Senin, 24 Desember 2012

Say You’re Not a Loser, Girl!


Hmm…. Fyuuh….. Hedeew….. Rrrr……. Ohhmm……. Hffhtt……

(Ini ngemeng apaa lagi? Niat gak sih bikin tulisan?)

Entah harus gmn mulainya, uhuhuhu……..  Sebenernya hari kemaren saya berniat untuk depresi (depresi kok direncanakan?). Iya nih, saya pikir sekali2 depresi asyik juga. Tapi rencana tersebut saya batalkan, karena saya pikir depresi adalah cara penyelesaian masalah yg tidak elegan. Sementara itu saya kan pengennya menjadi wanita yg anggun, kalem, & elegan #apasih.

Sungguh dari hati saya yg terdalam sama sekali tidak ada niatan pengen eksis ato cari penggemar. Semata-mata tulisan2 saya itu adalah hasil dari kegalauan. Jadi ketika semakin banyak tulisan yg saya bikin, itu menandakan saya semakin galau :( . Daripada saya kumat dan mengalami depresi, bukankah lebih mending kalo temen2 melihat saya sok eksis saja? Itu lebih bagus kan daripada depresi? Masih dalam keadaan compos mentis (kesadaran penuh) dan tidak berbahaya bagi lingkungan sekitar. 

Mohon maklum ya teman2, saya ini sebenernya orang yg gampang down, cuma sering berpura2 tertawa aja (bener2 tidak kongruen, ini sih udah termasuk gangguan jiwa ringan). Okey deh, temen2 yg baik hati & mau merelakan matanya untuk membaca ocehan saya, saya mulai aja ya ceritanya. 

Kemaren itu adalah hari yg bersejarah bagi saya. Karena pada akhirnya saya berhasil juga pamitan dari puskesmas, yeeei…. Saya akhirnya bisa lho datang pagi untuk ikutan apel (kalo ada maunya aja rajin). Di saat itulah saya merasa berdiri di tengah tumpuan jungkat-jungkit (yg biasa buat mainan anak TK itu). Saya nggak tau, lebih berat beban yg di kanan atau kiri saya. Di kanan saya ada perasaan sedih, berat ternyata meninggalkan puskesmas yg telah memberi saya banyak kenangan. Puskesmas yg selalu ngasih saya jajan atau makan siang setiap kali ada acara. Puskesmas yg selalu ngajakin saya kalo ada acara buat pegawai, termasuk acara piknik. Puskesmas yg memperlakukan saya seperti keluarga sendiri meskipun saya orang “asing.” Apalagi pas saya pamitan pas apel kemaren, wiih saya perhatikan wajah para pegawai langsung berubah sedih, menunduk. Trus pas saya bilang gini,”Ya, siapa tahu di masa depan saya bisa menjadi psikolog puskesmas…..” Langsung mereka serempak berseru,”Amieen.” Uups, itu rasanya bener2 sesuatu deh bagi saya.

But, di kiri saya ada perasaan senang. Semacam kebebasan. Fyuuh… ada kelegaan dari “tekanan2 mental” yg selama ini saya derita. Ya, di satu sisi saya pernah menderita temans. Saya pernah menderita selama 2,5 bulan lebih. Hmm, entah apa penyebab pastinya. Sampe sekarang pun saya tidak tahu jika diminta membuat dinamika psikologis masalah yg saya alami. Yg jelas, ini terkait hubungan antara saya & supervisor saya. Saya sebenernya sudah lama merasa bahwa ini adalah hubungan antara supervisor dan praktikan yg tidak sehat, tp saya bingung bagaimana harus mengkomunikasikan hal ini. 

Beberapa teman mungkin sudah pernah mendengar saya ngomel2in hal ini ya. Ceritanya nih saya adalah praktikan yg banyak banget melakukan kecerobohan. Banyak banget temans…. Hum, kalo saya mau sih bisa2 aja saya berkata,”Ya, saya memang salah. Saya memang bodoh. Saya memang banyak dosa.” Tapi saya pikir ini lebih tidak menyelesaikan masalah, temans. Perasaan bersalah semacam ini justru akan membuat saya semakin terpuruk, semakin down, tidak henti2nya menyalahkan diri sendiri, dan membuat saya tak mampu lagi melangkah. 

Ok, memang sih saya salah. Tapi saya juga gak mau kalo dibilang dosa. Saya pernah mencoba mengukur, seberapa banyakkah kesalahan yg sudah saya perbuat. Apakah saya adalah praktikan yg paling parah dibandingkan teman2 mapronis saya lainnya yg sedang sama2 praktik? Ternyata kesalahan saya ya nggak beda2 amat. Nggak lebih banyak juga, tapi ya nggak lebih sedikit juga, rerata sih. So, apa yg membuat saya tertekan?

Supervisor saya adalah orang yg sangat operasional. Itu saja sudah merupakan ciri yg bertolak belakang dengan saya. Saya adalah orang yg memiliki kebutuhan tinggi untuk memaknai sesuatu. Bagi orang2 yg operasional, mungkin beranggapan kalo saya adalah orang yg lelet, kebanyakan mikir tapi gak ada hasil. Tapi ya begitulah saya. Jika saya harus mengikuti keinginannya untuk menjadi operasional, itu seperti tidak menjadi diri saya. Saya pasti bekerja kok, saya akan bekerja setelah saya tahu untuk tujuan apa saya bekerja. 

Rumit sih memang, saya tahu diri saya ini rumit & unik. Dan supervisor saya tidak mau tahu dengan proses yg saya alami. Di mata dia saya harus menjadi kuat. Saya harus segera bangkit dan berubah menjadi baik dalam hitungan detik. Di mata dia, mahasiswa yg belajar di universitas berkualitas seperti saya ini sudah bukan waktunya lagi berproses. Di mata dia saya harus dikenal baik oleh pegawai lainnya & masyarakat. Di mata dia saya harus……..

Ya, dia tidak tahu bahwa saya perlu merangkak untuk bangkit. Dia tidak tahu bahwa saya perlu menguatkan hati berjam-jam sekedar untuk berhadapan dengan dia. Dia tidak tahu bahwa saya adalah orang yg sangat ingin belajar melalui proses. Dia tidak tahu bahwa saya ingin diperlakukan sebagai manusia biasa, bukan sebagai “profesional” atau “mahasiswa pintar”. Dia tidak tahu bahwa saya………

Dan pada akhirnya dia berhasil menjalankan tugasnya sebagai supervisor dengan sangat baik, terlalu baik mungkin. Dia baik dalam membimbing saya untuk menjadi psikolog. Dia mengarahkan saya bahwa…”Ima, untuk menjadi psikolog itu kamu harus peka. Ima, untuk menjadi psikolog itu kamu harus bisa menempatkan diri sejajar dgn klien. Ima, untuk menjadi psikolog itu kamu harus tampil percaya diri. Ima, untuk menjadi psikolog itu kamu harus……………”

Oke, dia sukses membimbing saya menjadi psikolog, tapi tidak sebagai manusia biasa. Ternyata dia lupa, bahwa untuk membimbing seseorang secara “profesi” atau “jabatan”, dia seharusnya mengawali dgn membimbing orang itu sebagai “manusia biasa.” Ya, dia lupa, bahwa menjadi “manusia biasa” adalah kebutuhan hakiki setiap orang. Dia lupa, bahwa ada kalanya tidak memakai “topeng” justru menjadikannya semakin berwibawa.

Terus terang saya capek…. Saya capek dengan pertanyaan,”Sudah sampai mana laporannya? Apa yg sudah kau lakukan pada klien? Apa diagnosis yg tepat untuk klien itu.” Saya capek, tapi tidak mungkin saya kabur dan menghentikan langkah kan? Akhirnya saya benar2 merasakan posisi tidak memiliki “bargaining power.” 

Padahal, dalam diri saya pun ada kerinduan untuk dia ajak bicara sebagai “manusia biasa”. Sekedar bertanya,”Ima, apa kabarmu hari ini? Apa menu sarapanmu hari ini?” Ya, pertanyaan2 sepele itulah yg sebenarnya membuat saya merasa dihargai. Tapi pertanyaan semacam itu tidak pernah terucap sedikit pun dari dia. Atau kalopun pernah, mungkin sangat jarang, sehingga saya pun tidak terlalu merasakannya.

Huuuh… mungkin memang berbeda kebutuhan ya antara saya dan dia. Saya “hanya” ingin menikmati PKP sebagai proses. Kehadiran nilai akademis adalah hal yg penting bagi saya, namun bukan merupakan sesuatu yg mengancam. Sementara bagi dia, PKP itu ya adalah laporan. PKP itu ya adalah bagaimana saya bisa bekerja secara profesional. PKP itu ya adalah ketika dia berhasil mendidik saya menurut standar dia. Iya sih, tujuan yg dia harapkan itu baik, dan seharusnya memang begitu kan? Tapi lagi2 itu bukan kebutuhan saya. Makanya pas dia bilang kalo saya harus bla..bla..bla…., saya tahu sih itu bagus, tapi entah kenapa apa yg dia sampaikan itu tidak bisa meresap di hati.

Ini sopan nggak ya kalo saya mau bilang gini: “Hai supervisor yg baik. Cobalah kau bercermin. Melihat dirimu sendiri. Apa yg membuat perkataanmu tidak bisa aku terima? Adakah yg salah? Adakah sesuatu yg tidak membuatmu aman ketika melihatku? Adakah something called “unfinished bussines” yg terpantul dariku? Apakah yg membuat “frekuensi” kita tidak pernah sama?”

Pengen banget bisa bilang gitu di depan dia. Pengen banget bisa menjadi “partner”nya untuk berproses bersama. Pengen banget bisa menghilangkan benteng yg terlalu tebal antara supervisor & praktikan. Tapi.. saya tidak punya keberanian untuk melakukannya. Saya tidak punya kekuatan untuk mengatakannya. 

Oh ya, tau gak hal apa yg paling pengen membuat saya depresi kemaren? Yakni ketika saya diberi kesempatan secara tidak sengaja oleh Tuhan untuk melihat buku penilaian PKP saya. Saya pengen pingsan sebenarnya. Tapi terus saya tahan sambil berkata,”Hei Ima, jangan sampai kau pingsan hanya gara2 melihat buku ini. Kamu sudah lama belajar untuk menjadi kuat. Kamu sudah lama berlatih dan kau sudah berhasil selamat selama 2,5 bulan ini. Proses hidup yg kamu pelajari tidak sebanding Ima, dengan nilai yg tertera di situ. Itu adalah proses yg sangat mahal.” 

Hmm, yaa akhirnya saya pun bisa tersenyum dengan bangga. “Oke Ima, kamu memang harus berlapang dada dengan nilai ini ya! Tapi tetaplah ingat. Ini bukan pertandingan. Kamu tidak pantas berkata bahwa kamu kalah. Kamu tidak boleh iri juga dengan teman2 yg bernasib lebih baik darimu, mereka yg berada di puskesmas yg menyenangkan & memiliki nilai yg bagus. Ini juga bukan kemenangan bagi supervisormu. Ini adalah tentang proses. Kau tahu, proses itu adalah cara Tuhan mencintaimu. Jangan kau tolak perasaan cintaNya. Percayalah, setelah ini kau akan semakin kuat. Kau akan tahu bagaimana caranya untuk tetap berbuat tulus tanpa mengharap nilai, pujian, atau mempedulikan perkataan orang. Selamat yaa… kamu telah berhasil lolos. Tunggu pelajaran yg lebih indah dariNya yaa.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar