” “Ya itu dia Tuhan,
susahnya.. berusaha itu yg sussaah, huhuhu…..” *menangis dalam pelukan Tuhan.
Begitulah temans, mungkin saya
termasuk orang yg berada dalam “pertengahan iman”. Maksudnya, untuk bersikap
seperti Fatimah & Ali itu susah bener, tapi kalo mau ngomong langsung ke
orangnya kok ya susah juga? Yah, semoga dengan saya membuat note ini dapat
mengurangi kegalauan saya. Entah apa yg akan terjadi di masa depan. Saya
sungguh tidak tahu. Tapi 1 hal yg saya yakini : Cinta diciptakan tidak untuk
membuat perasaan menjadi sakit, so ketika masih terasa sakit berarti memang ada
“urusan2 yg harus diselesaikan.”
Thanx to my dearest
friends for the best inspiration ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar