Seorang pria
dengan baju lusuhnya berjalan
Sudah
beribu kilometer ia tempuh
Sudah
beratus orang ia temui
Dalam lelahnya
ia pun bernyanyi di bangku duka
Aku adalah
pangeran yang kini tampak seperti bayangan tak berguna
Aku telah
kehilangan kekuatan terbesarku, kejujuran
Kau tahu di mana
kejujuran berada? Kini aku ingin mencarinya lagi
Aku hanya
mendengar dari orang-orang bahwa......
Kejujuran telah
berujung pada kehancuran
Para peneriak
kejujuran telah disingkirkan
Kejujuran dapat
dibeli dengan uang
Kejujuran pun menjadi
obralan
Ah, apakah
pencarian ini akan kulanjutkan?
Kini kepalaku
semakin pusing dengan pertanyaan-pertanyaan baru
Apakah itu
keadilan?
Apakah itu
kebijaksanaan?
Bahkan kini aku
pun menjadi tak mengerti, apa itu kejujuran?
Muak… sudah…..
Cukup….muak…..
Sedih……terlalu sedih……
Tapi, tak ada
yang mendengar nyanyian jiwa itu
Lagu yang liriknya
ditulis di antara air mata kefakiran
Tak pernah
menjadi indah bagi mereka yang bermahkotakan emas
Dan sang pangeran
pun tetap bernyanyi
Agaknya kini
kejujuran menjadi semakin mahal harganya
Ah, bahkan uangku
pun tak cukup untuk membelinya sedikit saja
Oh, kejujuran.
Tak maukah kau menoleh sedikit padaku?
Apakah kau begitu
bangga diperebutkan orang-orang yang duduk di atas kursi raksasa?
Ya... Jika kau
berniat untuk terbang ke angkasa, maka aku hanya bisa mengucapkan selamat
tinggal
Agaknya kini
kejujuran terselimut debu kemunafikan yang sangat legam
Sehingga dia tak
nampak, tak terlihat
Oh, kejujuran.
Apakah selimut itu begitu hangat hingga kau ingin terus terbuai dalam mimpi
indahmu?
Ya... jika kau ingin
berdansa dengan sepatu kacamu, maka aku tak ingin menghalangi langkahmu untuk
pergi sebelum tengah malam
Gemericik angin,
semilir menyapu wajah sang pangeran
Oh... sejuk...
siapakah gerangan sang angin ini?
Sang angin yang
ramah pun melanjutkan nyanyian pangeran yang belum usai
Kejujuran bukan
milik saya, engkau, dia, dan mereka
Kejujuran adalah
tempat Tuhan berkata dan berjalan
Jika kejujuran
menjadi milik perseorangan, maka kejujuran itu tak kan pernah nyata
Kembalilah.....kembalilah
kepada kejujuran yang lugu
Yang akan memberi
jawaban atas setiap pertanyaan
Yang akan memberi
keputusan atas setiap kegelisahan
Kejujuran.....
Tak usah
digambarkan seperti apa pesonanya
Ia begitu gagah
dalam kesederhanaannya
Ia begitu lantang
dalam diamnya
Sudahlah angin...
tak perlu kau membual
Siapakah yang
akan menyuarakan kejujuran atas nama Tuhan jika bukan manusia?
Siapakah yang
harus melantunkan perilaku jujur di dunia jika bukan manusia?
Ah ya, kau kan
hanya angin. Mana kau tahu
penderitaanku sebagai manusia?
Lagi, sang angin
bernyanyi dengan penuh keanggunan
Ya aku hanyalah
angin....
Tapi aku telah
lama berada di dunia ini, jauh sebelum manusia-manusia lahir
Dulu Tuhan pernah
membacakanku kisah indah
Tentang pangeran
kejujuran yang berjuang bersama putri kedamaian
Mereka berkorban
dengan cinta, memerangi asap-asap keserakahan
Hingga asap-asap
itu menghilang dan bumi berubah warna menjadi pelangi
Mungkin kau adalah
pangeran yang dimaksud Tuhan
Maka
percayalah......kejujuran tak pernah tersembunyi
Dia ada dalam
dekapan jiwamu
Jangan lelah
menggapainya
Dia datang di
saat yang tepat, di tempat yang tepat
Dia menunggu,
dalam dzikirnya yang tanpa henti bagaikan lantunan debur ombak
Dia bertahta,
dalam perintahnya yang tegas bagaikan duri terik mentari
Dia ada bersama
jiwa-jiwa yang bersabar
Kejujuran yang
bersinar adalah milik para ksatria
Ah, angin apakah
benar yang kau katakan itu?
Aku sudah tak
sabar untuk bertemu dengan kejujuran
Kapankah dia
datang?
Kapankah dia
kembali pada tahtanya?
Kapankah dia
menampakkan diri di sini?
Di tengah
kemunafikan yang tiada henti
Yang mencaci
makna kejujuran itu sendiri
Yang kemudian
sang jujur itu lari untuk mengungsi
Siapa yang
mau bertahan pada kalimat jujur jika untuk menjadi jujur harus dibayar dengan neraka?
Siapa yang
kini berani menjadi ksatria?
Aku? Kamu?
Mereka? Ataukah kita?
Ah,
tampaknya akan lebih baik jika aku berhenti mengejar mimpiku untuk menjadi
pahlawan pengenggam kejujuran
Tidak
pangeran, bagiku kau tetap ksatria
Ambillah
kembali jubah kebesaranmu
Nyalakan api
kebahagiaanmu
Aku akan tetap di
sini menemanimu
Karena aku adalah
angin
Penasihat alam
Angin, ke mana
lagi aku harus melangkah
Aku sudah lapar
Perbekalanku
habis
Namun aku juga
tak ingin mati sebelum sempat bercakap dengan kejujuran
Aah... angin, aku
melihat gerbang yang sangat indah sekali
Oh, apakah itu
gerbang kejujuran?
Dia bersiul
dengan sangat cantik, itukah ajakan untuk memeluknya?
Yaa, angin. Sekarang aku benar-benar bertemu dengan
kebahagiaan
Izinkan aku pergi
ke sana
Pergilah pangeran
Bawa semua
bahagiamu
Aku tersenyum
Senyum paling
indah yang pernah kurasakan
Aku tersenyum
dengan desiranku
Karena aku tak
punya mata untuk menangis
Maaf pangeran, ternyata
aku tidak bisa menemanimu pergi
Aku harus tetap
berjaga di sini
Di bawah ini
telah tertanam bibit pohon kejujuran dengan sempurna
Ya, kau memang
telah pergi
Namun kau tak
pernah benar-benar pergi
Jiwamu masih
hangat kurasakan
Teruslah
bernyanyi pangeran
Dengan suara
terindahmu
Di sana ada Tuhan
Yang sedang
menunggu penampilanmu yang mempesona
Dan di sini, aku
akan membuktikan kesetiaanku
Aku akan tetap
menunggu pohon ini hingga tumbuh besar dan berbuah
Nanti buahnya akan
aku bagikan pada orang-orang
Agar mereka tahu,
bahwa kejujuran itu sangat manis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar