Sabtu, 06 Juli 2013

Unspoken Feeling



“Cinta itu misteri….
Gak bisa dilihat, gak bisa dibaca
Bisanya cuman dirasain
Terkadang cinta juga bernilai misteri kuadrat
Nggak bisa diungkapin, nggak bisa ditunjukin
Cuman bisa disimpen diem-diem dalam hati, padahal udah kangen 3/4 mati”


Well, saya bukan sastrawan ulung, nggak bisa bicara cinta dengan bagus. Jadi ya, langsung aja ya. Itu yg saya rasakan. Hmm, haduuh gimana ya? Susah banget buat jujur sebenernya. Bahwa saya sedang mengalami hal yg lumrah dialami oleh manusia. Merasa tidak bisa mengungkapkan apa yg seharusnya diungkapkan pada seseorang. 

Dulu saya pikir hal semacam ini “tidak biasa”. Ya udahlah, emangnya kalo perasaan nggak diungkapin siapa yg akan bermasalah? Toh orang yg dimaksud juga kayaknya baik2 aja. Tenang, tenang… segala sesuatu kan udah diatur oleh waktu. Nanti kalo saatnya udah tepat pasti akan ketemu orang yang tepat. Orang yg bisa ngungkapin perasaannya duluan pada saya. Biar saya nggak mempertaruhkan harga diri & kehormatan di depan dia. Malu kali, seorang cewek manis seperti saya harus ngungkapin perasaan duluan #plaaak…..

So, selagi berada dalam masa penantian, saya akan memperbanyak berdoa aja. Biar kayak tokoh2 di sinetron reliji itu. Tinggal duduk-duduk manis ndengerin pengajian, eh ada pria beriman & bertakwa mengajukan proposal untuk ta’aruf. Karena dia adalah pria beriman & bertakwa, dan saya adalah tokoh wanita yg alim & rendah hati, maka sudah bisa diduga bahwa beberapa bulan kemudian kami berdua akan menyebar undangan walimahan. 

Heeiissh… stop…stoop! Hentikan imajinasi anda semua tentang sinetron di atas. Sayang sekali saya bukan tokoh yg alim & rendah hati. Jadi, untuk menjalani kisah cinta seperti itu….. mmm, sorry I think I can’t. 

Iya sih, pria beriman & bertakwa adalah idola semua wanita, apalagi kalo dia cakep, pintar, kaya, dududu….. surga dunia deh. Tapi.. tapi….  Dalam kacamata saya, memilih pasangan karena dia rajin beribadah bukanlah suatu perasaan yg tulus, ya karena sudah ada embel2 “rajin beribadah” itu. 

Thanks buat temen2 nongkrong saya yg sejak beberapa hari ini telah memberikan kursus percintaan secara intensif pada saya. Akhirnya saya pun diajari untuk mengenal perasaan secara sederhana. “Kalau cinta ya cinta aja, kangen ya kangen aja, nggak usah pake persiapan khusus untuk mengatakannya”. Demikian kata seorang teman yg sering men-CBT saya. 

Oh ya, sederhana sekali ya konsep perasaan itu. Berbeda dengan konsep2 yg dulu saya pelajari. “Sbg muslim yg baik, kamu harus menjaga diri & sikap. Jangan sampai terbuai pada perasaan yg membuatmu jauh dari Tuhan. Nah, kalo belum siap menikah dgn seseorang ya kamu harus menahan diri, memperbanyak ibadah, hingga kemudian Tuhan mempertemukanmu dengan pasangan yg baik. “

Hmm, saya sudah cukup lama mengenal konsep semacam ini. Sekedar tahu sih, tapi untuk menerapkannya, belum jaminan hoho.. karena saya pun  masih terus belajar untuk mencari konsep hidup yang tepat bagi saya.
Seiring berjalannya waktu, saya menjadi sadar bahwa cinta dan menikah itu adalah 2 konsep yg berbeda. Pertemuan dengan orang2 membuat saya mengerti bahwa yg namanya cinta itu tidak harus menikah, yg namanya menikah itu tidak harus didasari cinta. Ya, itulah kenyataan yg saya jumpai di lapangan. Islam memang memberikan “batasan2” bagi seseorang dalam menjalin hubungan dgn lawan jenis, tapi bukan berarti seseorang harus tersiksa penuh karena tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara bebas. 

Apa tho yg dimaksud dengan mendekatkan diri pada Tuhan? Apa tho yg dimaksud menjauhkan diri dari Tuhan? Apakah kalo orang menikah itu pasti akan mendekatkan diri pada Tuhan? Apakah kalo orang pacaran itu pasti akan menjauhkan diri dari Tuhan? 

Kata ustadz => Iyalah, menikah kan menyempurnakan separuh dari agama
Kata teman geng saya => Oke, kalo konsepnya adalah menyempurnakan agama, trus bagaimana jika orang yg menjadi pasangan kita itu kemudian menyakiti kita? Menyiksa kita? Bukankah dgn demikian menikah malah membuat dosa besar? Bukannya lebih ringan dosanya kalo pacaran aja ya? Pacaran tu ya paling nggak ngapa2in, ngobrol2 doang.

Ehm, masalah dosa & pahala itu masalah transendental e.. Saya nggak bisa jawab. Karena emang nggak tahu pasti takarannya kayak gimana. (Ya udah, nggak usah mengambil alih hal2 yg menjadi kerjaan Tuhan. Kerjaanmu sbg manusia tuh cuma ngobrol, berdiskusi, & belajar. Kalo dapet petunjuk yg benar ya alhamdulilah, petunjuk yg salah ya alhamdulilah juga, hoho.. Kalo ada yg salah ya berarti emang kita beneran manusia, bukan malaikat). 

Boleh aja sih kalo mau berpendapat menikah untuk menyempurnakan agama, punya anak untuk menghadirkan “tentara Tuhan” di muka bumi ini, dengan demikian misi-misi untuk berdakwah (menyebarkan kebaikan/pesan2 agama) di seluruh penjuru dunia dapat terwujud. 

Memang sih setiap manusia mempunyai pendapat masing2 untuk “menyelamatkan bumi”. Ada yg ngerasa semakin mantap dengan menikah, ada yg mantap dgn menjadi pemimpin, ada yg mantap dgn meraih karir/ mimpi setinggi mungkin, ada pula yg mantap dgn mengatur pergerakan alam dalam arti sebenarnya (mengatur hujan, panas, dingin, pergerakan angin, wiii serem amat kayak kerjaan malaikat betulan :p).

Beberapa waktu lalu seorang teman dekat saya yg merupakan dosen muda di sebuah universitas katolik menyampaikan kegalauannya. Lalu tercetuslah sebuah pernyataan seperti ini,”Pada suatu hari Kaprodi-ku bertanya,’Mbak, apa yg membuatmu ingin menjadi dosen? Bukankah gaji sbg dosen itu kecil?’ ”. Dan temanku ini cukup cerdas, dia malah balik bertanya, “Itu sama saja dgn saya bertanya pd Bapak,’Apa yg membuat Bapak ingin menjadi Romo? Bukankah banyak juga pria di luar sana yg menikah?’ “ Ulala… ini adalah pertanyaan yg membuat Bapak itu akhirnya terharu. Seperti itulah, temans. Tampaknya itu 2 hal yg berbeda ya: membicarakan pekerjaan & keputusan menjadi Romo. Tapi diantara keduanya ada kesamaan yg melandasi, yakni: Cinta. Teman saya memilih pekerjaan sbg dosen karena dia mencintai pekerjaan itu, bukan masalah gaji atau jabatan yg akan dia peroleh. Demikian juga dgn si Bapak. Dia memilih untuk menjalani hidup sbg Romo tentunya dgn konsekuensi yg tidak mudah. Menjalani hidup sendiri tanpa keluarga, melayani umat, karena dia mendapat kedamaian untuk mencintai Tuhan dgn cara itu. 

Begitulah cinta, temans. Cinta bukan masalah norma, agama, budaya, identitas diri, jabatan, kekayaan, layak/tidak layak, keimanan, cantik/tidak cantik, langsing/tidak langsing, pandai/tidak pandai,………………….

Cinta ya cinta. Perasaan yg alami & spontan. Menurut pengamatan saya (insya Allah kalo yg saya rasakan ini cinta ya? :p), cinta itu sesuatu yg nggak ada alasannya. Bayangkan, pada suatu pagi saya bangun tidur dan tiba-tiba kepikiran wajah seseorang yg saya kenal pun enggak. Ngobrol pun nggak pernah. Tentu saja kejadian itu membuat saya terheran-heran, “Hoi, siapa orang itu? Kenapa tiba2 muncul di kepalaku ya?” Itu adalah hal yang… serius, nggak ada alasannya. Something that’s really really illogical for mee…….!! Perlu waktu panjang bagi saya untuk mengakui diri bahwa itu cinta (setelah dikonfrontasi habis2an juga oleh teman2 saya). Perlu waktu bagi saya untuk menghargai diri, tidak merasa bodoh & tidak merasa tidak pantas untuk jatuh cinta. 

Cinta ya cinta, katakan saja. Tidak usah terlalu mengkhawatirkan apa yg akan terjadi di masa depan. Tidak perlu menunggu “pantas” dulu untuk mengatakan. Tidak perlu menunggu “sempurna” dulu untuk mengatakan. Jika kau terus berusaha untuk membuat dirimu “menjadi pantas” untuk bersama dgn orang yg kau sukai, kau perlu berhati2. Jangan2 kau telah “mengotori” kemurnian unconditional love. Kau hanya ingin diterima olehnya ketika kau merasa telah cukup kaya, pandai, memiliki banyak “atribut” untuk dibanggakan. Padahal, belum tentu itu yg diinginkan oleh dia. Cinta itu ya seharusnya…. “Just the way you’re.” Bagaimanapun, kesiapan yg benar2 siap itu tidak akan pernah ada. Kesempurnaan yg benar2 sempurna itu tidak akan pernah ada. Mengatakan cinta ya dngan alasan yg simpel saja: untuk menikmati cinta pada hari ini, untuk menunjukkan bahwa perasaan ini benar2 polos, tidak ada pertimbangan yang membatasi kebebasannya untuk berekspresi. 

Nah, tapi masak kayak gitu cara ngungkapin cinta yg bener? Langsung diungkapin gitu? Itu kan tidak Islami? Dalam sebuah kisah yg sudah lama saya tahu, kemudian diingetin lagi oleh temen saya beberapa waktu lalu setelah saya baca blognya, tertulislah sebuah perasaaan antara Fatimah (putri Nabi Muhammad SAW) & Ali. Dikisahkan bahwa keduanya telah sama2 menyimpan perasaan suka sejak lama, namun keduanya memilih untuk menyimpannya rapat2, bahkan setan pun tidak tahu. Hingga kesabaran mereka berbuah manis, pada suatu ketika Muhammad SAW meminta Ali untuk melamar putrinya. Tentu saja kesempatan ini tidak disia2kan oleh Ali dan Fatimah pun langsung menerima lamaran itu karena memang hanya Ali yg selama ini mengisi hatinya. 

Weew… kalo dibandingin cerita yg beginian sih saya angkat tangan. Maaf, iman saya belum nyampe kayak Mbak Fatimah & Mas Ali. Iya sih, itu berat untuk tidak mengungkapkan perasaan sementara perasaan tuh rasanya udah di ubun2 kepala, bentar lagi meletus. Sepuluh jempol untuk mereka!! Tapi ehm, jangan salah dulu deh. Kalo saya pikir (lebih tepatnya saya berimajinasi sih), kayaknya mereka dulu juga nggak bener2 mengunci perasaan deh. Kan jaman dulu emang nggak ada HP, BB, WA, FB, ato twitter kayak sekarang. Nah, saya yakin mereka dulu juga saling “memonitor” kondisi hati masing2. “Jaman dulu itu nggak banyak distraksinya, nggak serame sekarang. Orang2 jadinya lebih peka, intusi mereka lebih tajem. Jadi, nggak heran kalo orang jaman dulu tuh ‘sakti2’ “, ini obrolan dgn teman saya kemaren, hehe… So, bisa aja sih sebenarnya Mbak Fatimah & Mas Ali tuh rajin bertanya kabar, mengirim pesan2, tapi melalui “stasiun hati.” Keren kan? Ato, bahasa yg agak “scientific” mereka tuh bertelepati. Tetep aja kan mereka itu saling mengungkapkan perasaan? 

Kalo kemudian ada yg bilang, “cukup yg tahu perasaanmu hanya Tuhan, tidak usah diumbar ke orang2” yaa nggak papa juga sih. Dalam banyak hal saya sering melakukan hal ini. Ketika saya nggak tahu lagi gimana caranya menyampaikan rasa kangen saya (tentunya karena nggak punya keberanian juga), akhirnya dgn setengah hopeless saya bilang deh sama Tuhan. Apakah Tuhan telah menyampaikan perasaan saya pd orang yg dimaksud? Entahlaah… Yg jelas, saya percaya Tuhan pasti telah menjalankan tugasnya dgn sangat baik. Untuk membuat saya jadi tenang atau tambah galau ya?  Entahlaah… yang jelas itu baik aja menurut Tuhan.  “Udahlah Im, kamu ini tinggal berusaha & menunggu hasilnya aja apa sih susahnya?” “Ya itu dia Tuhan, susahnya.. berusaha itu yg sussaah, huhuhu…..” *menangis dalam pelukan Tuhan. 

Begitulah temans, mungkin saya termasuk orang yg berada dalam “pertengahan iman”. Maksudnya, untuk bersikap seperti Fatimah & Ali itu susah bener, tapi kalo mau ngomong langsung ke orangnya kok ya susah juga? Yah, semoga dengan saya membuat note ini dapat mengurangi kegalauan saya. Entah apa yg akan terjadi di masa depan. Saya sungguh tidak tahu. Tapi 1 hal yg saya yakini : Cinta diciptakan tidak untuk membuat perasaan menjadi sakit, so ketika masih terasa sakit berarti memang ada “urusan2 yg harus diselesaikan.”  

Thanx to my dearest friends for the best inspiration ^^

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar