Pertama-tama saya ucapkan terima
kasih kepada Tuhan yg telah memberi saya kesempatan untuk membantu penelitian
teman saya yg bertema pernikahan. Sesungguhnya ini adalah sebuah momen yg
membuat saya “tertampar2” dengan konsep cinta. Awalnya saya sempat krik…krik….
karena merasa salah masuk ruangan. “Oh yah semua orang yg hadir di tempat ini
sudah menikah. Hanya saya dan segelintir teman (yg terlibat dlm penelitian itu)
yg belum menikah.” Hmm ya ya, bisa jadi ajang kajian pranikah nih, kajian
pranikah secara psikologi.
Tugas saya di situ tidak banyak,
hanya menjadi observer yg mengamati proses yg berlangsung serta perilaku
partisipan. Dari awal pembicara memberikan materi, saya sudah merasa aura yg
“tidak biasa”. Ini adalah tema yg menarik, sangat menarik bagi orang yg belum
menikah, dan tidak pernah ketinggalan jaman pula bagi orang yg sudah menikah,
bahkan hingga usia pernikahannya memasuki usia “setua” apapun.
Saya hanya sempat mengikuti tiga
kali sesi diantara sesi-sesi pelatihan yg ada, tapi itu sudah membuat saya
feeling touched. Terkadang saya pun menjadi tidak fokus dengan tugas saya
dikarenakan terhanyut dalam suasana. Berkali-kali harus mengingatkan diri, “Ayo
Ima, centering… centering… Peran kamu di sini adalah observer, bukan peserta.”
Sebenernya agak gak beralasan juga ya kenapa saya harus terhanyut? Wong
kegiatan-kegiatan di pelatihan itu tuh kebanyakan bercerita tentang pasangan,
misalnya bagaimana pengalaman indah saat awal ketemu pasangan, hal-hal menarik
dari pasangan, hingga pengalaman negatif yg ingin dilupakan dari pasangan. Lha
trus saya mau mbayangin pasangan yg mana? Pasangan saya masih burem, au ah
gelap.
Nggak tahu sih. Meskipun saya
bukan tokoh utama dalam pelatihan tersebut, rasanya kok ikutan terharu ya
ndengerin kisah-kisah percintaan yg mengharu biru? Saya nggak nyangka lho,
beneran! Saya pikir kisah cinta yg romantis itu cuma ada dalam FTV (tayangan
favorit saya, favorit untuk dikomen & dikritik maksudnya) maupun novel Indonesia
(yg latah dibikin film setiap laris). Ternyataa…..orang2 biasa di sekitar kita
pun nggak kalah seru kisahnya.
Saya memang orang yg masih amatir
dalam urusan percintaan. Sampe sekarang masih suka penasaran kalo denger kabar
temen jadian atau menikah. “Itu dulu gimana ya mereka bisa ketemu, trus kira2
siapa duluan ya yg PDKT & nembak, trus mereka kok udah siap nikah itu
pertimbangannya apa ya?” Yak, ini adalah pertanyaan2 yg menunjukkan bahwa usia
mental saya sungguh sungguh tidak sesuai dengan usia kronologis =_=. “Kayak
gitu kok ya ditanyain tho nduk, pertanyaan mahasiswa S2 tingkat akhir kok ya
nggak ada bedanya sama anak SMP?” *selftalk. Yaa, meski sesekali saya harus
memakai “topeng profesional”, berpura2 mengerti urusan rumah tangga kalo ada
klien yg konsultasi, tetep ajaa deep down inside saya hanyalah anak kecil yg
terperangkap dalam tubuh dewasa, aaakk….
Sebagaimana status terakhir yg
saya tulis di FB bahwa yg namanya cinta itu isinya nggak cuma bunga semua, saya
pun pada akhirnya mengetahui hal itu dari kisah-kisah peserta. Saya acungi
jempol untuk orang2 yang sudah berani asertif pada pelatihan tsb. Mereka benar2
total, so “here & now”, mereka benar2 menjiwai saat bercerita pengalaman
mereka. Trus saya yg ngobservasi mereka malah sering melongo, keplok2 dalam
hati, “Waah, si bapak ini keren, si ibu itu keren. Mereka sudah mengalami
masalah yg blablabla…..Tapi mereka tetap berkomitmen untuk mempertahankan rumah
tangga mereka, tetap setia pada pasangan mereka. Dan cinta mereka tuluus, sampe
bikin saya merinding.”
Ada sebuah hal yg nyangkut banget
di hati saya, yg disampaikan oleh “pembicara papan atas” di pelatihan tsb,
“Cinta itu komitmen antara manusia dgn Tuhan. Jadi, kalau menikah ya menikahlah
secara spiritual dgn Dia. Pertemuan dgn pasangan hanya sbg perantara. Pasangan
hanyalah manusia yg tidak sempurna yg sangat mungkin membuat kita kecewa. Tapi
jika kita meniatkan karena Dia, kita akan lebih lapang menjalani pernikahan, karena
kita menyadari bahwa pasangan kita adalah kesempurnaanNya yg hadir dalam
ketidaksempurnaan.”
Yak, “tamparan” ini sangat
menarik untuk diabadikan. Nggak kebayang ya betapa pernikahan itu adalah
sesuatu yg sakral. Ijab kabul, pemberkatan, or janji suci lainnya ternyata
adalah ikatan yg super istimewa. Berarti itu bukan hanya menyangkut penyatuan
antara dua orang atau dua keluarga, melainkan sudah menyangkut komitmen antara
manusia dgn Tuhan. “Ooh, gitu? Jadi ini nih maksudnya kalo dalam Islam
disebutnya menikah adalah separuh dari agama?” Akhirnyaa…. Baru ‘dhong’ saya. Itu
bukan berarti setelah menikah trus tinggal ongkang2 kaki nggak ngapa2in karena
merasa sudah berhasil mendapat “sumber pahala” kan? “Jadi lu pikir istri cuma
sbg sumber pahala?” (Plaak…tampar suami) *adegan sinetron.
Kalo sudah ngomongin komitmen ya
harus serius. Sumber pahala tidak akan berarti apa2 jika bukan kita sendiri yg
menjadikannya sbg pahala. Pahala means….. Pahala ki opo tho? *cari2 kamus nggak
ketemu. Ah sudahlah, saya juga lagi nggak mau ceramah tentang pahala, intinya
sumber berbuat kebaikan, gitu aja deh. Setiap manusia pada dasarnya berpotensi
untuk menjadi sumber pahala bagi orang lain. Trus ini bedanya orang yg single
sm yg double (berpasangan). Kalo masih single kan ngapa2in untuk urusan
kepentingan dirinya sendiri, bahagia jg bahagia sendiri. Kalo udah double maka
jadi ada kesempatan untuk berusaha membuat orang lain bahagia jg sebagaimana kebahagiaan
yg dia rasakan. Nah, itu yg disebut sumber berbuat kebaikan (menurut kamus
saya).
“Wew… gitu ya? Tapi jaman
sekarang itu susah lho cari pasangan yg bener, yg bisa mencintai pasangannya
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri?” Bener… itu sussaahhh bangeeetss
(jawabnya dgn penuh perasaan). “Kebanyakan sih egois, kitanya yg harus lebih
banyak ngalah. Makanya ya, lebih enak kamu dapet pasangan yg mencintai kamu dgn
tulus, daripada kamu yg mencintai dia dgn tulus tapi kamunya nggak dapet
imbalan yg sama,” celoteh pembaca yg numpang lewat.
(Psikolog percintaan amatir langsung
garuk2 kepala) Yaa, gimana ya? Manusiawi jg sih kalo kita masih sering nuntut
pasangan untuk berbuat sebagaimana yg kita inginkan. Tapii… cinta kan bukan
sekedar sesuatu yg bisa ditakar dalam timbangan? Kalo setiap hubungan berjalan
dgn lancar yaa saya pensiun aja deh jadi psikolog karena nggak ada pasangan yg “bermasalah”.
Manusia bermasalah itu tandanya masih sehat mental lho, krn dia memiliki
kesadaran diri tentang kekurangan yg dia miliki & keinginan untuk terus
berproses menjadi lebih baik. Oke, mungkin di awal kita merasa “klik” saat
bertemu seseorang. Trus seiring berjalannya waktu timbul komplain, “Kok dia
jadi begini, begitu, aah.. sebel.” So, apakah kita akan langsung berkata putus
atau cerai pada pasangan?
Mencintai dan dicintai itu
longlife process lho. Kalo berdasarkan pendekatan spiritual, maka saya bisa bilang
bahwa pasangan (terlebih yg sudah diikat dalam pernikahan) adalah orang yg
paling “pas” yg dipilihkan Tuhan sebagai teman kita belajar. Namanya juga
belajar, kalo terjadi kesalahan ya sudah yuk kita buka buku, belajar lagi.
Justru kalo pasangannya baik terus, itu patut dicurigai, ini manusia apa bukan
ya? Mau nyaingin Tuhan yg sempurna?
Lalu bagi yg belum ketemu jodoh
(ehm, seperti saya), apakah itu menunjukkan bahwa selama ini kita tidak
menguasai ilmu2 untuk mendekati lawan jenis? (sebenernya sih iyaa, huhu..
*ngumpet di balik pintu). Tapi marilah kita berpositif thinking saja lah yaa
(biar tenang), bahwa setiap hal yg terjadi di muka bumi ini merupakan naskah
filmNya yg paling keren. Masak ya saya mau maksa Dia untuk ngasih jodoh
sekarang. “Tuhan, mbok jodoh saya dikasih sekarang aja nih, biar nanti pas
wisuda ada pendampingnya” (ambil tipe ex, ngerubah buku takdir diam2) =>
jangan dicontoh.
Seperti yg saya bilang tadi,
mencintai dan dicintai itu longlife process, demikian juga dengan mencintai dan
dicintai Tuhan. Apakah dgn bilang, “Iya Tuhan, saya cinta sama Kamu,” itu
berarti Tuhan langsung oke2 saja? No! “Siapa tadi yg bilang cinta sama Saya?
Hmm, coba ya kalo Saya bikin naskah filmmu kayak begini masih tetep cinta
nggak? Atau yg begitu, masih cinta nggak? Serius?” kata Sutradara.
Kalo bukan longlife process
ngapain juga ya kita disuruh ibadah setiap hari? Itu tidak lain adalah untuk
memperbarui cinta kita tiap hari. Hmm…ya, berarti kalo mau cinta kita terhadap
pasangan nantinya juga semakin tumbuh subur dan segar juga harus diperbarui
tiap hari ya? Of course, absolutely, saestu. Yuk, mari berproses bersama untuk
mencintai dan dicintai diri sendiri, Tuhan, dan orang lain. Sekian ya kajian
pranikah dari psikolog amatir ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar